Selasa, 09 Februari 2016

Yakobus Satmoko Hardono: Tuhan Mempersiapkan Semua dengan Indah

Yakobus Satmoko Hardono: Tuhan Mempersiapkan Semua dengan Indah
[NN/Dok.Pribadi]
Sumber Kekuatan: Yakobus Satmoko Hardono (baju putih) bersama keluarga.
HIDUPKATOLIK.com - Berbagai penyakit silih berganti menderanya. Ia pun merasa ajal bakal tiba sehari sesudah Natal tahun lalu. Nyatanya ia mampu bertahan hidup hingga saat ini.

Belikat Yakobus Satmoko Hardono terasa nyeri. Sedangkan lengan kirinya menggeranyam. Ia memeriksakan geringnya itu ke salah satu rumah sakit di Yogyakarta, menjelang Natal tahun lalu. Berdasarkan hasil elektrokardiogram, dokter mendiagnosanya mengalami kelainan jantung.

Satmoko menjalani serangkaian terapi jantung pada hari itu pula. Kembali ke rumah, ia dibekali dengan sejumlah obat. Nasihat dokter ia ikuti. Obat dari RS juga selalu ia konsumsi. Alih-alih sembuh, kondisi pensiunan pegawai PT Kereta Api Indonesia (KAI) ini anjlok. Satmoko segera dilarikan ke RS, sehari sesudah Natal.

Perih di belikatnya kian menjadi. Satmoko harus menginap di RS yang sama kala berobat dulu. Ia pun menjalani berbagai pemeriksaan, mulai dari fisik, laboratorium, radiologi, sampai Magnetic Resonance Imaging (MRI). Berbagai uji klinis menyatakan, ayah dua anak itu mengidap Hernia Nucleus Pulposus (HNP) Cervical atau saraf leher terjepit.

Bukan Pertama
Bukan kali pertama ini saja Satmoko didera saraf terjepit. Ketika masih menetap di Surabaya dan bekerja di perusahaan kereta api milik negara, sekitar 22 tahun lalu, suami Fransisca Xaveria Setyowati ini juga mengalami gangguan saraf. Bedanya, pada masa itu ia menderita HNP Lumbal atau saraf pinggang terjepit.

Menurut Satmoko, penyebab saraf terjepit bermacam-macam. Bisa karena mengangkat beban terlalu berat, jatuh terduduk, atau terpuntir saat mengambil sesuatu. “Obat yang saya terima waktu itu, seperti obat saraf, penghilang rasa nyeri, dan fisio terapi berupa traksi pinggang, yakni otot pinggang saya ditarik pakai alat agar lentur,” ungkap pria kelahiran Yogyakarta, 69 tahun lalu itu.

Selang dua tahun, ketika pindah tugas ke kota kelahiran, gangguan saraf Satmoko kambuh. Hantaman sakit kali ini lebih hebat dibanding yang pertama. Ia tak sanggup berdiri. Tenaga medis memberikan berbagai terapi kepada Satmoko, mulai dari obat-obatan, penyinaran, micro massage atau pijat ultrasonic, kejut listik, hingga traksi pinggang.

Keluar dari RS, ayah dua anak ini masih menjalani 25 kali fisio terapi. Satmoko juga memakai korset pinggang saban hari. Setelah seabrek terapi yang ia lakukan, apakah Satmoko sembuh? Tidak! Sakit itu terus menghantui dirinya, ketika masih bekerja maupun sesudah ia pensiun.

Satmoko mulai merasa nyeri pinggangnya berangsur reda usai senam pelenturan dan pernafasan. Peristiwa yang semula tak pernah ia sangka, alhasil terjadi dua tahun lalu. Teman SMP Satmoko tiba-tiba mengajaknya senam di Bukit Pathuk, Gunung Kidul, Yogyakarta. Tiba di sana, sudah ada 15 orang. Instrukturnya datang dari Jakarta.

“Teman saya tak tahu saya menderita saraf pinggang terjepit. Ia mengajak karena sama-sama sudah lanjut usia,” ungkap Satmoko saat HIDUP menghubunginya melalui telepon, Rabu, 9/12. Senam tersebut sungguh membawa perubahan. Tanpa obat dan berbagai terapi, Satmoko tidak lagi merasa sakit di pinggangnya hingga kini.

Umat Paroki St Yohanes Rasul, Pringwulung, Keuskupan Agung Semarang ini merefleksikan kejadian yang dialaminya waktu itu sebagai rancangan Tuhan. Bayangkan, ungkap Satmoko berapi-api, Dia mengatur peristiwa itu sangat apik dan sama sekali tak terduga.

“Rencana Tuhan tidak pernah meleset. Saya teringat salah satu ayat Kitab Suci berbunyi demikian, ‘Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal’,” papar prodiakon dan mantan Ketua Lingkungan St Clara sambil mengutip Kitab Ayub 42:2.

Menyambut Ajal
Ada peristiwa lain yang memupuk keyakinan Satmoko bahwa pertolongan Tuhan tak pernah meleset. Dokter pernah memvonisnya sebagai penderita corneal dystrophy atau kornea mata rusak pada 2001. Menurut pengakuannya, penyakit ini merupakan turunan. Ayah dan pamannya juga mengalami kondisi serupa.

Satu-satunya cara mengatasi penyakit ini adalah melalui donor mata. Ternyata tidak mudah mendapatkan orang yang mau menyumbangkan alat penglihatan untuknya. Lima tahun Satmoko menanti kabar baik untuk matanya. Tanpa dinyana, suatu hari, pihak RS menghubunginya. Ada orang yang mau mendonaturkan mata.

Unik, kabar tersebut ia terima persis di hari ulang tahunnya. Berkat bantuan itu, Satmoko mampu melihat dengan jelas. “Saya anggap itu kado dari Tuhan di usia saya yang ke-60. Saya terkejut, Tuhan memberi anugerah persis di hari kelahiran saya,” tuturnya sembari tertawa.

Beberapa tahun kemudian, Tuhan lagilagi menguji Satmoko, saraf lehernya terjepit. Saat bergumul dengan sakitnya itu, ia mengalami perlakuan tak wajar dari RS. Jarum yang terbenam di pembuluh darahnya bertahan hingga lima hari. Padahal informasi dari perawat di RS itu, batas pemakaian jarum paling lama tiga hari.

Satmoko demam hingga 40 derajat Celsius. Dokter memberikan obat penurun panas untuknya. Reda sebentar, ia kembali ditikam demam hingga hari ketiga. Sakit yang datang bertubi-tubi membuatnya gelisah. Satmoko merasa hidupnya bakal segera berakhir setelah merayakan Natal bersama keluarga.

Oleh karena itu, Satmoko meminta sang istri memanggil imam. Ia ingin mendapat Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Setyowati meneruskan permintaan suaminya kepada perawat di RS. Pada saat itu sudah dini hari. Sekitar sejam lebih menanti, imam tak kunjung datang. Menurut Satmoko, perawat tak mengindahkan permintaannya.

“Bu, apakah kamu senang saya dipanggil Tuhan tetapi tidak membawa bekal lengkap?” tanya Satmoko kepada istrinya. Bekal yang ia maksud adalah Sakramen Tobat dan Sakramen Pengurapan Orang Sakit. Sang istri langsung menghubungi Ketua Lingkungan. Syukur, pukul 03.30, seorang imam tiba dan memberi pelayanan sakramental kepadanya.

Satmoko merasa amat tenang usai menerima minyak suci. Ia siap menyambut ajal. Tetapi rupanya Tuhan berkehendak lain. Demam Satmoko justru perlahan-lahan redup. Perawat mengatakan suhu tubuhnya berangsur normal saat kunjungan pada pagi hari. Selang beberapa jam kemudian, Satmoko kembali ke rumah. “Saya yakin, Tuhan menunjukkan kasih dan kuasa-Nya kepada saya lewat sakit,” paparnya dengan mantap.

Tuhan Mempersiapkan
Satmoko sudah menanggalkan berbagai kesibukan di perusahaan sejak empat tahun lalu. Kini sebagian besar waktu ia habiskan bersama keluarga di rumah. Setiap pagi dirinya menemani istri belanja di pasar, memotong cabai di dapur, dan merawat tanaman. Meski sudah purnabakti, tak berarti ia berpangku tangan. Selain giat di rumah, ia juga rajin terlibat di kelompok kategorial paroki, antara lain kelompok Paduan Suara Exultatae.

Selama beraktivitas, Satmoko tetap berhati-hati. Syaraf terjepit bisa kambuh kapan saja jika tidak menjaga gerak dengan baik. Pada usia senja, Satmoko mengenang, Tuhan seakan-akan telah mempersiapkan masa pensiunnya dengan baik.

Beban tugas di perusahaan perlahan-lahan mulai berkurang. Saat masih menjadi kepala bengkel, anak buahnya sekitar 600 orang. Ketika pensiun di usia 55 tahun, perusahaan masih mempercayakan Kepala Pendidikan dan Latihan di pundaknya. Kala itu ia mempunyai 40 anak buah.

Ketika menjadi guru untuk para karyawan PT KAI, Satmoko sudah tak lagi punya anak buah. “Saya sungguh tidak mengalami post power syndrome. Semua yang saya jalani hingga pensiun seakan telah dipersiapkan Tuhan dengan indah. Tuhan pelan-pelan mengurangi tanggung jawab yang saya pikul,” kata Satmoko.

Tidak ada komentar: