Pada hari Jumat (7 Agustus 2015) kemarin, dalam audiensi umum di Aula St. Paulus (Roma), Bapa Suci Paus Fransiskus berkenan menerima kunjungan dari puluhan ribu Orang Muda Katolik yang berasal dari berbagai negara di dunia. Mereka tergabung dalam Gerakan Kaum Muda Untuk Ekaristi (Eucharistic Youth Movement).
Pada pertemuan itu, Bapa Suci Paus Fransiskus berkenan mendengar dan menjawab pertanyaan dari beberapa utusan 6 pemuda-pemudi dari berbagai negara, yakni Italia, Brasil, Taiwan, Prancis, Argentina, dan juga yang sangat menggembirakan ialah adanya utusan dari Indonesia untuk bertanya.
Gregorius dari Indonesia beroleh keistimewaan karena terpilih dari antara puluhan ribu pemuda-pemudi yang hadir saat itu, untuk mengajukan pertanyaan kepada Bapa Suci Paus Fransiskus.
Karena panjangnya durasi audiensi umum ini, tanya jawab dari para pemuda-pemudi negara lain dengan Paus Fransiskus dapat dibaca dalam artikel bahasa Inggris di website resmi Vatikan dan artikel terkait lainnya.
Berikut ini adalah kutipan tanya jawab antara Bapa Suci Paus Fransiskus dengan Gregorius dari Indonesia.
Pada pertemuan itu, Bapa Suci Paus Fransiskus berkenan mendengar dan menjawab pertanyaan dari beberapa utusan 6 pemuda-pemudi dari berbagai negara, yakni Italia, Brasil, Taiwan, Prancis, Argentina, dan juga yang sangat menggembirakan ialah adanya utusan dari Indonesia untuk bertanya.
Gregorius dari Indonesia beroleh keistimewaan karena terpilih dari antara puluhan ribu pemuda-pemudi yang hadir saat itu, untuk mengajukan pertanyaan kepada Bapa Suci Paus Fransiskus.
Karena panjangnya durasi audiensi umum ini, tanya jawab dari para pemuda-pemudi negara lain dengan Paus Fransiskus dapat dibaca dalam artikel bahasa Inggris di website resmi Vatikan dan artikel terkait lainnya.
Berikut ini adalah kutipan tanya jawab antara Bapa Suci Paus Fransiskus dengan Gregorius dari Indonesia.
————————————————————
Gregorius – INDONESIA (dia berbicara kepada Bapa Suci Paus Fransiskus dalam bahasa Indonesia).
Nama saya Gregorius, saya seorang Indonesia, Siswa SMA Kanisius di Jakarta. Saya juga telah menjadi Putra Altar (Misdinar) di paroki saya sejak 2010.
Pertama kali saya tiba di sekolah saya, saya bertemu banyak orang baik. Tapi dalam hati saya bertanya: Apakah gelar / ijazah satu-satunya hal yang menjadikan anak muda menjadi “orang”? Selanjutnya saya terlibat dalam kegiatan seni dan olahraga, sampai saya menjadi kandidat pengurus OSIS. Ini adalah tantangan bagi saya. Proses pembentukan itu begitu keras sehingga saya merasa saya tidak bisa melakukannya. Dan setelah saya diangkat, saya begitu takut menerima tanggung jawab, sehingga saya membuat banyak kesalahan. Kendati demikian, Guru Pembimbing saya mengatakan kepada saya, bahwa sebagai pemuda saya tidak perlu takut untuk mengeksplorasi, untuk menjadi kreatif. Dan ini memberi saya keberanian.
Sebagai putra altar di paroki, saya belajar bahwa tanpa motivasi serta panggilan batin untuk melayani, saya tidak akan mampu menjadi putra altar yang baik, dan bahwa saya bukanlah apa-apa tanpa Tuhan. Inilah yang membuat kita istimewa.
Pertanyaan saya kepada Bapa Suci Paus Fransiskus:
Indonesia adalah negara dengan budaya, agama, dan etnis yang beragam. Katolik adalah minoritas di negara kami dan, karena pluralitas ini, yang ditambahkan prasangka politik, perdamaian selalu terancam dirusak. Apakah harapan Bapa Suci dari kaum muda Katolik Indonesia dalam konteks masyarakat majemuk dan penuh perbedaan seperti negara kami?
Indonesia adalah negara dengan budaya, agama, dan etnis yang beragam. Katolik adalah minoritas di negara kami dan, karena pluralitas ini, yang ditambahkan prasangka politik, perdamaian selalu terancam dirusak. Apakah harapan Bapa Suci dari kaum muda Katolik Indonesia dalam konteks masyarakat majemuk dan penuh perbedaan seperti negara kami?
—————————————————————
Jawaban dari Bapa Suci Paus Fransiskus:
Gregorius berbicara tentang konflik: konflik dalam masyarakat seperti Indonesia, di mana ada keragaman budaya yang besar dalam negaranya – suatu konflik sosial. Konflik juga dapat memiliki sisi positif, karena membuat kita menyadari perbedaan, membuat kita memahami kenapa ada perbedaan satu dengan yang lain, dan membuat kita mengerti bahwa jika kita tidak menemukan solusi yang menyelesaikan konflik, kita akan hidup dalam peperangan. Untuk ditangani dengan baik, konflik harus berorientasi pada kesatuan, dan dalam masyarakat seperti negara Anda [Paus kemudian memandang ke arah Gregorius], yang memiliki begitu banyak budaya yang berbeda, persatuan harus senantiasa diusahakan, sambil tetap memelihara identitas masing-masing pihak. Konflik hendaknya diselesaikan dengan menghormati identitas dari setiap pribadi. Ketika kita menonton TV atau membaca koran, kita melihat konflik yang tidak terselesaikan dan berakhir dalam peperangan: suatu budaya yang tidak mentolerir budaya lain. Kita teringat akan kaum Rohingja , saudara kita: mereka terusir dari satu negara ke negara lain, dan mereka berkelana melewati laut … Ketika mereka tiba di pelabuhan atau pantai, mereka diberi air dan sesuatu untuk dimakan, tetapi kemudian diusir kembali ke laut. Ini adalah konflik yang belum terselesaikan, dan ini adalah perang, inilah kekerasan, inilah yang dinamakan pembunuhan. Memang benar: jika saya memiliki konflik dengan Anda dan saya membunuhmu, konflik selesai, tapi ini sama sekali bukanlah jalan keluar. Jika ada begitu banyak identitas – entah itu budaya, agama – hidup bersama dalam suatu negara, memang akan ada konflik, tetapi harus ada penghormatan terhadap identitas masing-masing. Hanya dengan hal ini konflik dapat teratasi. Untuk mengatasi ketegangan dalam keluarga, antara teman – menurut Saya – diperlukan dialog; konflik sosial yang nyata, juga orang-orang dari berbagai budaya, dapat diselesaikan dengan dialog, tapi pertama-tama harus dilandasi dengan penghormatan identitas dari masing-masing pihak. Kita juga melihat di Timur Tengah, begitu banyak orang yang tidak dihormati sebagai pribadi: seperti minoritas agama, umat Kristen, tetapi tidak hanya mereka tidak dihormati: begitu sering mereka dibunuh, dianiaya. Mengapa? – Karena identitas mereka tidak dihormati. Dalam sejarah umat manusia selalu ada konflik, misalnya karena hal agama, yang terjadi karena tidak menghormati identitas orang lain.
Anda mungkin mengatakan, “Tapi dia itu bukan Katolik, dia tidak percaya kepada Yesus Kristus …” Jawab Saya, “Tetaplah hormati dia. Carilah apa yang baik dalam dirinya. Lihatlah kebaikan dalam agamanya, dalam budayanya, dalam nilai-nilai yang ia miliki. Hormatilah dia.”
Dengan demikian konflik diselesaikan karena kesediaan menghormati identitas orang lain. Dan ketegangan – sebagaimana tersirat dalam konflik – dapat diselesaikan dengan dialog. Inilah jawaban saya atas pertanyaan Anda (Gregorius) – dari Indonesia.
———————————————————–
Terima kasih Bapa Suci Paus Fransiskus, karena berkenan menjawab pertanyaan dari Gregorius, yang mewakili kami semua, putra-putri Gereja Katolik Indonesia.
Pax, in aeternum.
Fernando
Fernando
Tidak ada komentar:
Posting Komentar