Senin, 28 Desember 2015

PESTA KELUARGA KUDUS, YESUS, MARIA, YUSUF

Sam 1:20-22. 24-28 1Yoh 3:1-2.21-24 Luk 2:41-52
PENGANTAR 
      Sesudah merayakan Hari Raya Natal, hari in Gereja mengajak kita merayakan Pesta Keluarga Kudus. Di dalam ceritera Injil Lukas tentang sikap dan kata-kata Yesus terhadap ayah dan ibu-Nya, di situ kita menemukan bahan pemikiran dan renungan yang sangat baik, aktual dan relevan juga bagi keluarga-keluarga kristiani yang hidup di zaman modern sekarang ini. Marilah kita mencoba mendengarkan dan memahami pesan yang disampaikan dalam ceritera itu kepada kita.

HOMILI
      Untuk memahami Injil Lukas hari ini, kita terutama jangan hanya berpikir secara rasional, melulu dengan otak sehat, melainkan juga dengan perspektif iman dan terutama dengan sikap rendah hati. Bahasa Kitab Suci atau bahasa alkitabiah memang bukan bahasa ilmiah atau secara matematis, melainkan merupakan bahasa sastra iman, yang harus digunakan secara tenang dan dengan hati terbuka.
      Sesudah selama tiga hari Yusuf dan Maria mencari dan akhirnya menemukan kembali Yesus, anak berumur 12 tahun itu, mereka berkata: “Nak, mengapa Engkau berbuat demikian terhadap kami? Lihatlah, Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau”? Jawaban Yesus: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”. Kata-kata Yesus itu kiranya dapat diterjemahkan demikian: “Aku harus selalu memusatkan pikiran-Ku kepada kehendak Bapa-Ku”. Artinya, Yesus menunjukkan Allah sebagai Bapa-Nya. Maka ketaatan kepada Bapa-Nya di surga harus diberi tempat utama, dan harus didahulukan!


      Selanjutnya sesudah peristiwa itu, Lukas hanya menyampaikan berita pendek ini: “Yesus pulang bersama-sama mereka ke Nasaret, dan Ia belajar tetap hidup dalam asuhan mereka”. “Yesus makin bertambah besar dan bertambah pula hikmat-Nya; Ia makin besar dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia”. Sesudah itu dalam Injil tidak diberitakan lagi tentang Yesus, semuanya seolah-olah didiamkan saja. Meskipun demi-kian kita dapat belajar banyak dari berita yang pendek itu.
      Yesus dibimbing dalam keluarga Maria dan Yusuf dan disebut “anak tukang kayu” (Mat 13:55), yang tak terkenal, seperti orang biasa di antara orang-orang tetangga-Nya. Paus Paulus VI berkata, bahwa Nasaret adalah suatu sekolah, di mana kita dapat belajar mengenal bagaimana hidup Yesus, dan dengan demikian memahami makna ceritera sederhana Injil yang diwartakanNya kepada kita.
      Pertama: kita belajar memiliki ketenangan. Kita sekarang hidup di tengah keramaian kesibukan, ketegangan. Ketenangan Nasaret mengajar kita untuk bersikap tenang, dengan kedalaman batin, sambil mendengarkan suara Allah, merenungkan dan menangkap kehendak-Nya, dan berdoa penuh kepercayaan, yang hanya diketahui oleh Allah sendiri.
      Kedua: kita belajar mengenal keluarga Nasaret, rumah seorang tukang kayu, tentang pekerjaan dan semangat kerja Yusuf. Kita harus belajar bahwa setiap karya atau pekerjaan memiliki nilai atau martabatnya sendiri. Semua karya dibutuhkan orang. Bukan terutama kehebatan karya yang harus diutamakan, melainkan semangat dalam melaksanakannya, - itulah yang penting. Misalnya, nilai karya yang kita lakukan bukan dihargai Tuhan menurut ukuran sistim ekonomi atau ilmu teknik mana yang kita ikuti, melainkan sesuai dengan nilai niat, kehendak dan semangat kerja kita yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Karya semacam itulah yang sungguh berharga didepan Tuhan.
      Ketiga: Kita diajak mrenungkan kembali makna dan nilai perkawinan dan keluarga yang sebenarnya. Situasi dan kondisi masyarakat kita dewasa ini, dengan segala macam iklan, kegiatan, gerakan yang memperlihatkan gambaran tentang perkawinan yang sangat menarik: pakaian nikah gaya baru, kartu undangan yang indah, bahkan dengan bahasa asing, resepsi tingkat tinggi, rumah tempat resepsi perkawinan yang sangat mulia! Namun, jangan pernah kita melupakan persiapan mental, persiapan batin yang tak boleh terlupakan. Kesederhanaan Yusuf dan Maria, sebelum dan sesudah hidup sebagai keluarga, ketulusan hati, rasa saling menghargai dan mengasihi, kesediaan saling memahami dan menolong, dan tanggungjawab bersama total terhadap anak mereka, - semua itu harus kita terjemahkan sebagai nilai-nilai yang luhur ke dalam segenap keluarga kristiani di zaman kita sekarang ini. Seperti keluarga Maria, Yusuf dan Yesus di Nasaret waktu dahulu sudah merupakan sumber Injil bagi masyarakat pada waktu itu, demikian pula semoga keluarga-keluarga kristiani di zaman kita sekarang ini juga menjadi pewarta Injil tentang keluarga sejati yang bahagia.
      Kita sekarang hidup dalam masyarakat yang terus berubah, menghadapi banyak tantangan baru. Kita semua tahu, tetapi kita harus makin sadar, bahwa keluarga adalah sel masyarakat. Masyarakat dibentuk oleh keluarga. Keluarga ada sel masyarakat. Kedewasaan manusia ditentukan oleh pendidikan, bukan hanya di sekolah tetapi pertama-tama dalam keluarga. Paus Fransiskus mengadakan sinode dua kali (2014 dan 2015) untuk membahas tema keluarga. Kita disadarkan kembali bahwa nilai dan tingkat kebaikan, kesehatan, semangat masyarakat tergantung dari peranan keluarga. Maka sangat penting, bahwa kita sungguh yakin dan berusaha melaksanakan apa yang ditekankan oleh Paus Fransiskus untuk zaman kita sekarang ini: Keluarga adalah “sekolah kemanusiaan yang pertama dan utama”.
Mgr. F.X. Hadisumarta O.Carm.

Tidak ada komentar: