Hadirnya
Natal dan Tahun Baru selalu melahirkan sebuah kontradiksi. Di satu sisi kita
disuguhi berbagai persiapan dan acara yang cenderung berbau pesta tapi di sisi
lain kita melihat banyak saudara kita yang masih hidup dalam kekurangan.
Berikut wawancara tertulis dengan Rm. YR. Edy Purwanto Pr, Sekretaris Eksekutif
KWI dan Direktur Kawali yang saat ini tinggal di Jakarta, menanggapi hal
tersebut.
Apa makna Natal bagi Gereja Katolik?
Natal
berasal dari kata Latin “natus” yang berarti kelahiran. Natal adalah hari raya
kelahiran Yesus Kristus di dunia ini. Hari raya kedatangan Tuhan, Sang
Juruselamat, yang berkenan menjadi manusia lemah dan miskin, agar kita yang
miskin dapat ambil bagian dalam kekayaan keallahannya itu. Natal adalah
perayaan syukur karena Allah beserta kita (Immanuel). Matius 1:23
"Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak
laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel" -- yang berarti: Allah
menyertai kita.
Untuk menyongsong Natal dan Tahun Baru jauh-jauh hari banyak orang sudah
disibukkan dengan adanya persiapan pesta, kemeriahan dan hura-hura, justru
persiapan batin tidak diolah. Bagaimana pendapat Romo mengenai fenomena ini?
Apa yang sebaiknya dipersiapkan untuk menyambut kelahiran Bayi Yesus dan
menyongsong Tahun Baru?
Menurut saya,
perilaku banyak orang yang jauh-jauh hari sebelum Natal tiba sudah
mempersiapkan banyak hal yang berhubungan dengan berbagai kebutuhan “duniawi”
adalah sah-sah saja. Tapi pertanyaan yang segera dapat kita ajukan adalah
“apakah persiapan yang semata-mata menyangkut perkara duniawi itu memang
merupakan goal atau tujuan akhir yang ingin kita capai?” Kalau jawabnya
“bukan”, maka berarti masih ada harapan bahwa orang berfikir tentang sesuatu
yang lain. Mungkin yang bersangkutan memang sadar bahwa bukan itu tujuan
akhirnya. Namun bila jawabnya “ya”, tamatlah riwayat Natal yang selama ini kita
maknai sebagai perayaan kesederhanaan dan kesahajaan. Kalau orang berhenti pada
upaya memenuhi keperluan pesta duniawinya saja, hura-huranya saja, maka makna
Natal yang agung itu bisa tereduksi ke perayaan yang lebih mengutamakan hal-hal
duniawi juga.
Dalam
semangat untuk tidak mengikuti arus duniawi yang saat ini begitu kuat menggoda
dan menggerus hidup rohani kita, bacaan Injil pada hari Minggu Adven pertama
tahun liturgi C menjadi sangat relevan: “Jagalah dirimu, supaya hatimu jangan
sarat oleh pesta pora dan kemabukan serta kepentingan-kepentingan duniawi dan
supaya hari Tuhan jangan dengan tiba-tiba jatuh ke atas dirimu seperti suatu
jerat. Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu beroleh kekuatan
untuk luput dari semua yang akan terjadi itu, dan supaya kamu tahan berdiri di
hadapan Anak Manusia” (Luk 21:34.36).
Saya sangat
setuju bahwa Gereja menyiapkan umatnya untuk perayaan agung itu dengan menekuni
masa adven (masa penantian). Selama hampir empat pekan umat diajak untuk
benar-benar mempersiapkan diri guna menyambut kedatangan Sang Penebus dengan
penuh sukacita dan harapan. Umat diajak untuk membangun semangat tobat,
sehingga menjadi persiapan hati dan batin yang sangat penting dan utama guna
merayakan Natal.
Dari waktu ke waktu Natal terkesan menjadi perayaan keagamaan yang glamour sebab di sekitar peristiwa iman itu unsur bisnis memang sangat kuat. Nuansa bisnis itu menjadi semakin kuat karena tidak lama sesudah perayaan Natal bangsa manusia di dunia ini merayakan pergantian tahun. Orang cenderung menjadikan momentum pergantian tahun ini sebagai momentum kenangan indah bagi siapa pun. Dunia bisnis sangat memahami dan memaknai momentum ini dengan berbagai tawarannya yang luar biasa.
Dari waktu ke waktu Natal terkesan menjadi perayaan keagamaan yang glamour sebab di sekitar peristiwa iman itu unsur bisnis memang sangat kuat. Nuansa bisnis itu menjadi semakin kuat karena tidak lama sesudah perayaan Natal bangsa manusia di dunia ini merayakan pergantian tahun. Orang cenderung menjadikan momentum pergantian tahun ini sebagai momentum kenangan indah bagi siapa pun. Dunia bisnis sangat memahami dan memaknai momentum ini dengan berbagai tawarannya yang luar biasa.
Sebagai
orang beriman hendaknya kita tetap ingat bahwa kendati dunia bisnis menawarkan
gebyar dunianya yang sangat menggiurkan, marilah kita tetap konsisten merayakan
Natal dan Tahun Baru dalam kesederhanaan dan kesahajaan, seperti diperlihatkan
oleh Allah sendiri yang datang ke dunia dalam semangat itu. Allah hadir dalam
diri bayi kecil Yesus yang lahir di kandang, dibungkus dengan lampin, dan
dibaringkan dalam palungan. Semua itu menjadi tanda kesederhanaan dan
kesahajaan.
Biasanya 1-2 bulan sebelum Natal banyak toko sudah gencar memajang berbagai
aksesoris natal - tahun baru dan memberi iming-iming sale besar-besaran untuk
berbagai macam barang yang menunjang penampilan (sandang/perabot). Bagaimana
kita harus bersikap dengan berbagai macam tawaran ini agar tidak terjerumus
dalam budaya konsumeris?
Kita harus
berani kembali ke hakikat atau makna dasar perayaan Natal dan Tahun Baru itu.
Keduanya merupakan perayaan syukur atas penyelamatan Allah. Natal menjadi
syukur atas kehadiran Sang Penebus. Tahun Baru merupakan syukur atas berkat
Tuhan yang telah kita terima di tahun yang berlalu dan atas berkat Tuhan yang
nyata dengan memberikan kesempatan baru bagi kita untuk terus hidup dan
berkarya lebih baik lagi. Dengan kata lain, tahun baru merupakan panggilan
untuk hidup lebih baik dan lebih berbuah dalam karya dan kebaikan.
Kalau kita
sudah meyakini benar makna terdalam dari kedua peristiwa tersebut, maka kita
tidak akan mudah tergoda oleh berbagai iming-iming duniawi yang hadir dalam
beragam bentuknya. Mengapa? Karena kita sudah menemukan sesuatu yang lebih
berarti daripada hal-hal duniawi yang dengan gencar ditawarkan kepada kita.
Orang mudah di”makan” oleh promosi sekitar perayaan Natal dan akhir tahun karena mereka tidak/belum menemukan nilai yang lebih dalam dan bermakna. Orientasi dan cara pandangnya masih dangkal, sehingga iming-iming kadonyan itu masih lebih kuat mempengaruhinya daripada nilai-nilai rohani yang seharusnya ditimba dari dua perayaan di penghujung tahun tersebut.
Orang mudah di”makan” oleh promosi sekitar perayaan Natal dan akhir tahun karena mereka tidak/belum menemukan nilai yang lebih dalam dan bermakna. Orientasi dan cara pandangnya masih dangkal, sehingga iming-iming kadonyan itu masih lebih kuat mempengaruhinya daripada nilai-nilai rohani yang seharusnya ditimba dari dua perayaan di penghujung tahun tersebut.
Apa hakikat Natal dan Tahun Baru menurut Romo?
Natal bagi
saya adalah peristiwa iman Gereja dan sekaligus momentum. Peristiwa iman Gereja
karena memang saya tidak bisa merayakan Natal tanpa Gereja. Dalam perayaan ini
saya disatukan dengan iman Gereja yang sedang mensyukuri kelahiran Sang
Penyelamat. Perayaan ini bukan semata-mata perayaan yang bersifat personal atau
pribadi. Saya hanya bisa merayakan Natal karena Gereja merayakannya. Sebagai
momentum karena Natal ini memberi kesempatan kepada saya pribadi untuk selalu
siap dilahirkan kembali, siap diperbarui kembali.
Saya
memaknai peristiwa tahun baru bukan sekedar sebagai “kronos” atau urutan waktu
yang terus berganti atau bergulir , sesudah tahun 2014 ya pasti tahun 2015;
tetapi sebagai “khairos” atau peristiwa yang mengantar saya untuk terus
membarui diri dan meningkatkan diri menjadi lebih baik dari waktu kemarin, dari
tahun yang lalu. Maka pergantian tahun selalu menjadi tantangan untuk membuat
sebuah resolusi (niat untuk mengubah diri) menuju hidup yang lebih baik. Kalau
saya boleh menyitir sabda Yesus, maka setiap tahun baru saya selalu diajak
untuk menjadi sempurna “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu
yang di sorga adalah sempurna" (Mat 5:48).
Apakah ada hubungan antara Natal dan Tahun Baru dengan kepedulian sosial?
Mengapa? Kesadaran macam apa yang sebaiknya dibangun?
Natal memang
sangat lekat erat dengan kepedulian sosial. Sebab Natal merupakan perayaan atas
kepedulian Allah kepada manusia. Kepedulian Allah itu dinyatakan salah satunya
oleh penginjil Yohanes dengan sangat jelas: “Karena begitu besar kasih Allah
akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya
setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang
kekal” (Yoh 3:16). Demikian juga Tahun Baru semestinya semakin mengembangkan
kita dalam kepedulian sosial.
Kita perlu
memperkembangkan terus semangat kepedulian itu, sebab Yesus sangat menekankan
hal itu. Ia sendiri pun memperlihatkan kepedulian di sepanjang hidup-Nya. Ia
memperhatikan mereka yang lemah, miskin, dan tersingkir serta menderita. Bahkan
kelak pada saat penghakiman terakhir pun Ia menanyakan apa yang sudah
dilaksanakan oleh para pengikutNya untuk mereka yang lemah itu di sepanjang
hidup mereka. Ia menyatakan: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu
yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini,
kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40) dan sebaliknya: “Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah
seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku” (Mat
25:45).
Pesan Romo untuk keluarga katolik dan kaum muda kaitannya dengan Natal dan
Tahun Baru?
Harapan saya
kepada keluarga-keluarga Katolik dan orang muda Katolik (OMK), marilah kita
meneladan Yesus yang bersahaja. Ia “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang
hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Filp 2:6-7). Itulah madah pengosongan
diri (kenosis) yang merupakan refleksi atas sikap Yesus.
Kita gunakan
peristiwa Natal dan Tahun Baru ini sebagai momentum dan khairos untuk perubahan
menuju kepada hidup yang lebih baik, lebih peduli, dan lebih memperhatikan
mereka yang kecil, lemah, miskin, dan tersingkir (KLMT). Santa
Theresia dari Kanak-kanak Yesus dalam perenungannya sampai kepada keyakinan
bahwa perubahan itu harus dimulai dengan mengayunkan langkah-langkah kecil,
mulai dari diri kita sendiri, dan mulai saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar