Senin, 11 Mei 2015

Kebangkitan Berarti Kehidupan yang Mulia

Dalam Syahadat Para Rasul kita mendaraskan, “Aku percaya akan kebangkitan badan”. Saya tidak pernah sungguh mengerti apa itu artinya. Apakah kita akan memiliki tubuh yang sama? Mohon penjelasan.
~ seorang pembaca di Burke

Pertanyaan ini segera membawa saya kepada kenangan ketika saya masih di SMP Washington Irving dan seorang teman menunjukkan kepada saya sebuah majalah rohani dari gerejanya yang menggambarkan akhir dunia dan kebangkitan orang mati. Dalam bentuk “buku komik”, majalah tersebut melukiskan orang-orang keluar dari kubur dan makam - sekurangnya, suatu gambar yang cukup mengerikan, khususnya dari sudut pandang seorang siswa sekolah menengah. Seturut berjalannya waktu dan berkembangnya pemahaman teologis saya, sekarang saya lebih berharap bahwa jika saya bangkit dari mati, Tuhan membuat sedikit perbaikan atau penyempurnaan terhadap tubuh saya ini sebelum saya melewatkan sepanjang kekekalan hidup saya dengan tubuh ini.



Kita percaya teguh akan kebangkitan badan. Dengan perayaan Paskah yang baru saja lewat, kita ingat bahwa Tuhan kia Yesus Kristus bangkit tubuh dan jiwa-Nya dari kematian. Makam-Nya kosong. Namun demikian, Yesus mengalami suatu “perubahan” melalui kebangkitan: Yesus menampakkan diri kepada dua orang dari antara para murid “dalam rupa yang lain” (Mrk 16:12). Ketika Ia menampakkan diri, terkadang para rasul menyangka bahwa mereka melihat hantu (Luk 24:37) atau pada mulanya mereka tidak mengenali-Nya (Yoh 21:1 dst) hingga Ia menyatakan DiriNya. Walau begitu, Tuhan kita dapat dipegang: para perempuan memeluk kaki-Nya (Mat 28:9), Yesus mempersilakan Tomas untuk mencucukkan jarinya pada bekas paku di tangan dan pada luka di lambung-Nya (Yoh 20:24, dst), dan Ia menyuruh para rasul yang lain untuk meraba-Nya guna memastikan bahwa Ia memiliki “daging dan tulang”, tidak seperti hantu (Luk 24:39). Yesus dapat menyantap makanan (Luk 24:30, 24:42-43; Yoh 21:12 dst). Tetapi, Ia juga menampakkan diri sekonyong-konyong kepada para rasul (Mrk 16:14; Luk 24:13 dst), bahkan meski pintu-pintu terkunci (Yoh 20:19 dst), dan Ia lenyap tiba-tiba (Luk 24:31).      

Pada pokoknya, Yesus bukanlah semacam mayat hidup. Tetapi, melalui kebangkitan, Yesus telah mengalami suatu perubahan radikal atas baik tubuh dan jiwa. Ia masuk ke dalam suatu kehidupan yang mulia, yang “manusiawi” dan “ilahi” secara sempurna. Katekismus Gereja Katolik (no. 645) memaklumkan, “Yesus yang telah bangkit berhubungan langsung dengan murid-murid-Nya: Ia membiarkan diri-Nya diraba dan Ia makan bersama mereka. Ia mengajak mereka untuk memastikan bahwa Ia bukan hantu, sebaliknya untuk membenarkan bahwa tubuh yang baru bangkit sebagaimana Ia berdiri di depan mereka, adalah benar-benar tubuh yang sama dengan yang disiksa dan disalibkan, karena Ia masih menunjukkan bekas-bekas kesengsaraan-Nya. Tetapi tubuh yang benar dan sungguh-sungguh ini sertentak pula memiliki sifat-sifat tubuh baru yang sudah dimuliakan: Yesus tidak lagi terikat pada tempat dan waktu, tetapi dapat ada sesuai dengan kehendak-Nya, di mana dan bilamana Ia kehendaki. Kodrat manusiawi-Nya tidak dapat ditahan lagi di dunia dan sudah termasuk dunia ilahi Bapanya.”

Berawal dari pembaptisan kita, kita ambil bagian dalam sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus, dan berjuang untuk mengamalkan hidup bersama-Nya seperti yang Ia kehendaki bagaimana hidup itu diamalkan. Setiap kali kita menyambut Komuni Kudus, kita ingat akan kata-kata Tuhan kita, “Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman” (Yoh 6:54). Santo Paulus dalam surat pertamanya kepada umat di Korintus juga mengingatkan kita, “Jadi, bilamana kami beritakan, bahwa Kristus dibangkitkan dari antara orang mati, bagaimana mungkin ada di antara kamu yang mengatakan, bahwa tidak ada kebangkitan orang mati? Kalau tidak ada kebangkitan orang mati, maka Kristus juga tidak dibangkitkan. Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu” (1 Kor 15:12-14). Sebab itu, kita merindukan kehidupan tubuh dan jiwa bersama Tuhan kita di surga.

Sekarang, membahas pertanyaan-pertanyaan dasar: Apakah yang akan terjadi sehubungan dengan kebangkitan ini? Kita percaya bahwa ketika kita meninggal, jiwa kita meninggalkan tubuh kita dan menghadapi pengadilan khusus. Tubuh dimakamkan (atau dikremasi). Namun demikian, kita sebagai pribadi merupakan kesatuan antara tubuh dan jiwa. Sebab itu, di akhir masa, tubuh dan jiwa akan dipersatukan kembali dalam kehidupan yang mulia, yang sudah diubah, dan yang sempurna.

Bilamanakah “akhir masa” ini? Hari terakhir ini akan terjadi pada akhir dunia, ketika Kristus datang kembali dalam kemuliaan.

Dan apakah tubuh yang mulia ini? Sesungguhnya, jawaban bagaimanapun tidak akan sempurna, sebab perkara ini melampaui tidak hanya pengertian kita, melainkan juga bayangan kita. Melihat kembali peristiwa-peristiwa kebangkitan di atas, kebangkitan tubuh akan mendatangkan kehidupan yang dimuliakan. Para teolog ilmu agama dan filsafat membedakan empat karunia atau sifat-sifat dari tubuh orang benar yang telah dibangkitkan: “tak dapat rusak” (bebas dari penderitaan), artinya bahwa kita tidak akan lagi menderita gangguan-gangguan fisik seperti sedih, sakit atau maut; “halus” artinya bahwa kita akan memiliki kodrat yang dirohanikan dalam arti tubuh rohani seperti Tuhan kita; “leluasa” artinya bahwa tubuh tunduk pada jiwa dengan teramat mudah dan memiliki kecepatan gerak; dan “semarak” artinya tubuh ini akan bebas dari segala cacat dan akan dipenuhi dengan keindahan dan cahaya. Keempat karunia ini berusaha menangkap kemuliaan yang dinikmati jiwa di surga dan yang sekarang akan ikut pula dinikmati oleh tubuh.

St Thomas Aquinas menguraikan, “Jiwa yang bersukacita dalam Tuhan akan bersatu erat dengan-Nya dengan cara yang paling sempurna, dan dengan caranya sendiri akan ikut ambil bagian dalam kebaikan-Nya hingga ke tingkat yang tertinggi; dan dengan demikian tubuh akan sepenuhnya berada dalam kuasa jiwa dan akan ikut ambil bagian dalam apa yang menjadi karakteristik jiwa itu sendiri sejauh mungkin - dalam kejelasan arti pengetahuan, dalam mengendalikan hasrat tubuh, dan dalam segala kesempurnaan kodrat; sebab semakin sempurna sesuatu dalam kodratnya semakin materianya dikuasai oleh bentuknya… seperti jiwa manusia akan diangkat ke kemuliaan roh surgawi untuk melihat Tuhan dalam hakekat-Nya... demikian pula tubuhnya akan diangkat ke karekteristik tubuh surgawi - tubuh akan semarak, bebas dari penderitaan, tanpa kesulitan dan susah payah dalam bergerak, dan disempurnakan dengan cara yang paling sempurna oleh bentuknya. Sebab itulah Rasul berbicara mengenai tubuh yang dibangkitkan sebagai surgawi, bukan merujuk pada kodratnya, melainkan pada kemuliaannya (Contra Gentiles, 4:86).

Kebangkitan tubuh adalah misteri iman, sesuatu yang kita - makhluk ciptaan yang terbatas - tak mampu memahami sepenuhnya. Namun demikian, keyakinan ini diperteguh melalui diangkatnya Bunda Maria ke surga. Ia, yang sepenuhnya mengamalkan iman yang hidup di dunia ini dan dalam dimensi waktu ini, diangkat tubuh dan jiwanya ke surga di akhir hidupnya. Sebab itu, kita dapat melihat teladannya dan mempersatukan tubuh dan jiwa kita sendiri dengan Tuhan dalam hidup ini, sembari merindukan kehidupan yang mulia, yang diubah dan yang sempurna dalam kerajaan surgawi di akhir masa.

Fr. Saunders is dean of the Notre Dame Graduate School of Christendom College and pastor of Queen of Apostles Parish, both in Alexandria.

Tidak ada komentar: