Senin, 27 Juli 2015

Pewartaan Kristus di Zaman Digital dengan Semangat Rasul Paulus bagian IV

IV. Peluang dan tantangan pewartaan di era digital
Kita bersama yakin, bahwa Rasul Paulus tidak akan berdiam diri menghadapi tantangan ini. Bahkan kita yakin, bahwa dia akan menjadikan media komunikasi sebagai satu peluang yang begitu luar biasa yang harus digunakan untuk mengkomunikasikan/ mewartakan Kristus yang adalah Sang Kebenaran yang sejati. Dalam salah satu dokumen Instruksi Pastoral yang dikeluarkan oleh Pontificum Consilium de Communicationibus Socialibus tentang Komunikasi Sosial, Aetatis Novae (1992), dijabarkannya pentingnya hal komunikasi di dalam Gereja, karena sesungguhnya hal ini mengambil model dari komunikasi yang terjadi di dalam Pribadi Allah Trinitas. Sebab di dalam Kristus yang adalah Sang Sabda yang menjadi manusia, komunikasi kasih antara Allah Bapa dan Allah Putera oleh kuasa Roh Kudus menjadi nyata. Komunikasi ini yang kemudian ditanggapi oleh manusia dalam iman mewujudkan dialog yang mendalam.[4] Komunikasi kasih inilah yang perlu dihadirkan di tengah kehidupan manusia, melalui media komunikasi sosial, dan orang- orang yang terlibat di dalam media ini mempunyai tanggungjawab untuk mewujudkan keselarasan antara Teladan yang dicontoh dan pelaksanaannya di lapangan, agar para pembacanya dapat melihat hubungan antara keduanya. Yaitu bahwa Kabar Gembira yang dikomunikasikan adalah Kasih Allah yang disampaikan di dalam Kristus.
Hal komunikasi sebagai hakekat Gereja ini pula yang ditekankan dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Pontifical Council for Social Communication, yang berjudul Gereja dan Internet (2002). Dikatakan demikian, “Komunikasi di dalam dan oleh Gereja pada dasarnya adalah penyampaian tentang Kabar Gembira Yesus Kristus. Komunikasi tersebut adalah pewartaan Injil sebagai nubuat, sabda yang memerdekakan manusia di zaman sekarang, suatu kesaksian di hadapan sekularisasi radikal tentang kebenaran ilahi dan tujuan akhir umat manusia; sebuah saksi yang diberikan kepada semua umat beriman di dalam solidaritas untuk melawan segala bentuk konflik dan pemisahan menuju keadilan dan persekutuan di antara orang- orang, bangsa- bangsa, dan budaya.”[5]
1. Membaca tanda-tanda zaman akan pentingnya media digital
Oleh karena itu Gereja Katolik mempunyai perhatian besar terhadap media komunikasi sosial. Berikut ini adalah beberapa kutipan pengajaran Magisterium tentang hal komunikasi tersebut:
Paus Pius XII: Pada tahun 1957 menekankan pentingnya media – baik radio, televisi, film – untuk dapat digunakan dalam mengekspresikan kebenaran.[6]
Paus Paulus VI: di tahun 1971 mengatakan bahwa Gereja melihat media sebagai karunia Tuhan, yang dapat dipergunakan manusia sebagai alat untuk persatuan di dalam persaudaraan dan juga sebagai alat agar manusia dapat menanggapi warta keselamatan.[7] Media modern dapat menawarkan cara-cara baru untuk menghadapkan manusia dengan pesan Injil.[8] Selanjutnya, ia mengatakan, “Gereja akan merasa bersalah di hadapan Kristus bila gagal menggunakan media untuk evangelisasi.”[9]
Konsili Vatikan II: Dalam Dekrit Konsili tentang Media Komunikasi Sosial, ditegaskan bahwa media sosial dapat memberikan kontribusi kepada umat manusia dan Gereja dapat menggunakannya untuk menyebarkan Injil Kerajaan Allah.[10]
Paus Yohanes Paulus II: “Gereja belumlah cukup untuk menggunakan media sekedar untuk menyebarkan pesan Injil dan ajaran otentik Gereja. Namun juga perlu mengintegrasikan pesan Injil ke dalam kebudayaan baru yang diciptakan oleh komunikasi modern.”[11].
“[Meskipun dunia komunikasi sosial] sering nampak tidak cocok dengan pesan Kristiani, ia menawarkan kesempatan- kesempatan yang unik untuk mewartakan kebenaran yang menyelamatkan dari Kristus kepada seluruh keluarga besar umat manusia. Pertimbangkanlah …. kemampuan- kemampuan positif dari internet untuk menyampaikan informasi dan ajaran religius yang melampaui segala batas dan penghalang. Luasnya para pendengar akan menjadi sesuatu yang melampaui batas imajinasi mereka yang mewartakan Injil jauh sebelum kita …. Umat Katolik tidak perlu takut untuk membuka lebar- lebar pintu komunikasi sosial kepada Kristus, sehingga Kabar Gembira-Nya dapat terdengar dari atap- atap rumah di dunia.”[
12]
Paus Benediktus XVI: menyerukan agar umat Katolik secara khusus kaum muda, untuk menggunakan media digital dalam memberitakan kabar gembira, yaitu: Tuhan yang telah menjadi manusia, yang menderita, wafat, dan bangkit untuk menyelamatkan kita manusia.[13]
Paus juga meminta agar para pastor mempergunakan media ini untuk melayani dunia, untuk memperkenalkan Gereja dan membawa wajah Kristus kepada dunia modern ini.[
14]
Kemudian di tahun berikutnya, Paus kembali menyerukan agar kita sebagai umat Kristen menyerukan kebenaran di dalam dunia digital, bukan berdasarkan sensasi atau mencari popularitas, namun memberitakan Kristus sesuai dengan dinamika kehidupan saat ini, sehingga mereka sendiri dapat berhadapan dengan kebenaran, yang adalah Kristus sendiri.[
15]
2. Kelebihan pewartaan dalam era digital
Jadi, secara umum, Gereja memandang media komunikasi sebagai peluang yang positif untuk mewartakan Kristus. Selain itu, ada beberapa hal yang merupakan kelebihan khas internet, yaitu:
a. Informasi dapat disampaikan dengan langsung, segera, bersifat interaktif dan mengundang partisipasi pembaca.[16]
b. Informasi interaktif dua arah ini mengakibatkan hal positif seperti menjadikan komunikasi tidak kaku dan bersifat top-down, tetapi menjadi lebih hidup karena dapat terjadi dialog.[
17]
c. Karena terbuka untuk umum, maka pendidikan/ pengajaran yang disampaikan melalui internet berpotensi untuk membentuk penilaian banyak orang tentang ukuran moral yang benar dan membentuk hati nurani yang benar[
18]
3. Tantangan yang perlu diwaspadai
Namun ada beberapa tantangan yang perlu diwaspadai dalam penggunaan media komunikasi sebagai sarana pewartaan ini, yaitu:
a. Dapat menimbulkan kebingungan: Peluang interaksi/ dialog dua arah di internet juga dapat berpotensi menimbulkan kebingungan, karena pihak yang bertanya mempunyai kesempatan untuk menyampaikan pandangannya dengan bebas, sehingga semua pihak di sini sepertinya dapat sama- sama ‘berbicara’.[19] Untuk itu, penting untuk tetap diadakan kemungkinan melakukan moderasi, edit, seleksi, oleh pihak pengelola, agar tidak menimbulkan kebingungan bagi pembaca yang lain, tentang pihak manakah yang mewakili ajaran Gereja Katolik. Selain itu, pandangan dari pihak pengunjung yang tidak sesuai dengan ajaran iman Katolik seyogyanya ditanggapi oleh pihak tuan rumah dengan menyampaikan ajaran Gereja Katolik. Untuk itu diperlukan komitmen dari pihak pengelola situs/ blog, untuk mempelajari ajaran resmi Gereja Katolik.
b. Antipati dari dunia terhadap nilai-nilai Kristiani: Dunia media kadang sangat anti terhadap ajaran iman dan moral Kristiani. Ini disebabkan karena pandangan umum yang menganggap tidak adanya yang disebut kebenaran mutlak, dan bahwa semua pendapat adalah benar (relativisme).[20]  Waspada terhadap adanya gejala ini, saat mewartakan hal yang berkaitan dengan iman dalam media, kita perlu mengambil informasi dari sumber-sumber Katolik yang dapat dipercaya dan tidak asal cut and pastesaja dari berita sekular, yang kadang malah bernada melecehkan Gereja Katolik dan ajarannya. Kita juga harus selektif dalam memilih berita yang ingin disampaikan, dan dalam dialog kita harus berani menyampaikan kepenuhan kebenaran tanpa bersembunyi di balik pernyataan, “ya semua agama/ gereja sama saja.” Sebab memang ada unsur-unsur kebenaran di dalam agama- agama/ gereja-gereja lain, tetapi kepenuhan kebenaran ada di dalam Gereja Katolik[21]
c. Penyerangan terhadap kelompok agama: Adanya banyak situs di internet yang ditujukan untuk menyerang kelompok- kelompok agama ataupun budaya tertentu, tak terkecuali yang menyerang Gereja Katolik[22]. Terhadap hal ini ada setidaknya tiga macam akibat bagi pembaca: mengacuhkannya, menjadi terpengaruh olehnya, atau menjadi terdorong untuk mencari tahu fakta yang sesungguhnya dari sumber yang netral dan dari sisi Gereja Katolik. Kita sebagai katekis selayaknya mempunyai sikap yang terakhir ini.
d. Mementingkan opini pribadi: Bermunculannya situs- situs yang menamakan dirinya Katolik tetapi tidak menyampaikan informasi yang sungguh sesuai dengan posisi otentik Gereja Katolik. Walau mungkin didirikan dengan maksud yang baik namun dapat terjadi yang disampaikan di sana adalah pandangan pribadi yang eksentrik/ berbeda dengan ajaran resmi Gereja Katolik[23].
e. Pilih-pilih ajaran: Adanya kecenderungan dari pihak umat Katolik sendiri yang memilih-milih ajaran yang mau ditaatinya dan mana yang ingin ditolaknya[24]. Hal ini perlu diwaspadai, bahkan oleh pihak pengelola situs/ blog, supaya jangan sampai ia sendiri termasuk di dalam golongan ini, dan dengan demikian menjadi selektif dan bias dalam menyampaikan informasi, dan tanpa disadari memasukkan opini pribadi yang mempertanyakan atau bahkan menentang ajaran resmi Gereja Katolik. Misalnya, pandangan seperti: umat Katolik harus menjadi vegetarian, harusnya Gereja menahbiskan imam wanita, harusnya perayaan Misa lebih spontan dan tak perlu pedoman, dst.
f. Lupa akan realitas: Realitas dunia maya ini tidak bisa menggantikan realitas sakramen, dan kegiatan-kegiatan penyembahan dalam komunitas gerejawi[25]. Jadi jangan sampai Internet menggeserkan kecintaan para pembaca dan pengelola terhadap sakramen dan interaksi sosial yang nyata antara umat beriman.
4. Beberapa rekomendasi dari Vatikan
Dengan adanya peluang yang besar di media internet, “Gereja dapat dengan lebih lagi memberitakan kepada dunia akan apa yang diimaninya dan menjelaskan alasan- alasannya tentang suatu hal atau kejadian. Ia dapat lebih lagi mendengar suara- suara pandangan publik dan masuk dalam diskusi yang berkesinambungan dengan dunia di sekelilingnya, dan karena itu melibatkan dirinya sendiri dengan lebih langsung di dalam pencarian bersama akan solusi-solusi terhadap masalah-masalah yang menekan umat manusia.”[26] Selanjutnya, mengingat peluang yang besar dan positif yang dapat diberikan oleh internet/ media komunikasi terhadap pewartaan Kristus, maka Gereja menyarankan:[27].
a. Kepada para pemimpin Gereja: Orang- orang yang menempati kepemimpinan Gereja di semua sektor harus memahami media, dan menerapkan pemahaman ini dalam pembentukan rencana pastoral untuk komunikasi sosial. Jika perlu mereka sendiri harus menerima pendidikan tentang media. Mereka harus memperhitungkan penggunaan media sebagai kesempatan bagi kegiatan kerjasama ekumenis dan antar-agama.
Sebagai langkah untuk mengatur maraknya situs yang menamakan diri Katolik tetapi sebenarnya bukan situs resmi (unofficial) yang berkaitan dengan otoritas Gereja, maka “sebuah sistem sertifikasi yang sukarela di tingkat lokal dan nasional di bawah supervisi wakil-wakil dari Magisterium akan dapat membantu, yang berkaitan dengan materi- materi yang mengandung sifat pengajaran atau kateketik. Ide ini bukan untuk menekan ataupun memberi sensor tetapi untuk menawarkan kepada para pengguna internet semacam patokan yang dapat dipercaya terhadap apa yang mengekspresikan posisi otentik Gereja.”[28]
b. Kepada petugas pastoral: Para imam, diakon, biarawan/biarawati dan pekerja awam di bidang pastoral harus mempunyai pendidikan media untuk meningkatkan pemahamannya akan pengaruh komunikasi sosial kepada setiap orang dan masyarakat. Mereka perlu mendapat pelatihan tentang internet dan bagaimana menggunakannya di dalam pekerjaan mereka. Mereka dapat memetik manfaat dari situs-situs yang menawarkan saran- saran teologis dan pastoral.
Kepada petugas Gereja yang secara langsung terlibat di media, mereka harus memperoleh pelatihan profesional, namun juga mempunyai formasi yang baik tentang pengajaran maupun spiritualitas. Sebab “untuk memberi kesaksian tentang Kristus, adalah penting untuk mengalami perjumpaan sendiri dengan Dia dan untuk memperdalam hubungan pribadi dengan Dia melalui doa, Ekaristi dan sakramen Pengakuan Dosa, membaca dan merenungkan Sabda Tuhan, mempelajari ajaran Kristiani dan melayani sesama.”[29]
c. Kepada para pendidik dan katekis: Sekolah- sekolah Katolik mempunyai tugas yang genting untuk melatih para komunikator dan penerima komunikasi sosial dengan prinsip- prinsip Kristiani. Universitas Katolik, kolese, sekolah dan program pendidikan di segala tingkat perlu memberikan kursus-kursus kepada berbagai kelompok: calon imam, imam, biarawan, biarawati, pemimpin awam, guru, orang tua dan murid- dengan pelatihan dalam hal teknologi komunikasi, manajemen dan etika untuk mempersiapkan pekerjaan media profesional atau peran pengambil keputusan, termasuk mereka yang bekerja di dalam komunikasi sosial bagi Gereja.
d. Kepada para orang tua: Demi anak- anak dan diri mereka sendiri, orang tua harus memainkan peran sebagai supervisor bagi anak- anak mereka dalam menggunakan internet. Orang tua harus memberikan contoh yang bijaksana untuk menggunakan media di rumah mereka. Supervisi ini termasuk memastikan digunakannya sistem filter/ penyaringan di dalam komputer yang digunakan oleh anak- anak, agar melindungi mereka sedapat mungkin dari pornografi dan sejenisnya. Anak- anak tak dapat diperbolehkan untuk menjelajahi internet tanpa pengawasan orang tua. Orang tua dan anak harus berdialog tentang informasi apa yang boleh dilihat. Tugas mendasar dari para orang tua adalah agar membantu anak menjadi selektif dan menjadi pengguna internet yang bertanggungjawab dan agar tidak menjadi pecandu internet dan mengabaikan kontak dengan teman- temannya dan dunia sekelilingnya.
e. Kepada anak- anak dan orang muda: Anak- anak dan orang muda harus terbuka terhadap pendidikan sikap terhadap media, agar dapat menolak godaan terbawa arus, terbawa bujukan teman- teman dan eksploitasi komersial. Mereka harus diarahkan untuk menggunakan internet dengan bertanggungjawab, dan agar tidak terjerumus ke dalam konsumerisme, pornografi dan fantasi-fantasi kekerasan dan pengucilan diri.
f. Kepada semua orang yang berkehendak baik: disarankan agar menumbuhkan beberapa kebajikan untuk menggunakan internet:
1. Kebijaksanaan: untuk dapat melihat dengan jelas adanya pengaruh yang baik atau buruk, dan untuk menanggapi dengan kreatif peluang maupun kesempatannya.
2. Keadilan: untuk memperkecil jarak antara mereka yang kaya akan informasi dan yang kurang informasi di dunia ini.
3. Keperkasaan dan keberanian: untuk berani menyatakan kebenaran di hadapan pandangan relativisme, kemurahan hati di hadapan konsumerisme, kesopanan di hadapan sensualitas dan dosa.

4. Pengendalian diri: untuk mendisiplinkan diri sendiri agar dapat menggunakannya dengan bijak dan hanya untuk kebaikan.

Tidak ada komentar: