Sabtu, 19 Desember 2015

Kerahiman Allah, Intisari Hidup Gereja

Kerahiman Allah, Intisari Hidup Gereja

Kurang seminggu lagi, Gereja Katolik akan memulai peringatan Tahun Yubileum Kerahiman Ilahi. Di tahun itu, hirarki dan umat merenungkan pesan “Allah yang maharahim dan murah hati”.

Dilihat dari sudut mana pun, Tahun Yubileum Kerahiman Ilahi 2015-2016 memang Luar Biasa. Pertama, karena Yubileum ini tidak menuruti urutan waktu perayaan yang secara tradisional berjarak 25 tahun (2000-2025-2050-2075). Tetapi, ada alasan lain pula. Yubileum yang bertema kerahiman Allah sungguh tidak diduga, bahkan mengejutkan banyak orang. Yang merasa paling dikejutkan olehnya ialah mereka yang justru mengenal teologi bahkan mahir mengartikan Kitab Suci. Mengapa? Karena tema kerahiman yang dengan jelas dan rinci dibahas oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensikliknya Dives in Misericordia, umumnya diterima sebagai ulasan teologis yang menarik, tetapi tidak lama kemudian ditaruh di laci meja. Hari Minggu Paskah II, yang 15 tahun lalu ditetapkan oleh Paus yang sama sebagai Minggu Kerahiman pun, tidak berhasil mengantar para petugas pastoral kepada keyakinan bahwa kerahiman ilahi dan belas kasihan manusia merupakan intisari hidup Gereja.


Syukurlah, Paus Fransiskus justru bermata tajam bagaikan elang yang terbang tinggi. Belas kasihan – katanya tegas – adalah jantung Injil, dan seharusnya menjadi pola hidup segenap Gereja. Kemurahan hati harus dijadikan kriterium kredibilitas Gereja. “Gereja dipanggil pertama-tama untuk menjadi saksi yang pantas dipercaya tentang kerahiman, dengan cara mengakui dan menghayatinya sebagai intisari pewahyuan Yesus” (Bulla Paus Fransiskus #24).

Paus Yohanes Paulus II, 35 tahun yang lalu, sudah berbicara tentang apa yang bisa terjadi dalam abad XXI, jika umat manusia tidak belajar menjadi urah hati. Di masa ini, kata-kata Paus itu, tampak bagaikan nubuat. Sebab, cobalah merenung sejenak: Kejahatan apa yang belum berani dilakukan terha dap manusia oleh manusia sendiri, bahkan oleh orang beragama? Siapa yang sungguh menghormati dan membela kehormatan manusia di masa sekarang? Mengapa belas kasihan ditertawakan secara sinis dan ingin disamakan dengan filantropi belaka yang tidak layak dipraktikkan di zaman modern ini lagi? Lalu, bagai - mana dengan Gereja sendiri? Benarkah ia Oasis Belas Kasihan (Bulla#13) dan pengampunan? Banyak orang belum sadar bahwa kerahiman Allah bukan sebuah devosi belaka. Paus Fransiskus sangat menyadarinya, sehingga ia berseru dengan lantang, dan seruannya boleh saja dirumuskan begini, “Hai umat Kristen, berlakulah seperti Kristus terhadap saudaramu yang hampir sekarat, entah siapa orang itu! Binalah dirimu menjadi serupa dengan hati Bapa! Sebab dunia ini tidak akan mengalami kedamaian selama ia mengabaikan belas kasihan.”

Tahun Pemurnian
Tahun Yubileum Kerahiman Ilahi akan dibuka 8 Desember 2015, pada hari raya St Maria Tak Bernoda. Bunda Maria, bersama dengan Allah Tritunggal, ikut menghadiahkan Juru Selamat kepada dunia. Tepat 50 tahun yang lalu, pada tanggal yang sama, ditutuplah Konsili Vatikan II, konsili pertama yang menggunakan bahasa yang agak mudah dicerna kaum awam. Paus tentu berharap supaya Tahun Yubileum ini menjadi tahun pemurnian total dari dosa (ingat Maria Immaculata) dan sekaligus tahun yang akan membahasakan kekayaan kerahiman Allah sedemikian rupa, sehingga semua orang akan tahu nilainya dan cara mewujudkannya dalam hidup sehari-hari.

Supaya umat Gereja disucikan, Paus akan membuka Pintu Suci yang perlu dilewati sebagai ziarah pertobatan, demi memperoleh pengampunan dalam Sakramen Rekonsiliasi. Belas kasihan tidak mungkin tumbuh dalam Gereja selama individu/kelompok tertentu tidak merasa berdosa, padahal dosa mereka mungkin sangat mengguncangkan Hati Tuhan. Selain itu, Paus menetapkan acara khusus yang diberinya nama “24 jam bagi Tuhan” (jatuhnya 4-5 Maret 2016). Paus minta supaya dalam kurun waktu 24 jam itu semua warga Gereja menerima sakramen pertobatan.

Selama Tahun Yubileum, seluruh umat Katolik dapat memperoleh anugerah Indulgensi yang memungkinkan masing-masing mereka yang hidup maupun yang masih dimurnikan di Purgatorium, dihapus segala akibat dosanya. Para imam, selama tahun ini, diberi kuasa untuk mengampuni dosa aborsi, sedangkan para Misionaris Kerahiman yang akan diutus oleh Paus selama Masa Prapaskah 2016, akan diberi wewenang mengampuni dosa yang selama ini menjadi hak Paus sendiri atau wakilnya. Tentu saja, acara Tahun Yubileum akan padat, dan kiranya berbeda dalam masing-masing keuskupan. Namun, tujuan semua acara itu sama, yaitu mengalami belas kasihan Allah yang mengampuni, lalu mampu meneruskan belas kasihan itu kepada setiap orang. Kerahiman Allah dialami secara nyata, bahkan menjadi peristiwa, pada saat manusia berekonsiliasi dengan Allah lewat Gereja dalam sakramen pertobatan. Pada saat itu, manusia sungguh melihat dirinya sendiri dengan mata Allah yang Maharahim.

Apa yang ingin dicapai Paus Fransiskus melalui Tahun Yubileum Luar Biasa ini? Pertanyaan ini singkat, tetapi jawabannya tidak terlalu mudah. Sebab, karena terkagum-kagum pada Kerahiman Allah Tritunggal, Paus sungguh menghindari rumus-rumus kaku dan kalimat berbau definisi. Ia sering membiarkan kata-katanya mengalir secara spontan saja. Yang jelas, Paus menghendaki supaya berkat Tahun Yubileum, umat Katolik menyadari bahwa mereka dipanggil untuk menjadi “tanda dan sarana” kerahiman Bapa surgawi. Gereja harus menjadi teladan pengampunan (“bagi kita, pengampunan merupakan tindakan yang harus dilakukan, tidak dapat tidak!”, Bulla #9). “Setiap khotbah dan kesaksian Gereja kepada dunia hendaknya selalu dilengkapi dengan belas kasihan”. “Kredibilitas Gereja tampak dalam cara ia menunjukkan kasih yang murah hati dan penuh belas kasihan”. Maka, Paus berseru, “Sekaranglah saatnya untuk kembali ke basis dan untuk ikut merasakan keprihatinan serta pergulatan saudara-saudara kita” (#10). Pendek kata, “Gereja menghayati kehidupan yang otentik apabila ia mengakui dan memaklumkan belas kasihan, sifat yang paling menakjubkan dari Sang Pencipta dan Penebus, dan apabila ia membawa manusia makin dekat ke sumber belas kasihan Sang Juru Selamat” (#11).

Tahun Yubileum akan ditutup 20 November 2016. Pada hari itu Paus akan melambungkan doa syukur kepada Tritunggal yang Mahakudus, lalu mempercayakan kehidupan Gereja, segenap umat manusia, dan seluruh alam semesta, kepada Tuhan Yesus Kristus, sambil memohon kepada-Nya kerahiman-Nya (Bulla, #5).

Makna bagi Indonesia
Pada akhir pembahasan singkat ini, kiranya baik diajukan pertanyaan ini, “Apa makna Tahun Yubileum Kerahiman Ilahi bagi Gereja Katolik Indonesia?” Makna dan nilai suatu perayaan yang berlangsung selama setahun tentu ditentukan oleh umat yang berpartisipasi di dalamnya. Tujuan mereka apa dan apa yang ingin mereka capai? Tahun Yubileum ini tidak jatuh dari surga tanpa alasan. Tuhan sendiri mengatur sejarah dunia dan Gereja-Nya. Kerahiman dikumandangkan dalam seluruh Kitab Suci, dan selalu diperhatikan oleh Gereja, namun tidak pernah diakui sebagai intisari hidup Gereja. Gereja memahaminya bertahap-tahap berkat berbagai intervensi Tuhan dalam hidup para pilihan-Nya. Paus Yohanes Paulus II adalah paus pertama yang membahas kerahiman ilahi secara teologis dan praktis. Penggantinya mendukung pendahulunya sepenuh hati. Paus Fransiskus muncul di cakrawala Gereja sebagai “bintang yang cemerlang”. Terangnya menyoroti dengan tajam harta yang lama tersembunyi dalam Gereja.

Dampaknya untuk Gereja di Indonesia? Pertama, jika para gembala bersama dengan domba-dombanya menerima bahwa belas kasihan adalah pangkal keselamatan manusia, bahwa orang yang tak berbelas kasih dapat saja tidak pernah menikmati kebahagiaan (Mat 25: 31-46), maka mereka pasti akan membuka hati untuk menerima belas kasihan sebagai pola hidup sehari-hari. Gereja yang berbelas kasih akan siap menyambut Yesus yang akan datang untuk kedua kalinya. Kedua, karena kebanyakan dosa manusia melawan belas kasihan, maka boleh diharapkan bahwa para gembala dan domba-dombanya akan lebih serius menyikapi Sakramen Rekonsiliasi. Supaya jangan sampai sakramen ini hanya diberi dan diterima pada hari Natal-Paskah saja. Ketiga, diharapkan supaya umat Katolik di Indonesia memanfaatkan apa yang sudah diakui oleh pimpinan Gereja sebagai devosi kepada Kerahiman Ilahi. Devosi selalu fakultatif, tetapi bukan sekali saja terbukti dalam sejarah, bahwa devosi menyelamatkan iman umat. Devosi yang satu ini terpusat pada Allah Tritunggal, tetapi sangat mengutamakan sakramen rekonsiliasi, Ekaristi, renungan sengsara Yesus, doa demi orang-orang berdosa. Keempat, alangkah baiknya jika para gembala – seturut teladan Paus sendiri – mempersembahkan seluruh Indonesia kepada Allah yang Maharahim. Jika ini terjadi, umat Katolik Indonesia akan makin mantap mengandalkan Yesus.

Tidak ada komentar: