[Hari Minggu Biasa ke XXV: Keb 2: 12,17-20; Mzm 54:3-8; Yak 3:16-4:3; Mrk 9:30-37]
Di salah satu blog di internet, dikisahkan tentang Paus Fransiskus yang konon membuatkan sandwich isi selai untuk seorang Swiss Guard yang bertugas menjaga keamanan di depan apartemennya di Casa Santa Marta. Keluar dari pintu, Paus melihat sang Swiss Guard [mungkin bagi kita, istilahnya satpam] berdiri berjaga. Lalu Paus bertanya:
“Apakah kamu telah berjaga semalaman?
“Ya”, jawab si petugas.
“Berdiri?” tanya Paus.
“Yang Mulia, itu tugasku sejak aku bergantian jaga dengan temanku.”
“Kamu tidak capek?”
“Itu tugas saya Yang Mulia; saya harus berjaga demi keamanan Anda.”
Paus memandangnya dengan kasih, dan kembali ke kamarnya. Setelah semenit ia kembali dan membawa sebuah kursi: “Paling tidak, duduklah dan beristirahatlah.”
Sang petugas menjawab, “Bapa Suci, maafkanlah saya, tapi saya tidak dapat! Peraturannya tidak memperbolehkan itu.”
“Peraturan?”
“Perintah dari kapten saya, Yang Mulia.”
“O, begitu? Baiklah. Saya Paus dan saya memerintahkan kamu untuk duduk.”
Terbelah antara peraturan dan Paus, sang petugas akhirnya memilih kursi itu. Paus kembali ke apartemennya. Setelah beberapa menit, Paus keluar lagi menemui sang Swiss Guard yang masih duduk di kursi. Paus membawa “panino con marmellata” (setangkap roti selai) yang telah dibuatnya. Sebelum sang petugas mengucapkan apapun, Paus tersenyum dan berkata kepadanya, “Dengan berjam-jam berdiri sambil berjaga, mestinya kamu sedikit lapar.” Sang Swiss Guard tak punya waktu untuk menolak, sebab Paus langsung berkata: “Selamat makan, saudaraku.”
“Apakah kamu telah berjaga semalaman?
“Ya”, jawab si petugas.
“Berdiri?” tanya Paus.
“Yang Mulia, itu tugasku sejak aku bergantian jaga dengan temanku.”
“Kamu tidak capek?”
“Itu tugas saya Yang Mulia; saya harus berjaga demi keamanan Anda.”
Paus memandangnya dengan kasih, dan kembali ke kamarnya. Setelah semenit ia kembali dan membawa sebuah kursi: “Paling tidak, duduklah dan beristirahatlah.”
Sang petugas menjawab, “Bapa Suci, maafkanlah saya, tapi saya tidak dapat! Peraturannya tidak memperbolehkan itu.”
“Peraturan?”
“Perintah dari kapten saya, Yang Mulia.”
“O, begitu? Baiklah. Saya Paus dan saya memerintahkan kamu untuk duduk.”
Terbelah antara peraturan dan Paus, sang petugas akhirnya memilih kursi itu. Paus kembali ke apartemennya. Setelah beberapa menit, Paus keluar lagi menemui sang Swiss Guard yang masih duduk di kursi. Paus membawa “panino con marmellata” (setangkap roti selai) yang telah dibuatnya. Sebelum sang petugas mengucapkan apapun, Paus tersenyum dan berkata kepadanya, “Dengan berjam-jam berdiri sambil berjaga, mestinya kamu sedikit lapar.” Sang Swiss Guard tak punya waktu untuk menolak, sebab Paus langsung berkata: “Selamat makan, saudaraku.”
Terharu hatiku membacanya. Dengan pembawaannya yang khas, Paus Fransiskus memberikan contoh kepada kita, bagaimana menjadi seorang pemimpin yang melayani. Ini adalah salah satu pesan bacaan-bacaan Kitab Suci hari ini. Setelah Yesus dimuliakan di atas gunung, Yesus memberitahukan kepada murid-murid-Nya tentang apa yang akan dihadapi-Nya. Yaitu bahwa Ia akan dianiaya dan dibunuh, namun tiga hari setelahnya, Ia akan bangkit (lih. Mrk 9:31). Ini adalah nubuat Yesus yang sangat jelas akan sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya, yang menggenapi nubuat para nabi. Salah satunya adalah nubuat yang tertulis dalam Kitab Kebijaksanaan yang dibacakan sebagai Bacaan Pertama Minggu ini. Kitab Kebijaksanaan adalah salah satu kitab dalam kitab-kitab Deuterokanonika; yang di dalamnya memuat perikop yang sangat jelas menggambarkan Kristus (lih. Keb 2:10-20). Oleh karena itu, para rabi Yahudi tidak memasukkan kitab Kebijaksanaan dalam kanon kitab suci mereka, sebab mereka sampai sekarang menolak Kristus dan tidak percaya kepada-Nya.
Kembali kepada nubuat Yesus tentang kematian dan kebangkitan-Nya. Saat mendengar perkatan Yesus itu, para murid tidak mengerti, namun mereka segan menanyakannya kepada-Nya. Mungkin mereka masih belum memahami tentang apa yang Yesus bicarakan, tetapi mungkin juga, karena mereka sedang sibuk membicarakan hal lain. Rupanya mereka sedang membicarakan tentang siapakah yang terbesar di antara mereka. Yesus yang mampu membaca kedalaman pikiran hati setiap manusia, mengetahui apa yang ada dalam pikiran para murid-Nya saat itu. Sejumlah dari mereka mungkin masih terbayang-bayang pengalaman melihat Yesus yang dimuliakan di atas gunung, lalu menghubungkan kemuliaan tersebut dengan kejayaan kerajaan-Nya di bumi. Dengan demikian, mereka seolah-olah ingin berlomba menjadi yang terdekat dengan Yesus atau menjadi pemimpin bagi sesama rasul lainnya. Namun Yesus memberi persyaratannya: bahwa siapa yang mau menjadi pemimpin harus mau menjadi pelayan bagi semuanya (lih. Mrk 9:35). Walau mungkin pada saat itu perkataan ini belum dipahami sepenuhnya oleh para murid, namun setelah Yesus wafat, bangkit, naik ke Surga dan mengutus Roh Kudus-Nya, perkataan ini jelas tertanam di hati para rasul. Ini nampak juga dari tulisan Rasul Petrus (1Ptr 5:1-3) dan Rasul Paulus (1Kor 9:19-; 2Kor 4:5). Paus sebagai penerus Rasul Petrus, juga melestarikan ajaran Yesus ini, dengan mengambilnya sebagai salah satu gelarnya, yaitu “Pelayan dari semua pelayan Tuhan,” Servus servorum Dei.
Di Tahun Syukur—tema yang diangkat di Keuskupan Agung Jakarta tahun 2015—di saat banyak diadakan banyak program kepemimpinan dan Leadership di paroki-paroki, kita diingatkan untuk kembali ke satu prinsip dasar bagi seorang pemimpin sejati menurut Injil. Yaitu seorang pemimpin adalah seseorang yang mau menjadi pelayan. Yesus mengajarkannya demikian, dan telah melaksanakannya sendiri, sebagaimana kita lihat selama hidup-Nya di dunia sampai wafat-Nya di kayu salib. Kini mari kita memeriksa batin kita, terutama jika kita memegang suatu peran kepemimpinan di keluarga, lingkungan, paroki, maupun masyarakat. Sudahkah kita menjadi pemimpin yang rendah hati dan mau memperhatikan kesejahteraan mereka yang kita pimpin? Sudahkah kita mau melayani mereka? Mari belajar dari Paus Fransiskus, yang tidak canggung dan bahkan dengan sukacita, melayani petugas satpam dan menganggapnya sebagai saudaranya sendiri.
Adakah saudara atau saudari kita hari ini, yang mungkin perlu kita bawakan kursi dan kita buatkan roti?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar