Selasa, 16 Juni 2015

Mengenal Marriage Encounter (ME)

Marriage Encounter atau yang sering disingkat ME adalah sebuah gerakan dari Gereja Katolik Roma untuk pasangan suami istri. Lebih jelasnya adalah sebuah program yang diberikan setiap akhir minggu dimana para pasutri mendapat kesempatan untuk melatih teknik berkomunikasi dengan kasih yang dapat mereka gunakan sampai akhir hayat. Hal tersebut adalah sebuah kesempatan untuk dapat melihat jauh ke dasar hubungan mereka dengan satu sama lain, dan juga hubungan mereka dengan Tuhan. Jadi merupakan saat untuk berbagi perasaan, harapan dan mimpi-mimpi dari satu sama lain.
Penekanan pada weekend Marriage Encounter adalah pada komunikasi antara suami dan istri. Weekend tersebut memberikan suasana yang kondusif bagi pasutri untuk menghabiskan waktu bersama, jauh dari gangguan dan tekanan dari kehidupan sehari-hari, sekaligus mendukung mereka untuk memusatkan perhatian pada satu sama lain dan hubungan mereka.
Intisari ajaran gereja yang menjadi dasar dari ME, sehingga Gereja Katolik merasa perlu untuk memfasilitasi Marriage Encounter ini adalah:


Intinya ada dua:
1. Kemanunggalan.
Dalam Kitab Kejadian 2:24 tertulis: “Sebab itu seorang laki-laki akan meniggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Terjamahan dari bahasa Ibrani menjadi ‘satu daging’ nampaknya secara harafiah, yang dimaksud sebenarnya ‘menjadi satu secara total’, ‘menjadi satu jiwa raganya’ jadi yang dikehendaki Tuhan bukanlah hanya pasangan suami-istri yang seragam, yang dua-duanya memiliki sifat-sifat dan kecenderungan yang sama. Juga bukan hanya pasangan yang harmonis, yang rukun-rukun, yang saling mengisi karena besar rasa toleransinya yang satu dengan yang lain. Yang dikehendaki Tuhan adalah kemanunggalan dari suami dan istri. Mereka bukan lagi dua melainkan satu! Satu secara total, satu jiwa raganya! Namun, mereka adalah dua insan yang berbeda jenis, yang satu wanita yang lain pria, yang mempunyai sifat-sifat dan kecenderungan berbeda karena perbedaan jenis itu. Belum lagi perbedaan-perbedaan yang disebabkan pohon keluarga yang berbeda, karena berlainan lingkungan, berlainan pendidikan dan lain sebagainya. Perbedaan yang mungkin merupakan kendala bagi tercapainya usaha kemanunggalan. Maka perbedaan-perbedaan yang menghambat atau menghalangi kemanunggalan itu perlu dihilangkan, setidak-tidaknya dikurangi. Artinya perlu adanya perubahan. Dan cara yang paling tepat untuk mengadakan perubahan itu bukan dengan mengubah pasangan—suatu tindakan yang biasanya mengakibatkan timbulnya ketegangan—tetapi dengan masing-masing mengubah diri sendiri, atas dasar kesadaran. Untuk mengetahui apa yang perlu diubah dari sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan kita, diperlukan sikap keterbukaan. Keterbukaan yang dua arah, terbuka untuk menerima berarti kesediaan untuk mendengarkan dengan telinga, mendengarkan dengan mata, mendengarkan dengan tangan, mendengarkan dengan hati. Terbuka untuk menerima pasangan apa adanya. Terbuka untuk memberi, berarti bersedia untuk mengungkapkan dengan verbal maupun non-verbal yang dipikirkan dan dirasakan, mengungkapkan isi otaknya dan isi hatinya. Dan untuk bisa mendengarkan dan mengungkapkan dengan baik itu oleh Marriage Encounter telah diciptakan sarana yang kita kenal dengan nama dialog suami-istri. Jika dialog dalam arti umum adalah pengungkapan pendapat yang akhirnya sampai kepada satu kompromi yang dapat dilaksanakan, maka dialog suami-istri adalah pengungkapan perasaan-perasaan yang memperdalam pengenalan kita pada diri sendiri dan satu sama lain sebagai dasar untuk mengadakan perubahan-perubahan pada diri sendiri masing-masing dalam suasana relasi yang akrab dan bertanggung jawab, melapangkan jalan menuju kemanunggalan. 

2. Pembaharuan Sakramen Perkawinan dan Sakramen Imamat.
Kalau panggilan untuk ‘manunggal’ berlaku bagi semua pasangan suami-istri, maka mereka yang pada waktu melangsungkan perkawinan sudah dibaptis menurut agama Katolik dan dengan demikian saling menerimakan Sakramen Perkawinan, mempunyai panggilan kedua sebagai Pasutri Sakramental, yakni menjadi tanda, menjadi pantulan cinta kasih Kristus. Maka sikap, tingkah laku, tindakan dan ucapan Pasutri Sakramental harus senantiasa menunjukkan sakramentalitasnya, harus selalu dijiwai cinta kasih Kristus. Begitu pula mereka yang mendapat panggilan untuk menerima Sakramen Imamat berkewajiban menyelaraskan segala sikap, tingkah laku, tindakan dan ucapan mereka dengan jiwa cinta kasih Kristus. Kedua Sakramen ini, Sakramen Perkawinan dan Sakramen Imamat, memang mempunyai persamaan; para penyandangnya, dalam kehidupan sehari-hari berkewajiban menunjukkan, bahwa mereka itu adalah pantulan cinta kasih Kristus. WorldWide Marriage Encounter, dalam kegiatan-kegiatannya, selalu melibatkan para penyandang kedua sakramen tersebut; acara-acaranya senantiasa dipimpin oleh seorang imam dan satu pasutri atau lebih. 


Tidak ada komentar: