Selasa, 09 Februari 2016

Sysilia Tanhati: Ke Kalkuta, Belajar dan Berbagi Kasih

Sysilia Tanhati: Ke Kalkuta, Belajar dan Berbagi Kasih
[NN/Dok.Pribadi]
Relawan Kasih: Sysilia Tanhati di Shanti dan, Kalkuta, India.
HIDUPKATOLIK.com - Awalnya semata-mata untuk bepergian, ia justru menjadi relawan di rumah penampungan bagi tunawisma dan kaum difabel di Kalkuta, India. Di rumah yang didirikan Beata Teresa, ia belajar berbagi kasih.

Sysilia Tanhati menyukai perjalanan. Demi hobi itu, ia rela undur diri dari perusahaan di Bandung, dua tahun lalu. Sysilia kemudian menjalankan usaha tas buatan tangan dengan label “Alma Indonesia”. Di sela-sela waktu luangnya, sembari menanti proses produksi tas rampung, sarjana ekonomi itu berkunjung ke berbagai daerah. Ibarat menyelam sambil minum air, Sysilia bisa jalan-jalan sekaligus mencari kain khas daerah untuk bahan dasar produknya.

Suatu hari, pada Januari 2013, Sysilia diajak temannya ke India. Perjalanan itu mengantar perempuan kelahiran Jakarta, 33 tahun lalu itu, ke rumah suster Tarekat Misionaris Cinta Kasih (Missionaries of Charity/ MC). Di Indonesia, komunitas itu terdapat di Weoe, Atambua, Nusa Tenggara Timur.

Sysilia tertegun mengamati karya suster Cinta Kasih di tengah para tunawisma dan penyandang keterbatasan fisik. Hatinya terketuk untuk ambil bagian dalam karya pelayanan. Ia memutuskan menjadi relawan di tiga rumah pelayanan yang didirikan Beata Teresa, Nirmal Hriday, Daya Dan, dan Shanti Dan.

Ritme Kegiatan
Nirmal Hriday merupakan rumah pertama yang didirikan Bunda Teresa. Rumah itu menjadi tempat bernaung para tunawisma yang sekarat. Di tempat itu, bungsu dari dua bersaudara itu mencuci pakaian, menyuapi, dan menemani penghuni rumah.

Sore hari, Sysilia berkunjung ke Daya Dan. Rumah tersebut dihuni anak-anak berkebutuhan khusus, seperti: penyandang lumpuh otak (cerebral palsy), autis, dan hiperaktif. Di Daya Dan, perempuan yang sempat menjadi relawan bagi korban topan Yolanda di Filipina itu, mengisi sisa hari bersama anak-anak.

“Saya dan seorang teman membawa sekitar empat hingga lima anak ke atap. Kami melatih mereka berjalan. Atau peregangan bagi anak-anak yang berada di kursi roda. Kadang, kami juga membawa anak-anak ke taman atau kolam. Beberapa relawan lain mengajarkan anak-anak bermain musik, pelajaran sekolah, dan menulis,” tutur Sysilia.

Suatu hari banyak relawan datang ke Daya Dan. Sysilia tak tahu harus berbuat apa. Bagian cuci-bilas sudah terisi sejumlah relawan. Ia berkeliling ke kamar para penghuni. Ia bertemu perempuan bernama Khusbu yang menangis sambil memegangi dadanya.

Sysilia merasa iba. Ia mengajak Khusbu mengobrol sambil mengelus-elus dadanya. Tak lama kemudian, tangis Khusbu reda. Bahkan perempuan itu sampai tertidur sembari memeluk paha Sysilia. Ia mengakui, peristiwa itu menjadi salah satu pengalaman berkesan selama berada di rumah penampungan.

Perjumpaan dengan sesama yang kurang beruntung dan amat membutuhkan perhatian serta kasih sayang itu terpatri dalam hati Sysilia. Kenangan itu pulalah yang membuatnya bertolak kembali ke Kalkuta pada Juni lalu. Sedikit berbeda dengan kedatangannya yang pertama, kali ini ia melayani para penghuni di Shanti Dan dan Daya Dan.

Shanti Dan merupakan penampungan bagi remaja dan perempuan dewasa yang mengalami gangguan mental dan fisik. Bangunan berlantai tiga ini dirancang terpisah antara hunian untuk perempuan dan laki-laki. Jarak antara Shanti Dan dengan Daya Dan sekitar 30 menit dengan bus.

Di Shanti Dan, Sysilia mencuci pakaian dan selimut pasien, menyiapkan makan siang untuk pekerja di rumah, menyuapi pasien, serta berinteraksi dengan seluruh penghuni. Para penghuni Shanti Dan wajib mengikuti kegiatan komunitas, antara lain: mewarnai, menggambar, menari, dan senam. Ia senang beberapa pasien di Shanti Dan mengenalnya. Ketika ia selesai mencuci, mereka menyentuh celemek dan celananya. Bahasa tubuh itu seolah menasihatinya segera mengganti pakaian agar tidak sakit. “Ada juga yang suka mengusap kepala dan mencium tangan saya. Seakan mereka memberi berkat untuk saya,” kenangnya.

Kenangan Mendalam
Sysilia mengenang, sebulan sebelum pulang ke Tanah Air. Ia berjumpa dengan Nomita. Penghuni Shanti Dan itu datang dan berjanji kepadanya. Ia bakal mempersembahkan sebuah tarian dan lagu untuk Sysilia. Nomita mengizinkan Sysilia merekam momen tersebut dengan kameranya. “Hanya saat itu saja,” pesan Nomita menandaskan.

Sayang, karena kesibukannya membuat Sysilia nyaris lupa dengan persembahan Nomita. Beruntung seminggu sebelum pulang ke Indonesia, Nomita mengingatkannya. Ia menuntun Sysilia ke sebuah dinding di mana tergantung kalender. Sysilia takjub perempuan itu mengingat jadwal kepulangannya dengan tepat. Padahal di rumah tersebut, banyak relawan datang dan pergi.

Penghuni lain bernama Kajol. Sysilia menganggap perempuan itu sebagai pasien favoritnya. Kajol selalu memperhatikan gerak-gerik Sysilia saban hari. Ia juga kerap menasihatinya agar tak lupa makan. Tak pelak, Sysilia selalu mencari dan berpamitan dengannya begitu usai tanggung jawab di Shanti Dan.

“Kajol selalu menanyakan jika saya tak datang. Saya berat memberitahu kepadanya akan kembali ke rumah. Saat memberitahu, ia terdiam dan memandang saya. Lalu dengan suara lirih ia bertanya, ‘Mengapa saya harus kembali? Apakah saya tidak akan kembali lagi?’ Mengingat pertanyaan itu saya jadi sedih. Saya selalu teringat Kajol hingga kini,” ungkapnya.

Pengalaman di Kalkuta mengajarkan Sysilia untuk mensyukuri hidupnya. Ia sadar, Tuhan menciptakan setiap manusia istimewa. Kelebihan dan kekurangan adalah kodrat dasar manusia. Oleh karena itu, ia selalu menanamkan kesadaran dalam dirinya agar menghargai diri sendiri dan orang lain.

Sysilia menemukan beragam kasih sayang dari pasien, relawan, dan para suster. Seiring waktu, teranyam benang-benang persahabatan dengan penghuni rumah penampungan. Ia bahagia berkesempatan membuat penghuni rumah penampungan itu tersenyum. Bunda Theresa pernah mengatakan, “Lakukan hal yang kecil namun dengan cinta yang besar”. Kebahagiaan memberi kasih itulah yang membuatnya betah berada di rumah penampungan.

“Saya bertemu banyak suster dan relawan. Kini banyak teman yang saya peroleh selama di Kalkuta. Mereka tidak pernah memaksa saya untuk berdoa. Mereka memberitahu apa yang harus saya lakukan. Mereka memberi contoh lewat tindakan konkret bagaimana menjadi pribadi yang lebih baik,” kata putri pasangan Yohanes Tanhati dan Angela itu.

Justru Dibantu
Sysilia merasa bahagia bisa berada di Kalkuta dan melayani sesama. Ia mengakui, sebetulnya bukanlah dirinya yang membantu para penghuni di tiga rumah penampungan itu, melainkan justru merekalah yang telah banyak membantu dirinya. Pengalaman selama hampir dua bulan di sana, lanjut Sysilia, menyadarkannya untuk lebih menghargai anugerah Tuhan dalam dirinya.

Seolah-olah Sysilia juga diingatkan untuk meluangkan waktu bagi keluarga dan teman-teman, serta bersyukur untuk segala sesuatu yang diberikan Tuhan kepada dirinya. “Selama ini, saya condong meminta kepada-Nya, ketimbang bersyukur atas apa yang sudah ada,” imbuh umat Paroki Maria Bunda Segala Bangsa, Kota Wisata, Cibubur, ini.

Sepulang dari Kalkuta, Sysilia bertekad untuk menjalankan amanah Beata Teresa, “Kalkuta ada di mana-mana, bukan hanya
di India”. Karena itu, ia juga mau berbuat di tempatnya berada seperti yang pernah dilakukan sewaktu di Kalkuta.

Tidak ada komentar: