SUATU hari dalam masa Pra Paskah, seorang pastor Jesuit diminta oleh Suster untuk membantu dalam sesi pengakuan dosa di sebuah sekolah dasar, khusus anak laki-laki di Jawa Tengah. Sekolah dasar itu terletak di tepi sungai kecil dimana tampak beberapa pohon kecik (bahasa Jawa untuk biji buah sawo manila) tumbuh subur di pinggirnya.
Selama pengakuan, pastor itu merasa senang karena sebagian besar murid tidak melakukan kesalahan besar dan kenakalan mereka masih terhitung wajar untuk anak-anak.
Kemudian ada satu kelompok anak-anak berusia sekitar 9 tahun yang berturut-turut malah mengakukan dosa yang sama. “Romo, saya minta ampun karena telah melemparkan Kecik ke dalam sungai,” demikian anak yang pertama berkata.
Anak berikutnya yang masuk juga bilang hal yang sama,”Romo, ampunilah dosa saya. Saya kemarin melempar Kecik ke dalam sungai.”
Dua anak yang kena giliran berikutnya juga mengatakan hal yang persis sama.
Romo itu merasa janggal dan sedikit khawatir bahwa anak-anak kecil itu berlaku terlalu keras terhadap diri mereka sendiri.
“Melempar Kecik ke sungai tidak benar-benar termasuk dosa,” batinnya.
“Melempar Kecik ke sungai tidak benar-benar termasuk dosa,” batinnya.
Ia lalu mengingatkan diri untuk bertanya kepada Suster Kepala Sekolah tentang apa yang telah diajakarn guru agama sekolahnya mereka kepada siswa tentang dosa asal. Lalu, sang pastor juga sekilas mengingat-ingat tentang kenakalan seorang murid, ketika seorang anak kecil dengan wajah montok yang cemberut tiba-tiba masuk ke ruang pengakuan.
Romo itu tersenyum dan langsung berkata kepada anak tersebut, “Jangan bilang bahwa kamu juga melempar Kecik ke dalam sungai.”
Anak itu terkejut dan memandang Romo dengan mata terbelalak, “Romo, Kecik itu saya!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar