Rabu, 23 Desember 2015

Mungkinkah Menerapkan Prinsip Pendidikan Katolik?

[Dari editor Katolisitas:

Sekolah Katolik…, riwayatmu dulu….

Dewasa ini sering terdengar selentingan, atau bahkan keluhan dari kalangan umat Katolik, bahwa sepertinya pendidikan Katolik di tanah air dewasa ini tidaklah seperti dulu. Di satu generasi sebelum zaman ini, bahkan beberapa generasi sebelumnya, hampir semua sekolah Katolik di tanah air terkenal baik mutunya dan banyak diminati. Kini, nampaknya tidak otomatis demikian. Terlepas dari ada banyak alasan yang ada di luar kompetensi kami di Katolisitas untuk membahasnya, namun ada satu hal yang memang dapat kembali kita renungkan bersama. Apakah sekolah-sekolah Katolik di tanah air sudah sungguh-sungguh mencerminkan pendidikan Katolik? Apakah yang dapat diusahakan agar pendidikan di sekolah-sekolah Katolik menjadi semakin “Katolik”?
Hal inilah yang hendak kami ketengahkan, agar menjadi bahan permenungan kita bersama. Salah seorang narasumber di situs Katolisitas, Maria Natalia Brownell MTS,  ibu dari 5 orang anak, yang kini tinggal di Wisconsin, Amerika Serikat, kami undang untuk membagikan pengalamannya lewat tulisan. Lia- demikian kami memanggilnya- dan suaminya Kyle Brownell, turut berperan aktif dalam peningkatan kualitas sebuah sekolah Katolik, yang bernama St. Adalbert Catholic School, di kota Rosholt, Wisconsin. Lia dan suaminya Kyle, adalah anggota Komite Pendidikan di sekolah tersebut. Bagi kami, pengalaman mereka sangatlah menarik. Mereka berdua, bersama dengan beberapa keluarga Katolik lainnya terpanggil untuk ‘membenahi’ sekolah tersebut yang di sekitar tahun 2009 tahun silam hampir ‘ditutup’, karena semakin berkurangnya jumlah murid. Namun kini setelah sekitar 6 tahun, jerih payah mereka mulai menghasilkan buah yang menggembirakan.  Menurut hasil test nasional Amerika (ITBS) yang baru-baru ini diadakan, prestasi sekolah tersebut mencapai tingkat yang sangat memuaskan. Para pelajar di sekolah itu berhasil masuk dalam golongan 4% ranking teratas dari seluruh pelajar di Amerika Serikat (dari kelas TK sampai kelas 8). Bahkan untuk Science, mereka termasuk golongan 2%, artinya hanya 7 dari 1000 sekolah di seluruh Amerika yang lebih baik di bidang Science, daripada sekolah St. Adalbert.
Namun di balik semua prestasi akademis itu, nampaknya ada suatu ‘mutiara’ yang jauh lebih berharga.  Yaitu, bagaimana sekolah itu menerapkan cara pendidikan Katolik dalam kehidupan belajar dan mengajar; antara para murid, guru, orang tua, pastor dan kepala sekolah. Dalam lingkungan yang saling menunjang, para guru membagikan ilmu mereka dan para pelajar menjadi semakin terdorong untuk mencapai prestasi sebaik-baiknya, sambil terus bertumbuh di dalam iman dan kecintaan mereka kepada Kristus dan Gereja Katolik. Artikel ini ditulis untuk para pendidik, terutama mereka yang menjalankan tugas sebagai guru di sekolah-sekolah Katolik. Semoga dapat berguna dan membangun semangat untuk meningkatkan kualitas pendidikan Katolik di sekolah- sekolah Katolik di tanah air. ]


Pendidikan di sekolah Katolik: Apakah definisi dan tujuannya?

Sebenarnya, definisi pendidikan di sekolah Katolik adalah sederhana, yaitu pendidikan dan pengajaran sekolah yang didasarkan oleh iman Katolik sebagaimana diajarkan oleh Gereja Katolik.  Artinya, iman Katolik-lah yang mendasari segala aspek pendidikan, dari mulai guru-guru/ staf pengajar, kurikulum, lingkungan belajar, cara disiplin, peraturan-peraturan sekolah, dan hal-hal lainnya. Dengan kata lain, sekolah Katolik menjadi lingkungan yang sungguh Katolik, sehingga menjadi tempat yang kondusif bagi anak-anak untuk mengenal dan mengasihi iman Katolik, serta bertumbuh di dalamnya.

Apa yang membedakan antara pengajaran secara umum dengan pengajaran/ pendidikan Katolik?

Secara umum, proses pengajaran dipahami sebagai proses penyaluran informasi dari guru kepada muridnya. Namun pendidikan Katolik tidak hanya terbatas kepada penyaluran informasi dari guru kepada murid. Pendidikan Katolik tidak hanya mencakup pengajaran dan pembekalan akal budi ataupun pemikiran seorang anak dengan informasi yang sebanyak-banyaknya. Sebab di samping membekali murid dengan ilmu pengetahuan, pendidikan Katolik juga membekali, membangun, dan membentuk iman dan spiritualitasnya. Iman dan spiritualitas ini tidak saja mencakup pengajaran agama secara teoritis, tetapi juga pembentukan watak, karakter dan moralitas tiap-tiap murid.
Untuk pendidikan spiritual inilah, kita kembali mengingat akan apa hakekat kita sebagai manusia yang diciptakan Allah. Secara sempurna, manusia diciptakan Tuhan sebagai ciptaan yang spiritual atau mahluk rohani. Inilah yang membuat kita berbeda dengan mahluk ciptaan lainnya. Tidak saja kita memiliki akal budi, perasaan, dan hati nurani;  kitapun diberikan anugerah yang termulia untuk bisa menjalin hubungan yang khusus dengan Allah Sang Pencipta. Tuhan menciptakan kita manusia supaya kita bisa menjalin hubungan yang akrab denganNya. Allah memanggil kita untuk menjadi kudus, seperti para Santo dan Santa di surga. Ya, kita semua dipanggil untuk menjadi serupa seperti Kristus.
Maka, tujuan utama kita hidup di dunia ini adalah untuk hidup kudus.[1] Tuhan memberikan kepada kita anugerah untuk bisa mencari Dia, mengenal Dia lebih lanjut, menjalin hubungan denganNya melalui doa, renungan harian, sakramen, dan mencintai Dia dengan segenap akal budi, hati nurani, dan keberadaan kita di dunia.  Yesus katakan di dalam hukum cinta kasih: “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu.” (Mrk 12:30) Oleh karena itu, segala yang kita miliki: kepandaian, akal budi, keberadaan, hati nurani dan iman kepercayaan- segala yang ada pada kita, selayaknya kita arahkan kepada Tuhan.  Semuanya itu adalah untuk digunakan sebagai sarana untuk mengenal Allah, mencintai Dia, dan mendekatkan diri kita kepada-Nya. Dengan tujuan hidup yang berpusat kepada Tuhan inilah, kita akan dikuduskan sesuai dengan gambaran dan rupa Allah, agar dapat bertemu denganNya kembali di Surga. Dengan pengertian tersebut, pendidikan menurut iman Kristiani adalah pendidikan yang tidak hanya berpusat kepada penyempurnaan akal budi manusia, tetapi juga penyempurnaan hati nurani, moralitas, karakter pribadi, dan iman kepercayaannya. Pendidikan yang seperti inilah yang menjadi tujuan sekaligus ciri khas pendidikan Katolik.

Apa yang membedakan pendidikan Katolik dari pendidikan Kristen non-Katolik?

Pendidikan Katolik berbeda dari pendidikan Kristen non-Katolik, karena pendidikan Katolik juga mengikutsertakan peran Gereja Katolik di dalam pembangunan dan pembentukan karakter seseorang anak. Peran Gereja sangat penting, karena Gereja sudah dipercayakan oleh Kristus sendiri untuk menggembalakan umat-Nya agar dapat mencapai Surga.  Melalui sakramen-sakramen kudus, Kitab Suci, devosi kudus (seperti rosario, doa-doa, litani, renungan harian), pengajaran ataupun penghayatan akan kehidupan para santo/santa, dan banyak tradisi Gereja lainnya; seorang anak diajar, dibimbing, diarahkan, dan dibentuk hati nurani-nya, karakternya, dan iman kepercayaannya untuk menjadi seseorang yang kudus.
Sebagai contohnya, kalau seorang anak tidak mau menurut kepada gurunya, berbuat salah dan tidak mau mengerjakan pekerjaan sekolah sebagaimana semestinya, anak tersebut akan ditegur dan diperingati oleh gurunya.  Dia akan dihadapkan kepada dua pilihan : kembali menjadi anak benar, atau terus menjadi anak nakal.  Karena Kristus mengajar kita untuk kembali ke jalan yang benar, maka di dalam hati nuraninya, umumnya anak tersebut akan terpanggil dan tergerak untuk menjadi anak yang baik kembali. Gereja Katolik berperan dalam hal ini, dengan memberikan dia kesempatan untuk menerima sakramen Pengakuan Dosa dan menerima sakramen Ekaristi kudus.  Dengan cara dan kesempatan ini, anak tersebut dibantu oleh karunia Roh Kudus, agar terus tergerak untuk kembali ke jalan yang benar dan menjadi murid yang baik kembali.  Motivasi-nya adalah bukan saja untuk mempunyai nilai yang baik, dan menjadi anak yang bertanggung jawab, tetapi juga untuk menyenangkan hati Tuhan dan orang tuanya.  Dengan proses sedemikian, anak tersebut akan menjadi lebih dekat dengan Tuhan, dan karenanya lebih kudus.
Maka, tujuan utama sekolah Katolik, sesungguhnya sama dan sejalan dengan tujuan utama Gereja Katolik, yaitu menjadi sarana umat Allah untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan sarana umat untuk bertumbuh dalam kekudusan, agar dapat memperoleh janji keselamatan di Surga.   Dengan tujuan misi yang mulia seperti inilah, sekolah-sekolah Katolik harus terus berusaha dengan segenap tenaga untuk senantiasa memperbaiki dan menyempurnakan keberadaannya, agar menjadi saluran berkat dan anugerah Allah kepada umat-Nya, yaitu para murid dan semua pihak yang terlibat di dalam proses pendidikan di sekolah tersebut.
Dengan demikian, alangkah baiknya kalau sekolah Katolik dihubungkan dengan Gereja Katolik di sekitarnya.  Sekolah Katolik selayaknya memberikan kesempatan beberapa kali seminggu (misalnya : satu ataupun dua kali) bagi murid-muridnya untuk mengikuti perayaan Ekaristi di pagi hari.  Anak-anak perlu didorong dan diberi kesempatan yang rutin untuk menerima sakramen Pengakuan Dosa, melakukan devosi bersama seperti Rosario, Kerahiman Ilahi, Jalan Salib, Litani kepada para Orang Kudus, dan Adorasi Sakramen Mahakudus.  Kesempatan semacam ini sangatlah penting untuk membimbing spiritualitas dan karakter seseorang, baik para murid, maupun para pengajar. Tambahan lagi, peran Pastor sebagai gembala juga sesungguhnya cukup penting, untuk membimbing dan mengarahkan anak-anak agar menerapkan ajaran Kristus di dalam tingkah lakunya sehari-hari, baik di sekolah maupun di rumah.  Peran Pastor juga berperan penting bagi para guru/staff di sekolah, untuk membantu memberi motivasi dan pengarahan kepada mereka agar menjadi guru yang baik, dalam mendidik dan membimbing anak-anak didik mereka.

Secara garis besar, kurikulum yang bagaimana yang harus diterapkan di sekolah Katolik ?

Kurikulum yang baik harus disesuaikan dengan ajaran iman Katolik. Sesuai dengan tujuan dan misi dari sekolah Katolik, kurikulum ini harus membantu membina akal budi, iman, dan karakter seorang anak secara maksimal, sesuai dengan keberadaan mereka masing-masing sebagai ciptaan Tuhan yang unik.  Kurikulum yang dipakai harus bisa membangun keberadaan seorang anak secara menyeluruh, membangun keseluruhan pribadi anak, baik tubuh maupun jiwa, termasuk pikiran/ akal budi dan hati nurani.  Semua mata pelajaran yang diterapkan selayaknya disampaikan dari perspektif dan sudut pandang Gereja Katolik. Ini bukan berarti bahwa kurikulum hanya dipenuhi dengan pelajaran agama Katolik sepanjang hari. Tetapi ajaran Kristiani harus menjadi fokus utama dalam menganalisa semua pelajaran yang diberikan. Dengan kata lain, pelajaran yang diberikan atau buku-buku yang dipakai harus selaras dan tidak bertentangan dengan ajaran iman Katolik.  Sebagai contohnya : pemilihan buku-buku bacaan di dalam kelas adalah buku-buku yang menyampaikan ajaran moralitas yang baik, yang menyampaikan unsur-unsur kebenaran dan kekudusan.  Maka kalau kita dihadapkan kepada pilihan antara buku : “Chronicles of Narnia: the Lion, the Witch, and the Wardrobe”, atau “Harry Potter”, sekolah Katolik seharusnya memilih buku “Chronicles of Narnia”.  Alasannya adalah karena buku “Chronicles of Narnia” lebih jelas menerapkan ajaran Kristiani, yang mengutamakan unsur persahabatan, pengorbanan dan perjuangan teguh dalam melawan kejahatan, dan pada akhirnya iblis akan dikalahkan dengan iman dan kebenaran, heroisme, dan unsur-unsur kebaikan lainnya.  Tokoh karakter utamanya pun adalah orang  biasa yang berjuang dengan motivasi menegakkan kebenaran. Juga tokoh singa ‘Ashland’ menyerupai gambaran Kristus Sang Penyelamat.  Sedangkan kisah Harry Potter, tokoh utamanya adalah seorang anak yang mempunyai kepandaian sebagai penyihir dengan kuasa kegelapan, yang dapat melakukan banyak trik penyihir yang ajaib.  Kalau dibanding dengan seksama, buku manakah di antara kedua buku itu yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Kristiani? Tentu saja buku “Chronicles of Narnia”!
Kurikulum yang baik juga membantu anak-anak untuk bisa berpikir sendiri, yang dilandasi oleh prinsip Kristiani.  Kurikulum yang baik juga harus dapat memotivasi seorang anak untuk menyukai proses belajar (‘to know how to learn, and to love learning’).  Karenanya, kurikulum yang benar tidak hanya memberikan mereka dasar cara belajar yang baik, tetapi juga memberikan dasar prinsip yang kuat dalam membaca, menulis, matematika, dan iman Katolik. Dari dasar yang kuat inilah, pelajaran berikutnya akan terus disusun di atasnya.  Pelajaran-pelajaran lain, seperti ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam, musik, seni rupa, dll; bertolak dari empat pelajaran utama tersebut.
Selanjutnya, adalah penting bahwa dalam menyampaikan mata pelajaran, para guru menyampaikan nilai-nilai iman Kristiani sehubungan dengan mata pelajaran tersebut. Misalnya, dalam mempelajari ilmu pengetahuan alam, anak-anak dibimbing untuk melihat Tuhan sebagai Sang Pencipta alam semesta, dengan segala keindahan dan keagungannya.  Dalam mempelajari ilmu sosial, anak-anak diberi pengertian bahwa Tuhan menginginkan kita untuk bekerja sama, antara bangsa yang satu dan bangsa yang lain, sehingga terjadi kedamaian dan kemakmuran di segala penjuru dunia.  Dalam mempelajari musik, alangkah baiknya kalau para murid diberi kesempatan untuk mempelajari musik klasik yang umum mewarnai musik-musik gerejawi, agar para murid mempunyai penghargaan terhadap musik gerejawi.  Dalam mempelajari seni rupa, para murid diajar untuk dapat mengagumi keindahan seni rupa klasik  yang menggambarkan keagungan Tuhan dan ciptaanNya.
Maka, secara garis besar, dalam penyampaian kurikulum, ada tiga prinsip yang perlu ditekankan: yaitu mengajarkan anak-anak akan ‘kebenaran, kebaikan, dan keindahan’ -the truth, the good, and the beautiful.  Ini adalah prinsip dasar dari ‘Classical Education’ yang tradisional yang menghasilkan banyak santo/santa, para penemu, pemikir, pemimpin, dan  tokoh-tokoh utama di Gereja dan di dunia.

Siapa saja yang harus mengerti akan peran, tujuan ataupun misi dari sekolah Katolik ini?

Pengertian akan pentingnya pendidikan Katolik, tujuan ataupun misi utama yang mulia dari sekolah Katolik ini harus dimengerti, dihayati dan dilaksanakan oleh semua staf pengajar, kepala sekolah, pembimbing, dan semua pihak yang terlibat dalam pendidikan di sekolah tersebut.
Alangkah baiknya kalau para guru ataupun staf pengajar memiliki misi dan tujuan hidup yang sesuai dengan tujuan dan misi Gereja.  Tujuan hidup untuk menjadi serupa seperti Kristus, dan para orang kudus seharusnya menjadi tujuan hidup pribadi dari semua staf pengajar.  Hal ini sangatlah penting, karena guru-guru ini berperan sebagai uluran tangan Tuhan untuk mengajar, membimbing dan membentuk anak-anak didik mereka. Para guru adalah penyalur berkat Tuhan kepada murid-muridnya.  Maka seorang guru berperan sebagai teladan hidup bagi anak-anak muridnya. Umumnya pikiran seorang anak sangatlah sederhana. Seringkali sulit bagi mereka untuk memahami karakter seseorang yang tidak pernah mereka lihat, seperti karakter para Santo ataupun Santa.  Karenanya, pengaruh orang-orang di sekitar mereka yang mereka lihat setiap hari, yang berinteraksi dengan kehidupan mereka sehari-hari, akan mempunyai dampak yang sangat penting dalam pertumbuhan karakter mereka.  Kalau guru-guru di sekolah dan orang tua mereka di rumah berusaha sedapat mungkin untuk melaksanakan ajaran Kristus, mempunyai kehidupan rohani yang dekat dengan Tuhan; bertingkah laku dan bertutur kata yang baik dan bijaksana, penuh pengertian, dan cinta kasih; maka secara otomatis anak-anak pun akan terpanggil untuk menjadi seperti mereka. Dengan cara inilah akhirnya, mereka dapat bertumbuh dalam iman dan kekudusan, seperti para orang kudus yang mengikuti teladan Kristus.
Selain dari pihak sekolah, orangtua juga perlu mengetahui peran dan tujuan pendidikan dan sekolah Katolik. Sejujurnya, peran orang tua sebagai pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka, tidaklah tergantikan (lih. KGK 1653). Maka, para orang tua berperan sangat penting dalam perkembangan rohani dan karakter seorang anak.  Sebab sebelum anak-anak bertemu dan berinteraksi dengan orang lain, mereka mengenal orangtua mereka terlebih dulu.  Oleh karena itu, secara kodrati, Tuhan memberikan orangtua kepercayaan tunggal yang begitu besar untuk menjadi uluran tangan Tuhan dalam mendidik, membina dan mengarahkan anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Dengan demikian, menjadi kudus, seperti para orang kudus di Surga, sudah selayaknya juga menjadi tujuan hidup setiap orang tua. Tujuan untuk hidup kudus ini harus menjadi tujuan hidup para orang tua secara pribadi, bukan hanya menjadi tujuan ideal yang ‘di awang-awang’ oleh para orang tua secara kolektif. Sebab jika orang tua juga berjuang untuk hidup kudus, ini akan sangat berpengaruh kepada nilai-nilai yang mereka terapkan dalam keluarga, yaitu tentang apa- apa yang diperbolehkan ataupun tidak diperbolehkan di dalam rumah tangga mereka.  Di sinilah penting agar proses pendidikan di sekolah melibatkan juga peran orang tua, atau tepatnya berjalan seiring dengan pendidikan dari orang tua, agar apa yang diajarkan di sekolah dilanjutkan secara konsisten di rumah, terutama yang menyangkut nilai-nilai positif sehubungan dengan pembentukan karakter anak.
Relevan di sini untuk disebutkan besarnya pengaruh media sekular, termasuk internet, hand phone, berbagai entertainment -seperti film, video game, musik- dan buku-buku bacaan, bagi pikiran, perkembangan karakter dan kerohanian seorang anak.  Tak dapat dipungkiri, bahwa dalam hal ini orangtua adalah pondasi dan benteng keluarga yang utama untuk menjaga dan mengawasi hal-hal apa saja yang mempengaruhi pikiran seorang anak, yang dapat berpengaruh juga terhadap pembentukan karakternya.  Orang tua, bersama para pendidik di sekolah harus dapat menentukan hal-hal yang baik bagi perkembangan anak dan hal-hal yang bersifat merusak dan mengotori pikiran seorang anak. Segala jenis buku, media, entertainment, dll yang tidak sesuai dengan ajaran Kristiani, sedapat mungkin harus dijauhkan dan dicegah pemakaiannya dan sirkulasinya dari kehidupan anak-anak sehari-hari.  Termasuk di sini adalah jenis film yang mereka lihat, buku cerita yang mereka baca, website yang mereka cari di komputer, video game yang mereka mainkan, dll. Semua hal ini perlu diarahkan agar membantu dan bukannya merusak kerohanian anak ataupun mempengaruhi karakter anak secara negatif.  Banyak sekali penelitian yang sudah dilakukan, yang mempelajari pengaruh buruk dari film, video game, musik sekular, dan media sekular lainnya terhadap perkembangan akal budi, moralitas, dan karakter anak. Akses terhadap film atau video game tertentu dapat mengakibatkan anak-anak menjadi hiper-aktif, tidak bisa berkonsentrasi saat belajar, tidak senang membaca, tidak dapat bersosialisasi dengan baik, tidak dapat berimajinasi, dll; karena otak mereka sudah dibiasakan untuk terstimulasi dengan entertainment yang sifatnya cepat, menarik, ber-glamour, dan materialistis. Belum lagi tambahan pengaruh buruk dari segi moralitas, yang berpotensi membawa anak-anak untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan ajaran dan pandangan iman Kristiani. Untuk membentengi anak-anak dari pengaruh negatif ini, orang tua bukan saja perlu secara aktif menjaga jenis entertainment dan pengaruh media di dalam keluarganya, mereka juga harus membatasi pemakaiannya. Jika diperlukan, para pendidik di sekolah perlu untuk mengingatkan orang tua akan hal ini, terutama jika karena hal-hal ini, anak-anak tidak dapat berkonsentrasi belajar di sekolah. Orang tua perlu diingatkan agar tidak mengandalkan media, entertainment untuk menjadi baby-sitter bagi anak-anak mereka. Ini bukan berarti bahwa semua media entertainment buruk sifatnya. Tetapi baik orang tua maupun para pendidik di sekolah perlu mengawasi, agar anak-anak dapat memilih permainan ataupun tayangan yang mendukung pertumbuhan moral yang positif untuk perkembangan karakter anak, dan adalah perlu agar jumlah waktu penggunaan ataupun akses kepada hal-hal tersebut dibatasi.

Apakah peranan sekolah Katolik terhadap masyarakat ?

Peran sekolah Katolik terhadap masyarakat juga sejalan dengan peran Gereja Katolik terhadap masyarakat di sekitarnya. Tuhan memanggil kita untuk menjadi garam dunia dan terang dunia (Mat 5:13, 14), artinya untuk menjadikan dunia menjadi lebih baik dan agar kita bersinar di tengah kegelapan. Oleh karena itu, sekolah Katolik berperan penting dalam mendidik, membina dan membangun suatu generasi, yang tidak hanya percaya dan beriman kepada Tuhan, tetapi juga peka terhadap kehidupan dan masyarakat di sekitarnya.  Anak-anak semestinya dibimbing untuk menjadi pemimpin masa depan yang tidak hanya penuh dengan ilmu, ketrampilan, dan kepandaian; tetapi juga menjadi pemimpin yang takut akan Tuhan, rendah hati dan mempunyai jiwa melayani sesama.  Untuk itulah pendidikan Katolik ini sangat penting peranannya, karena pendidikan Katolik bertujuan untuk menghasilkan orang-orang yang berintegritas, terbentuk secara keseluruhan (‘well rounded people’). Berintegritas di sini, bukan saja hanya dalam hal pemikiran, tetapi juga dalam perkataan dan perbuatan. Alangkah baik dan mulianya kalau dunia ini mempunyai pemimpin-pemimpin utama di masyarakat yang tidak saja pandai, tetapi juga beriman kepada Tuhan, rendah hati, adil, bijaksana dan penuh kasih terhadap sesama, terutama mereka yang lemah dan menderita.
Seperti banyak Santo/Santa yang diberikan kepercayaan untuk menjadi pemimpin suatu organisasi di dalam Gereja ataupun di masyarakat, atau lebih lagi suatu negara; misalnya St. Patrick dengan peranannya untuk membimbing dan memimpin masyarakat di Irlandia kepada Tuhan, atau Mother Teresa dalam memimpin Sisters of Charity menjadi berkat pelayanan masyarakat miskin di India,  atau St. Fransiskus dari Asisi dalam mendirikan ordo Fransiskan, atau St. Thomas Aquinas yang melalui tulisannya dan pengajarannya menjadi salah seorang Pujangga Gereja yang berperan penting dalam menyampaikan ajaran iman secara sistematik, dan lain lain.  Semua orang kudus tersebut mempunyai peran yang sangat besar dalam mewujudkan panggilan hidup untuk menjadi garam dan terang dunia.  Tuhan menggunakan mereka, satu-persatu secara pribadi, dengan cara-Nya yang khusus untuk menjadi saluran berkat-Nya dalam karya-Nya menyelamatkan dunia.

Bagaimana mewujudkan sekolah Katolik yang baik?

Sejujurnya kami percaya bahwa dewasa ini masih ada sejumlah sekolah Katolik yang baik dan bermutu, namun karena kami tidak mempunyai akses untuk membahas apa yang diterapkan di sana, maka kami memutuskan untuk membagikan pengalaman kami bersama dengan beberapa keluarga lainnya, bersama dengan Pastor paroki untuk mengembangkan sebuah sekolah Katolik kecil di Amerika. Sekolah ini bernama St. Adalbert School di Rosholt, Wisconsin. Kami yang tergabung dalam Komite Pendidikan, selama enam tahun terakhir ini berusaha dengan segenap hati dan tenaga, untuk memperbaiki keberadaannya, untuk menjadi lebih menyerupai gambaran sekolah Katolik yang dikehendaki oleh Gereja Katolik.

Case Study : St. Adalbert Catholic School di Rosholt, Wisconsin, USA

Latar Belakang

St. Adalbert Catholic School adalah sekolah Katolik kecil, yang berlokasi di kota kecil Rosholt, Wisconsin.   Sekolah ini terdiri dari kelas Pre-Kindergarten (TK kecil) sampai Middle School  (SMP). Jumlah muridnya hanya terdiri dari sekitar 45 sampai 50 orang.  Penduduk di kota kecil Rosholt ini pada umunya adalah petani atau pekerja di daerah pertanian/ perkebunan, buruh pabrik, atau pekerja kantoran.  Keadaan perekonomian di kota ini termasuk menengah ke bawah, yang pasti bukan seperti gambaran glamour kehidupan di kota besar Amerika yang digambarkan lewat media TV/ film. Penduduk di Rosholt ini umumnya beragama Katolik dan Kristen non-Katolik, yaitu Lutheran. Mereka umumnya adalah keturunan dari pendatang Eropa, seperti Polandia, Germany, Irlandia, dan Norwegia. St. Adalbert Catholic school ini terletak berseberangan dengan St. Adalbert Catholic Church.  Seperti keadaannya dengan banyak sekolah Katolik di Amerika, sekolah adalah bagian dari paroki; istilahnya: sekolah paroki (parish school).  Karenanya, Pastor dari Gereja St. Adalbert juga menjadi pastor di St. Adalbert school.
Di tahun 2008, Saint Adalbert school merubah kurikulum yang dipakai hampir secara total. Mereka berusaha untuk menjadi sekolah yang lebih berkualitas baik, dari segi akademis dan dari segi iman Katolik. Perubahan ini merupakan titik balik utama dalam sejarah sekolah ini. Tahun itu merupakan tahap pertama dari proses perkembangan kualitas secara berkesinambungan untuk menjadi sekolah Katolik yang ideal, seperti yang diharapkan oleh Gereja Katolik.

Misi Sekolah dan Pelaksanaan

Misi dari St. Adalbert school adalah “to teach children as Jesus did, so that they become future leaders and the new saints of the new millennium”- “mengajarkan kepada anak-anak sebagaimana Yesus mengajar, sehingga kelak mereka dapat menjadi para pemimpin dan para orang kudus di era milenium.” Maka, St. Adalbert school tidak saja mengutamakan tingginya kualitas akademis, tetapi juga tingginya pembentukan iman Katolik dari murid-muridnya. Sekolah ini selalu berusaha sedapat mungkin untuk memberikan kualitas pelajaran dan lingkungan belajar yang terbaik bagi semua muridnya, sesuai dengan ajaran iman Katolik. Motto yang sering dipakai dalam menggambarkan keberadaan sekolah ini adalah mendorong agar, “anak-anak yang biasa dapat mengerjakan hal-hal yang luar biasa” (ordinary children doing extra-ordinary things).
Dari usaha pertama yaitu mencari guru, St. Adalbert school sedapat mungkin mencari guru Katolik yang benar-benar mengerti dan mempraktekkan ajaran Katolik di dalam kehidupannya sehari-hari. Guru-guru di sekolah ini benar-benar berdedikasi tinggi. Mereka meluangkan waktu dan tenaga sepenuhnya untuk mengajar murid-murid di sekolah ini. Terlebih lagi, karena sekolah ini sangat kecil, satu orang guru harus mengajar dua level (grades) di dalam satu ruang kelas. Mereka hanya mempunyai waktu yang singkat sekali untuk ‘break-time’. Karena paroki St. Adalbert ini juga adalah paroki kecil yang tidak banyak umatnya, paroki ini hanya dapat memberikan gaji yang kecil/ secukupnya kepada guru-gurunya. Walaupun demikian, mereka tetap datang mengajar dan membina murid-muridnya dengan sabar dan penuh berjiwa pelayanan.  Ketika ditanya mengapa mereka mau bekerja di sekolah Katolik, jawabannya adalah: karena mereka ingin dan dengan senang hati mau melayani Tuhan dan Gereja-Nya.  Ini adalah panggilan pelayanan, bukan untuk mencari uang semata, tetapi sungguh-sungguh untuk melayani Tuhan dan Gereja. Motivasi ini terlihat sekali sewaktu para guru ini mengajar. Walaupun lelah bekerja, mereka selalu tersenyum dan nampak bahagia melakukan tugas-tugas mereka.  Mereka sangat peduli akan keberadaan dan perkembangan murid-murid mereka; bukan hanya yang ada di dalam kelasnya sendiri, tetapi juga murid-murid lainnya di sekolah tersebut.  Mereka mengikuti kurikulum yang sudah ditetapkan dengan komitmen yang tinggi.
Para guru itu menyalurkan bakat ketrampilan dan kreasi mereka dengan memberikan anak-anak tugas-tugas kreatif yang beraneka ragam, sehingga menambah ‘kehidupan’ di sekolah tersebut. Sedapat mungkin, para guru mengadaptasikan iman Katolik ke dalam mata pelajaran yang mereka ajarkan. Dengan demikian, iman Katolik bukan hanya terbatas pada pelajaran agama, tetapi menjadi suatu kehidupan yang bisa dirasakan, dilihat dan dinikmati di setiap hari di sekolah tersebut. Iman Katolik menjadi semacam udara yang dihirup dan langkah yang dijalani di sekolah. Misalnya: di bulan Mei yang baru saja berlalu, untuk memperingati dan menghormati Bunda Maria, setiap kelas diwajibkan untuk menggambar Bunda Maria dari segala penjuru dunia, sebesar satu pintu masuk kelas.  Ada kelas yang menggambar Bunda Maria dari Polandia, Bunda Maria dari Lourdes, Bunda Maria dari Guadalupe- Mexico, Bunda Maria dari Korea/Japan, dst.  Semua gambar ini adalah upaya kerja sama dari anak-anak di kelas masing-masing.  Gambar yang indah ini kemudian mereka pasang di pintu masuk ruang kelas.  Mereka juga menggambar bunga-bunga, taman, burung, kupu-kupu, pohon, dll sepanjang korridor dan langit-langit sekolah.  Tujuannya adalah mereka ingin menciptakan “Mother Mary’s Garden” (kebun Bunda Maria), supaya selama bulan Mei ini, anak-anak diberi kesempatan khusus untuk menghayati dan menghormati Bunda Maria, yang adalah Bunda Tuhan Yesus dan Bunda semua umat Kristen. Anak-anak sangat bangga dan senang sekali dengan kreativitas ciptaan mereka. Proyek ini bukan saja menghasilkan sesuatu karya yang indah, yang bisa dinikmati setiap orang, tetapi juga membantu mendekatkan hati anak-anak dan semua orang yang melihat kepada Bunda Maria dan kepada Tuhan kita yang telah memilihnya untuk melahirkan Yesus Kristus Putera-Nya.

Idealisme para guru

Karena paroki St. Adalbert ini juga adalah paroki kecil yang tidak banyak umatnya, paroki ini hanya dapat memberikan gaji yang kecil/ secukupnya kepada guru-gurunya. Walaupun demikian, mereka tetap datang mengajar dan membina murid-muridnya dengan sabar dan penuh berjiwa pelayanan.  Ketika ditanya mengapa mereka mau bekerja di sekolah Katolik, jawabannya adalah: karena mereka ingin dan dengan senang hati mau melayani Tuhan dan Gereja-Nya.  Ini adalah panggilan pelayanan, bukan untuk mencari uang ataupun berbisnis semata, tetapi sungguh-sungguh untuk melayani Tuhan dan Gereja. Motivasi ini terlihat sekali sewaktu para guru ini mengajar. Walaupun lelah bekerja, mereka selalu tersenyum dan nampak bahagia melakukan tugas-tugas mereka.  Mereka sangat peduli akan keberadaan dan perkembangan murid-murid mereka; bukan hanya yang ada di dalam kelasnya sendiri, tetapi juga murid-murid lainnya di sekolah tersebut. Mereka mengikuti kurikulum yang sudah ditetapkan dengan komitmen yang tinggi.
Guru-guru di St. Adalbert school menganggap bahwa menjadi guru di sekolah ini adalah suatu pelayanan kepada Tuhan dan Gereja Katolik. Bagi mereka, menjadi guru di sekolah Katolik adalah kesediaan memenuhi kehendak Tuhan dan panggilan hidup dari Tuhan, agar mereka dapat memberikan dampak positif dan pengaruh yang besar kepada anak-anak didik yang dipercayakan Tuhan kepada mereka. Para guru ini melihat kesempatan mendidik anak-anak tersebut sebagai berkat yang besar, karena dipercayakan untuk turut membentuk akal budi dan karakter setiap dari anak-anak itu. Sebagai pendidik, para guru berperan sebagai “saluran” berkat Tuhan kepada anak-anak didik mereka. Dengan demikian, para guru mengabdikan diri mereka sebagai pelayan Tuhan, seperti yang dikatakan oleh Mother Teresa, “I am like a pencil in the hand of God”.
Dengan menganggap tugas sebagai guru sebagai tugas pelayanan kepada Tuhan, maka para guru di sekolah St. Adalbert adalah para guru yang termotivasi dari dalam. Mereka terpanggil untuk membawa para murid mereka tidak hanya sukses secara akademis, tetapi juga secara rohani. Mereka terdorong untuk turut mengarahkan anak-anak didik mereka agar dapat sampai ke Surga. Mereka tidak termotivasi dengan uang ataupun ketenaran/ prestige. Sejujurnya, bagi saya, semangat pengabdian mereka sangatlah “too good too be true”, dan tentulah mereka dapat melakukan hal ini karena bantuan rahmat Tuhan.
Menurut pengamatan saya, idealisme yang tinggi dari para guru ini terjadi karena:
  1. Mereka bukan hanya Katolik di KTP saja, tetapi adalah orang-orang yang hidup melaksanakan imannya, dan berusaha semampu mereka untuk mengikuti ajaran Gereja. Mereka mempunyai kehidupan rohani sendiri, rajin membaca Kitab Suci dan buku-buku Katolik lainnya, melaksakan devosi seperti rosario, dan Adorasi, mengaku dosa dalam sakramen Pengakuan Dosa secara rutin, dst.
  2. Mereka mencintai iman Katolik mereka, mereka meyakini bahwa Gereja Katolik mengajarkan kepenuhan kebenaran iman Kristiani, dan bahwa Kristus telah mendirikan Gereja sebagai sarana keselamatan.
  3. Mereka tidak melakukan hal-hal yang menentang ajaran Gereja. Mereka tidak hidup bersama pasangannya sebelum menikah, mereka yang sudah menikah, tidak menggunakan alat-alat kontrasepsi, mereka tidak mendukung aborsi, tidak mendukung perkawinan sesama jenis, dst yang dilarang oleh Gereja. Memang dalam penerimaan guru mereka harus menandatangani bahwa mereka harus menyetujui semua ajaran Gereja Katolik, termasuk ketaatan untuk tidak melakukan hal-hal yang ditolak oleh Gereja. Ketaatan ini penting agar para guru itu dapat menjadi teladan iman bagi anak-anak didik mereka.
  4. Mereka menyukai aktivitas mengajar. Mereka menjadi guru bukan karena semata-mata pekerjaan. Para guru itu menyukai anak-anak, dan berbahagia dapat terlibat dalam pembentukan karakter mereka.

Garis Besar Kurikulum

Kurikulum yang diterapkan di sekolah ini mengikuti kurikulum dengan pandangan ‘traditional/classical education’. Dari kelas Pre-Kindergarten sampai kelas 2, fokus yang diutamakan adalah belajar membaca, menulis, berhitung dan Katekismus Katolik dasar. Penekanan diberikan pada pentingnya membaca melalui diktasi, phonics, ’decoding’ words, dan basic grammar English. Buku-buku yang mereka baca adalah buku-buku yang sesuai dengan level mereka masing-masing, dengan kesempatan untuk naik ke level yang berikutnya jika dipandang memadai.  Dari segi literatur, anak-anak diarahkan untuk membaca buku-buku novel klasik yang memiliki pemilihan bahasa yang baik, disertai dengan jalan cerita yang menarik untuk anak-anak di level mereka masing-masing.  Untuk matematika, mereka dilatih mengenal dunia matematika dengan ‘hands-on’ aktivitas, menghapal Math’s facts, berhitung dasar, dan pengulangan yang rutin.  Tujuan utama sampai kelas 2 ini adalah agar mereka bisa membaca dengan lancar buku novel klasik anak (tanpa gambar) setebal ± 150 – 200 halaman.  Di sekolah ini, komputer sama sekali tidak digunakan sampai murid-murid mencapai kelas 3, waktu mereka mengetik karangan/tulisannya yang pertama.
Dari kelas 3 sampai kelas 5, penekannya adalah : menggunakan bahasa Inggris untuk belajar pelajaran yang lain, seperti mengarang bahasa Inggris (writing), sejarah, geografi, ilmu alam, classical literature yang lebih mendalam.  Karena anak-anak ini sudah terlatih sejak TK kecil untuk mendengar buku bacaan yang baik, dan belajar berhitung dengan cepat; mereka akan terus terdorong untuk membaca buku dengan tata bahasa yang baik, dan mengerjakan tugas pekerjaan Matematika yang cukup challenging.
Dari kelas 6 sampai kelas 8 (SMP), penekanan baru ditambahkan pada mengajar anak untuk menganalisa dan berpikir secara lebih dalam. Pelajaran-pelajaran yang diterapkan harus disesuaikan sehingga melatih daya pikir anak untuk menganalisa suatu keadaan yang lebih abstrak, dengan cara dialogue dan pembahasan dari pandangan Gereja Katolik.  Penekanan logika menganalisa harus mulai diterapkan di dalam kurikulum pelajaran. Hal ini penting, supaya anak-anak mulai diajar untuk mengaplikasikan pelajaran Katolik yang mereka sudah dapat, dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Pelajaran Agama

Adalah sangat penting, bahwa kurikulum pelajaran agama yang diberikan adalah kurikulum yang sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Sekolah St. Adalbert menggunakan buku terbitan Ignatius Press yang berjudul Faith and Live series.  Di sana disampaikan ajaran iman Katolik dengan penuh (tidak dikompromikan) walaupun disampaikan sesuai dengan umur anak. Prinsipnya ajaran iman Katolik tidak dapat diubah ataupun dikurangi, namun cara penyampaiannya saja, yang disesuaikan.
Di sekolah St. Adalbert, pelajaran agama diadakan setiap hari, di setiap kelas, sekitar 20 menit; kecuali hari Jumat, karena setiap Jumat sudah diadakan perayaan Ekaristi, dan Benediction setelahnya di gereja.  Guru yang mengajarkan agama sama dengan guru kelasnya. Kekecualian adalah pada kelas yang gurunya adalah non-Katolik. Pelajaran agama bagi kelas ini diberikan oleh guru yang Katolik, dan guru yang non-Katolik ini ‘bertukar tugas’ sementara dengan guru ini, dengan mengajarkan mata pelajaran spelling (membaca) pada kelas yang lain. Guru yang non- Katolik ini menghormati apa yang diajarkan di sekolah. Ia berpartisipasi dalam doa Rosario maupun doa-doa lainnya. Walaupun tidak menerima Komuni dalam perayaan Ekaristi, ia mengikuti perayaan tersebut dengan khidmat. Pada saat pembagian Komuni ia maju ke depan untuk menerima berkat dari Father.

Kehidupan Spiritualitas komunitas sekolah

Berikut adalah jadwal rutinitas rohani setiap minggu yang dilakukan di St. Adalbert School:
  1. Waktu masuk sekolah adalah jam 8:00 pagi.  Doa pagi dilakukan di kelas masing-masing.
  2. Pada hari Rabu pagi dan Jumat pagi, semua murid dan staf guru pergi ke gereja untuk mengikuti perayaan Ekaristi pagi.
  3. Pada hari Jumat pagi, setelah Misa pagi, semua murid dan staf guru mengikuti Adorasi Sakramen Mahakudus,  Litani para kudus, dan devosi Kerahiman Ilahi/ “Divine Mercy”.
  4. Pada hari Selasa dan Kamis, murid-murid belajar mengenai Santo/santa tertentu (disesuaikan dengan kalendar liturgi), atau berdoa rosario.
  5. Kurang lebih 3 minggu sekali, setiap anak diberikan kesempatan untuk menerima Sakramen Pengakuan Dosa.
  6. Setiap anak laki-laki dari kelas 3 sampai kelas 8 menjadi misdinar secara bergantian.
  7. Pada waktu makan siang (jam 11:20 a.m), doa makan dilakukan di kelas masing-masing.
  8. Tepat pada jam 12:00 siang, semua staf/ murid berdoa Angelus (Malaikat Tuhan).
  9. Setelah istirahat siang/waktu main selama 30 menit, pelajaran di sekolah kembali dilakukan dan diakhiri jam 3:00 siang dengan doa penutup.
Di samping jadwal rutinitias di atas, ada acara-acara lain yang dilakukan untuk membantu mendalami iman:
  1. Acara Natal dilakukan di bulan Desember, dengan topik yang berfokus pada kelahiran Kristus dan keselamatan melalui Inkarnasi Kristus.
  2. Semasa Adven dan Prapaskah, murid-murid diberikan aktivitas yang mempersiapkan mereka kepada Natal/Paskah.
  3. Seni rupa/musik yang diajarkan sepanjang tahun seringkali bertemakan Kristiani, disesuaikan dengan perayaan/hari-hari khusus Gereja.
  4. Selain pendidikan agama, murid-murid juga belajar mengenal dan memperdalam pengertian mereka akan orang-orang kudus.  Terutama pada waktu merayakan hari ‘para orang kudus’ (All Saints’ Day) 1 November, mereka melakukan perayaan khusus dengan memberikan kesempatan bagi murid-muridnya untuk memakan pakaian seperti Santo/santa yang dipilih.  Anak- anak yang lebih besar memberikan presentasi akan Santo/santa yang mereka pilih.
  5. Pada waktu masa Prapaskah, murid-murid mengikuti acara Jalan Salib.
  6. Pada bulan Mei, diadakan upacara ‘May Crowning’, di mana murid-murid memberikan mahkota bunga yang mereka rangkai kepada patung Bunda Maria.
  7. Di akhir tahun ajaran, diadakan konser /pementasan yang bertemakan ajaran Kristiani.
  8. Beberapa kali dalam tahun pelajaran diadakan field trip/tour/ziarah ke tempat-tempat kudus, seperti grotto (taman gua Maria), Gereja Katedral, Shrine, dll.
  9. Pada tanggal December 5, Pastor dari St. Adalbert Church memakai jubah menyerupai Santo Nicholas (bukan sebagai santa Klaus) dan mengunjungi setiap kelas.
  10. Anak-anak diajar untuk peka terhadap masalah sosial dengan mengunjungi/ berpartisipasi dalam acara sosial di sekitarnya, seperti: mengunjungi panti jompo, atau para homeless, membantu membungkus makanan untuk dikirim ke daerah yang membutuhkan, berpartisipasi dalam ‘pro-life’ movement untuk memerangi aborsi di Amerika, membuat selimut untuk diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan dll.

Pengaruh positif pelaksanaan devosi terhadap perilaku anak-anak

Salah satu ciri khas sekolah Katolik yang menonjol adalah pelaksanaan doa bersama di sekolah. Pelaksanaan doa bersama, devosi, perayaan Ekaristi Kudus, dan penerimaan sakramen-sakramen lainnya, seperti sakramen Pengakuan dosa, Komuni pertama dan Penguatan/ Krisma berperanan sangat besar sekali terhadap perilaku anak-anak. Melalui doa-doa devosi, anak-anak diajar untuk meluangkan waktu mereka bagi Tuhan. Di tengah-tengah kesibukan belajar dan kegiatan sekolah yang banyak memakan waktu, mengadakan waktu untuk Tuhan adalah penting sekali untuk diajarkan kepada anak.
Maka berdoa bersama, selayaknya tidak dipandang sebagai ‘membuang-buang waktu’, namun sebagai kesempatan untuk mendidik anak-anak untuk mengutamakan Tuhan dalam hidup mereka. Berikut ini adalah hal-hal positif yang ditimbulkan dengan pelaksanaan devosi dalam komunitas sekolah:
  1. Pelaksanaan devosi membuat anak-anak menjadi lebih tenang di dalam hatinya, lebih memiliki self-control/ pengendalian diri untuk menjaga kelakuannya sehari-hari di sekolah.
  2. Secara tidak langsung, mereka juga belajar untuk mengerjakan pekerjaan sekolah lainnya dengan lebih fokus -karena keterbatasan waktu- dan sistematis.
  3. Pelaksanaan devosi juga mengajar anak-anak untuk memulai harinya dengan Tuhan dan menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan.
  4. Hubungan yang baik dengan Tuhan akan membawa akibat hubungan yang baik antara anak-anak dan para guru juga dengan sesama murid dan sesama guru.
  5. Hubungan yang baik dengan Tuhan membuat Roh Kudus akan bekerja di dalam hati setiap murid dan guru, untuk memberikan segala sesuatu yang terbaik di sekolah, dan untuk bersikap seperti Kristus di dalam segala hal.

Peran guru dalam mendisiplinkan murid yang nakal

Tentu saja pengaruh guru-guru penting sekali dalam membantu anak-anak untuk bersikap baik di sekolah. Jika anak-anak nakal, para guru mengingatkan mereka dengan memberikan pertanyaan, “What would Jesus do?” jika Ia ada dalam keadaan tersebut. Karena anak-anak sudah dengan sendirinya ingin berlaku baik, peringatan ini cukup dilakukan sekali ataupun dua kali saja.
Cara mendisiplinkan murid yang dilakukan di St. Adalbert school adalah sistem disiplin secara Kristiani. Yang dimaksud di sini adalah disiplin atas dasar ‘kasih Kristus kepada anak-anak-Nya’.  Maka disiplin ini bukan didasarkan atas kemarahan ataupun pelampiasan kekesalan guru dan juga bukan dengan pendidikan dengan sistem militer.  Disiplin ini didasarkan pada motivasi, “Apa yang sebaiknya dilakukan untuk membantu pembentukan karakter anak ini untuk menjadi lebih baik?”
Misalnya, terhadap anak-anak kelas TK kecil sampai kelas dua, apabila seorang murid sedang nakal, tindakan yang dilakukan adalah:
  1. Memperingatkan dengan nada suara yang biasa -tetapi cukup bisa didengar oleh anak- untuk memberhentikan perbuatan nakalnya dan kembali menjadi anak baik.
  2. Apabila anak tersebut mengabaikan peringatan tersebut, guru akan memberikan peringatan yang kedua kalinya dengan nada suara yang lebih tegas, dan bisa juga lebih keras, sebab kemungkinan murid itu benar-benar tidak mendengar sebelumnya.
  3. Apabila anak tersebut tetap mengabaikan peringatan yang kedua kalinya, maka guru akan mendekatkan dirinya kepada sang murid, melihat murid tersebut dengan seksama dalam jarak yang dekat -maksudnya adalah supaya bisa berkomunikasi dengan lebih personal- mengingatkan anak tersebut akan apa yang mungkin Yesus lakukan dalam keadaan seperti itu, atau juga mengingatkan akibat perbuatan anak tersebut terhadap dirinya sendiri, terhadap orang di sekitarnya, dan terhadap Tuhan -karena dia mengabaikan Tuhan dan membuat Tuhan sedih). Penting bagi guru untuk mengambil nada suara yang tenang, tetapi tegas; tidak perlu marah-marah atau berteriak-teriak dengan suara yang keras. Nada suara yang membentak-bentak akan memberikan dampak yang tidak produktif.  Hal ini akan membuat anak menjadi takut atau bertambah marah-tergantung karakter anaknya, tetapi tidak membantu mereka memperbaiki diri. Tambahan lagi, guru tersebut juga menjadi kehilangan pengendalian dirinya sendiri.
  4. Kadang-kadang anak tersebut perlu dipindahkan dari situasi/lingkungannya, dengan cara pergi ke tempat lain, atau masih di dalam kelas yang sama atau kalau perlu, ke kantor kepala sekolah), untuk ‘take a break’, supaya dia bisa punya waktu untuk berpikir dan merenungkan akibat perbuatannya tersebut pada dirinya sendiri, orang lain, dan Tuhan.
  5. Setelah selesai merenungkan perbuatannya, anak tersebut sebaiknya berdoa singkat, minta ampun pada Tuhan, karena telah membuat Tuhan bersedih. Anak itu juga harus minta maaf kepada orang lain (murid lainnya ataupun guru) yang terkena akibat perbuatannya.
Untuk murid-murid yang lebih besar, caranya kurang lebih sama. Perbedaannya adalah, mereka harus kembali diingatkan kepada hukum 10 perintah Allah, hukum cinta kasih, atau hukum Gereja yang lainnya.  Mereka diingatkan bahwa apa yang dilakukan mereka sudah melanggar hukum Allah, dan membuatNya berduka.  Penting juga untuk diingat bahwa anak yang lebih besar sangat terpengaruh akan teman-temannya.  Mereka mudah sekali merasa malu, kalau dikoreksi di depan anak-anak lainnya. Karenanya, kadangkala akan lebih efektif kalau waktu untuk komunikasi dengan anak dilakukan di ruangan yang lain / di luar kelas atau di kantor kepala sekolah.  Dalam situasi tertentu, perlu juga untuk melibatkan Pastor (kalau ada kesempatan) untuk berbicara kepada anak tersebut secara pribadi.  Peranan Pastor/ Romo sebagai bapa rohani, sesungguhnya mengambil bagian dalam peran kebapaan Tuhan sendiri. Karena itu, Pastor dapat memberikan pengarahan kepada anak tersebut tentang bagaimana Tuhan memandangnya, dan bagaimana tindakan yang dilakukannya dapat menimbulkan akibat yang negatif bagi orang lain, dan bagaimana ke depannya agar anak tersebut dapat menjadi lebih baik. Cara untuk meminta maaf kepada orang lain bisa dilakukan dengan menulis kartu, atau surat dengan tata-bahasa dan tulisan yang sebaik-baiknya.

Perlunya melibatkan orang tua dalam pendidikan anak-anak

Orang tua sangat besar pengaruhnya dalam mendidik anak. Dalam melibatkan orangtua, pertama kali pentingnya bagi pihak sekolah dan orangtua berada dalam pengertian yang sama mengenai cara mendidik anak.  Maksudnya, pihak sekolah dan orang tua harus kurang lebih melihat dari cara pandang yang sama, sehingga apa yang dilakukan di sekolah juga ditunjang oleh orangtua di rumah.  Contohnya:
  1. Mengerjakan pekerjaan sekolah/ rumah. Orangtua sebaiknya ikut terlibat (disesuaikan dengan umur anak) akan perkejaan sekolah anak.  Maksudnya, orangtua harus mengetahui akan apa yang dikerjakan/ dipelajari oleh anaknya di sekolah.  Tujuannya adalah apabila ada hal-hal yang tidak sesuai/ tidak baik yang didapat dari anak di sekolah (misalnya dari buku bacaan, teman, internet, dll), orangtua bisa lebih pro-aktif mencegah pengaruhnya bagi anak.
    Alangkah baiknya bagi orang tua untuk benar-benar memahami peran utamanya dalam pendidikan dan pembentukan anak.  Katekismus Gereja Katolik sendiri mengajarkan bahwa peran orang tua tersebut adalah yang pertama dan utama apabila dibanding dengan peranan sekolah.  Sekolah fungsinya hanya membantu orangtua dalam mendidik anak.  Pada akhirnya, tujuan orang tua yang utama adalah membawa dan mengarahkan anaknya ke Surga.
  2. Dalam masalah mendisiplinkan anak. Apabila seorang anak didisiplinkan di sekolah, lalu pulang ke rumah dengan complain-complain atau menyalahkan gurunya, orangtua tidak boleh langsung membela anaknya dan menyalahkan gurunya.  Orangtua harus dengan kepala dingin mendengar masalah yang dikemukakan anaknya, dan berusaha menjelaskan kepada anaknya mengapa guru/ pihak sekolah melakukan kebijaksanaan yang demikian.
    Apabila orangtua merasa ada hal yang tidak jelas akan keadaan yang dilaporkan oleh anak, orang tua bisa menghubungi pihak sekolah dan berbicara dengan guru/kepala sekolah untuk mencari tahu duduk perkara yang sebenarnya. Satu hal penting untuk diingat adalah jangan mengkoreksi/ berselisih pendapat dengan guru di depan anak-anak. Kalau hal ini dilakukan, anak-anak akan kehilangan rasa hormat pada gurunya. Dan di kemudian hari, apabila ada masalah baru, dia akan menggunakan orangtuanya sebagai ‘senjata’ atau ‘tameng’ untuk tidak mengikuti perkataan gurunya.  Hal ini bisa terjadi terutama pada anak-anak yang lebih besar. Jika secara umum para guru mengalami keadaan di mana para orang tua justru tidak kooperatif dengan upaya pihak sekolah untuk mendidik anak-anak mereka, mungkin ada baiknya diadakan pertemuan antara para murid, guru, kepala sekolah dan hal-hal semacam ini dapat dibicarakan dengan baik, sehingga dapat terjadi rasa saling pengertian di antara semua pihak.
  3. Ada baiknya juga dari pihak sekolah untuk melaporkan apa yang terjadi di sekolah kepada orang tua, lewat surat, telpon atau e-mail; sebelum anak tersebut pulang ke sekolah. Kadangkala, jika diperlukan malah orangtua harus dipanggil ke sekolah untuk bertemu/ berkomunikasi langsung dengan guru yang bersangkutan. Komunikasi yang terbuka antara pihak sekolah dan orang tua harus selalu diusahakan, agar terbentuk rasa saling percaya, dan kerjasama yang efektif di antara orangtua dan pihak sekolah.
  4. Orangtua harus menerapkan disiplin yang benar, efektif dan konsisten di rumah. Misalnya sehubungan dengan waktu tidur malam yang cukup banyak bagi anak. Tidur malam penting sekali bagi anak sekolah, karena mempengaruhi kelakuan anak di esok harinya, dan prestasi belajarnya.  Kalau seorang anak dibiasakan tidur terlalu malam, ia akan terlalu lelah besoknya, cenderung lebih emosional (gampang kesal, marah, atau menjadi ‘trouble-maker’ di sekolah).  Lebih lagi, ia akan tidak fokus dalam pelajaran (karena lelah), tidak mau melakukan pekerjaan sekolahnya dengan seksama, dll.
Hal lain yang penting untuk dikontrol adalah pengaruh rekreasi media di rumah, seperti TV, video game dan penggunaan telepon.  Waktu istirahat yang dihabiskan di depan media seperti ini sifatnya counter productive. Penggunaan alat-alat semacam ini dalam  jangka waktu yang lama, akan membawa pengaruh bagi anak-anak, terutama membuat anak-anak menjadi malas berpikir, membuat perilaku jadi hyper-active, dan menurunkan kreativitas / daya imajinasi anak.

Contoh cara menumbuhkan rasa kasih persaudaraan

Rasa kasih persaudaraan sesama murid bisa ditanamkan dengan banyak cara.  Berikut adalah beberapa contoh yang mudah untuk dilakukan:
  1. Kalau ada murid yang sakit, guru dapat mengkoordinasikan agar teman-teman sekelasnya dapat mengirimi kartu sederhana yang ditandatangani oleh mereka, dengan ucapan singkat yang membangun semangat, seperti:  semoga cempat sembuh, we miss you, dll.  Waktu doa pagi di kelas tersebut, bisa juga mendoakan murid/ guru yang sedang sakit. Kalau sakitnya berat, bisa didoakan di bagian doa umat dalam perayaan Misa Kudus.
  2. Pada waktu istirahat main, dapat diadakan permainan yang menyangkut banyak anak, seperti team work, untuk menjalin kerjasama dan kekompakan.
  3. Beberapa perkerjaan sekolah sebaiknya dilakukan di dalam kelompok.  Misalnya, dekorasi untuk perayaan tertentu, perkerjaan ketrampilan, pertunjukan musik/drama, dll.
  4. Melakukan perkerjaan sosial secara bersama-sama, misalnya: membuat selimut untuk orang yang berkekurangan, membersihkan gereja, membuat paket Natal atau Paska untuk anak-anak panti asuhan, dll.

St. Adalbert School’s Achievements

  1. Tahun 2012 – 2013 : St. Adalbert school menerima penghargaan khusus dari Keuskupan; se bagai satu di antara tujuh sekolah terbaik “Top Winning Schools” di Keuskupan Agung  LaCrosse, Wisconsin; dari segi akademis dan kualitas pendidikan.
  2. Tahun 2012 – 2013 : St. Adalbert school meraih nilai yang sangat tinggi dari national test score (ITBS score), 96% percentile untuk seluruh mata pelajaran yang diberikan (Top 4% dari seluruh sekolah di Amerika).  Bisa dilihat berita ‘press release’ di bawah artikel ini, yang dipublikasikan di media setempat.
Marilah kita terus berusaha untuk memperbaiki keadaan pendidikan di masyarakat, terutama di sekolah Katolik untuk menjadi lebih baik, sesuai dengan gambaran dan ajaran Gereja Katolik.  Pendidikan adalah masa depan suatu bangsa, dan masa depan Gereja.

Ditulis oleh :
Maria Natalia Brownell, M.S, MTS
seorang istri dan ibu dari lima orang anak
High School Mathematics and Chemistry Instructor, Curriculum Coordinator,
Education Committee member of St. Adalbert Catholic School in Rosholt, Wisconsin, USA
Adjuct Faculty, Northcentral Technical College
Wisconsin Certified Technical College Instructor for Mathematics and Chemistry
_____________________________________________________________________________
Saint Adalbert ITBS ScoresTop National Average for the entire School
Rosholt, WI – Saint Adalbert students once again topped national averages on the Iowa Tests of Basic Skills (ITBS) and posted increases in percentile rank scores for the third straight year (see Figure I). The ITBS is administered in November of each year to students in grades K through 8 and provides a measuring stick for how Saint Adalbert students compare to other students across the country taking the same test.  The entire school scored extremely well on this test putting Saint Adalbert students in the top 4% of all students across the nation!  The Science test scores for the school put Saint Adalbert in the top 2% of all students across the nation for Science. Only 7 out of every 1,000 schools in the country scored better in science than the St. Adalbert Students.
These composite percentile scores represent an eight percentage point increase for the composite of the entire school over the 2012 scores and a 6 percentage point increase over previous high score from 2011.
Administration of the ITBS allows the school to compare the performance of its students to that of other students across the nation who took the same test at the same time of year. ITBS results are particularly helpful in identifying reading or math skills where students may need additional instruction; by administering the test in the fall, teachers have time to adjust the curriculum in areas that need additional work.
Core subjects tested by the ITBS include Reading, Language Arts, and Math.  The 2012-2013 scores showed a significant increase in all of these core learning areas, making Saint Adalbert the top Catholic School in Portage county! Saint Adalbert can also be compared to the local public school test scores by going on the Wisconsin DPI website.
The ITBS is a norm-referenced test that ranks student performance according to percentiles. For example, a student in the 75th percentile scored equal to or better than 75 percent of all students across the nation who participated in the ITBS at the same grade level. Also reported are grade equivalents, or GE scores. The numbers in the GE score that come before the decimal represent the grade level of the student’s performance, while the digits that follow the decimal represent the month within the grade. A GE score of 5.2 means the student’s performance was similar to that expected of a fifth grader taking the same test during the second month of school.  Saint Adalbert Students, on average, scored 1-2 grades higher in K-4 and 2-4 grades higher in grades 5-8 than the comparison students around the nation.

Tidak ada komentar: