Selasa, 16 Juni 2015

SEJARAH MUSIK GEREJA (KATOLIK)

Perkembangan musik liturgi Gereja saat ini tidak lepas dari perkembangan musik Gereja dari masa ke masa. Sangat disadari bahwa untuk menguraikan sejarah musik Gereja selama hampir 2000 tahun  dalam traktat ini tidaklah mungkin. Maka pengurainnya bersifat umum, sehingga kita bisa melihat kesinambungan antara perkembangan musik Gereja dari suatu masa ke masa yang lain. Musik Gereja pada dasarnya juga dipengaruhi atau berada dalam konteks sejarah pada umumnya dan konteks sejarah  musik pada umumnya. Untuk itu dalam pembahasan bab ini akan di ketengahkan juga secara singkat konteks sejarah umum dan musik umum. Selain itu pula sebelum membahas tentang perkembangan  musik Gereja, terlebih dahulu diuraikan juga tentang musik dalam Perjanjian Lama (musik Yahudi) dan musik pada jaman gereja perdana (gereja purba) yang juga mempengaruhi perkembangan musik Gereja selanjutnya.   


1. MUSIK  DALAM PERJANJIAN LAMA  (MUSIK YAHUDI)

Musik Yahudi telah bertumbuh dan berkembang mencapai puncak kesempurnaannya pada musik Kenisah di Yerusalem (musik Kenisah) pada masa Raja Sulaiman (972-929 SM). Peninggalan-peninggalan kuno di Mesopotamia dan Mesir sudah memperlihatkan  adanya musik kuno di jaman lampau. Hasil penelitian telah menemukan notasi musik kuno di gua-gua sekitar Laut Mati walaupun belum menunjukkan titik terang.
          Dalam Perjanjian Lama kita mengenai kidung-kidung dan mazmur-mazmur. Atas usaha Raja Daud (1012-972 SM) telah disusun Mazmur-mazmur sebagai syair lagu resmi dari ibadat Yahudi. Mazmur-mazmur itu berbentuk pararel, artinya tiap-tiap kalimat sejajar. Bentuk demikian sangat mempengaruhi bentuk komposisi musikdari jaman itu demikian juga cara membawakannya. Untuk menyanyikan mazmur-mazmur tersebut dibutuhkan 2 (dua) kelompok/koor yang saling melengkapi yaitu dengan cara saling menjawab atau sahut-menyahut. Cara tersebut mempengaruhi pada cara membawakan  musikgregorian kemudian yakni dengan nyanyian antiphonal atau responsorial. Sesudah pembuangan Babilon (abad ke 6 SM) umat Yahudi membangun Sinagoga-sinagoga sebagai tempat ibadat yang tetap, sebab Kenisah Yerusalem telah dihancurkasn. Ibadat mereka tidak lagi seperti di kenisah, karena tidak bersifat korban, apalagi sudah terdapat banyak variasinya. Berkembanglah  ibadat dan musik Sinagoga;  Yang meliputi doa-doa, mazmur-mazmur responsorial (misalnya kelompok Hallel atau ‘Lofzang’ dari mazmur 113-118 dan Doxologi (ucapan pemuliaan)[1] pada mazmur 41, 121:18-19). Terdapat dua gaya menyanyi musik Sinagoga yaitu pertama, gaya syllabis yakni tiap suku kata diberi hanya satu nada, walaupun melodinya sangat bervariasi; kedua, gaya mellismatis yaitu bersifat kolorator yang dinyanyikan oleh solo. Ciri khas dari gaya ini ialah pada satu suku kata diberi banyak nada atau suatu melodi kecil.
          Musik Yahudi tersebut pada akhirnya sangat mempengaruhi pada musik gereja (=gregorian) antara lain: syair-syair mazmur, cara-cara menyanyi dengan gaya antifonal dan responsorial, syllabis dan mellismatis.

2.  MASA  GEREJA  PURBA (SEBELUM TAHUN 100 Masehi)
         Gereja Perdana sudah mengenal musik, terutama nyanyian dan musik instrumental. Musik liturgi Gereja Perdana berakar pada tradisi musik ibadat Yahudi yang kemungkinan besar tidak diiringi alat musik. Dalam Perjanjian Baru, kita mengenal praktek musik- nyanyian, seperti ketika Yesus dan para murid menyanyikan kidung Hallel sesudah merayakan perjamuan paskah (bdk Mat 26:30; Mrk 14:26). Adanya praktek musik-nyanyian Gereja Perdana dapat tercermin jelas dalam surat Efesus dan Kolose yang menganjurkan umat agar menyanyikan kidung puji-pujian dan nyanyian rohani dalam pertemuan jemaat “bagi Tuhan dengan segenap hati” (Ef 5:19; Kol 3:16). [2]
Ada banyak tulisan Perjanjian Baru pula yang memuat madah dan kidung yang besar kemungkinannya berasal dari tradisi liturgis, seperti Luk 1:46-55; 1:68-79; 1:29-32; Yoh 1:1-18; Flp 2:6-11; Ef 1:4-14; 5:14; Kol 1:15-20. Pada waktu itu, musik terutama berbentuk nyanyian baik yang secara spontan dibawakan oleh umat maupun yang sudah kurang lebih ‘jadi’ atau dihafal. Nyanyian-nyanyian yang sudah ada dan populer dipakai jemaat ialah buku Mazmur yang menjadi semacam buku nyanyian gerejawi waktu itu dan berbagai madah, seperti lagu kemuliaan (gloria) dan Te deum yang hingga kini masih kita kenal. Kiranya dapat disimpulkan bahwa Gereja Perdana mengenal dengan baik nyanyian sebagai unsur kehidupan liturginya.[3]

3. MASA PERMULAAN (TAHUN 100 – TAHUN 900)    
               Situasi Umum. Setelah dianiaya selama kurang lebih 300 tahun, mulai tahun 313 gereja diakui, dilindungi oleh pemerintah – kekaisaran Romawi, bahkan agama kristen menjadi agama resmi negara oleh kaisar Konstantin Agung melalui keputusannya yang dikenal dengan Edikta Milano. Gereja sebagai golongan baru mula-mula terpaksa mencari identitasnya dalam tantangan dari luar (pemerintah Roma) maupun dari dalam (aliran-aliran yang sesat). Eropa berkembang menjadi satu kekuasaan yang berpusat di Roma. Daerah-daerah di Eropa tidak bertentangan dengan Roma akan tetapi dalam kerja-sama dengan pemerintahan Roma. Hal ini memunculkan feodalisme di Eropa.
Musik Umum. Selain warisan musik dari ibadat Yahudi yang berupa nyanyian mazmur dan teks Kitab Suci, di Eropa Selatan terdapat kebudayaan musik Yunani dengan sistem tangga nada yang khas.
Musik Gereja. Sebagai musik pengenal umat Kristen timbullah lagu-lagu Gregorian: berpangkal dari kata Kitab Suci, dengan mencari  ungkapan dalam lagu dan irama, lagu ini merupakan ungkapan iman. Maka ciri khasnya adalah: satu suara, irama bebas, tanpa iringan, berdasarkan 8 tangga nada Yunani :
          d   e   f   g   a   b   c   d     Doris        bersuara serius, berat
          e   f    g   a   b   c   d   e     Frigis                 bersuara transenden, tak selesai
          f    g   a   b   c   d   e    f    Lidis        bersuasana gembira
          g   a   b   c   d   e    f    g    Miksolodis   bersuasana megah.
          a   b   c   d   e   f    g    a    Hipo-doris
          b   c   d   e   f   g    a    b    Hipo-frigis
          c   d   e    f   g   a    b   c    Hipo-lidis
          d   e   f    g   a   b    c   d    Hipo-miksolidis
= berarti nada dasar/penutup lagu
-    berarti nada dominan/pokok.      
Lagu Gregorian timbul sebagai lagu “praktek” untuk liturgi, maka berupa lagu imam/solis dan umat : propium dan Ordinarium. Dengan tumbuhnya biara-biara, maka lama-kelamaan ditambah pula lagu officium.
Pada abad ke-4 Ambrosius, uskup Milano menambah himne-himne di dalam perbendaharaan lagu gereja. Himne-himne  ini merupakan suatu tantangan bagi gereja; untuk pertama kali dipakai nayanyian yang teksnya tidak berdasarkan Kitab Suci; lagu yang berasal dari Eropa timur bernada cukup lincah dibandingkan dengan lagu lama. Proses tumbuh ini mencapai puncaknya pada awal abad ke-7  di mana Paus Gregorius (594-604) menyeleksi dan mengatur lagu ibadat yang boleh dipakai serta melarang yang dianggap kurang cocok. Menurut Paus ini lagu-lagu gereja disebut “Lagu Gregorian”.
Perlu dicatat bahwa perkembangan musik Eropa dari abad ke-1 sampai ke-15 adalah identik dengan perkembangan musik Gereja.
Arsitektur. Bentuk arsitektur yang berkembang adalah busur Romawi.
 Bentuk arsitektur tersebut mencerminkan iman yang mantap, langit dan bumi dilihat sebagai kesatuan yang dikehendaki oleh pencipta. Atau dengan kata lain: Di cap oleh iman akan Kristus sebagai Raja surga dan dunia (pankrator).  


4. ABAD-ABAD PERTENGAHAN (TAHUN 900-1500)
         Situasi Umum. Kerja-sama yang baik antara kekaisaran Jerman dan Sri Paus di Roma merupakan jaminan untuk kristianisasi masyarakat Eropa. Agama Kristen, kebudayaan Yunani-Romawi serta tradisi di Eropa Utara saling mempengaruhi menjadi kebudayaan Eropa. Seluruh hidup masyarakat diatur oleh agama Kristen. Kebudayaan berkembang di sekitar kesatria-kesatria serta  di universitas (St. Thomas Aquinas  dan filsafat Skolastik) Baru dalam abad ke-14/15 masyarakat memainkan peranan sebagai pembawa kebudayaan, terutama dalam sekolah nyanyi (meistersinger). Pada abad ke-13/14 mulailah semangat baru dalam hidup keagamaan: nampak dalam bangunan katedral gotik dalam sastra (a.l. Dante),  dalam orde Fransiskus dan Dominikus, sebagai perwujudan cinta kristiani. 
          Musik Gereja. Lagu gregorian dipelihara di biara dan sekolah katedral. Namun diperkembangkan pula: Nada-nada lengkung diisi dengan kata-kata baru, maka timbullah sekwens (= lanjutan)[4] sebagai bentuk baru. Selain itu lagu gregorian di dampingi dengan suara ke-2 (dan ke-3). Ini terjadi mulai tahun + 1200 oleh Leoninus dan Perotinus di Paris yang mengambil alih tradisi kuno yang disebut Organum (musik gregorian yang dibawakan dalam beberapa suara oleh paduan suara) .
          Terlepas dari lagu gregorian tumbullah Conductus, lagu dengan 3 suara yang dipersatukan dengan irama yang sejenis. Tokohnya adalah a.l. Adam de la Halle (1220-1287). Jenis conductus diperkembangkan oleh Guillaume de Machaut (1305-13770 dalam Misa Notre Dame di Paris. Semua musik ini yang juga disebut ars antiqua (musik lama) nampak kaku dan berat. Pertengahan abad ke-14 di Italia berkembang gaya musik yang disebut ars nova (musik baru). Pengarang yang paling terkenal adalah Fransesco Landino (1325-1397). Lagunya kini jadi lebih enak, mengalir, irama tidak kaku lagi.
          Siapa pelaksana musik gereja dalam abad-abad pertengahan ? Di Gereja-gereja Katedral: karena hanya para imam yang memakai bahasa Latin, maka merekalah yang menjadi pelaksana utama nyanyian gereja. Sampai abad ke-10 umat ikut serta dalam menyanyikan Kyrie, Refren antar-bacaan, Sanctus, Pater Noster, Agnus Dei. Dengan didirikannya Schola Cantorum (koor gereja 1 suara) yang terdiri dari (calon) imam serta anak pria, sesuai dengan model di Roma, maka umat menjadi pasif dalam misa. Di samping schola tersebut kadang-kadang terdapat paduan suara yang terdiri dari  penyanyi-penyanyi terlatih untuk membawakan lagu polifoni. [5]
          Di Gereja-gereja biara, halnya sama. Namun karena biasanya biara didampingi sekolah, di mana pendidikan musik ditekankan, maka di samping musik gereja di sini dipelihara juga musik profan.
          Di Gereja-gereja paroki musik gereja dilaksanakan oleh imam, bapak guru, dan koor anak sekolah, yang biasanya terdiri dari anak-anak miskin. Umat sendiri tidak dapat ikut bernyanyi karena tidak dididik dalam bahasa latin dan dalam nyanyi.
          Di sekitar istana-istana koor terlatih yang membawakan lagu gereja maupun lagu profan. Di sini instrumen musik makin banyak dipakai juga dalam ibadat, meskipun dilarang (Sitar, harpa, biola, terompet).
          Iman umat diungkapkan dalam lagu rohani yang timbul sejak abad ke-11 berdasarkan lagu gregorian yang disederhanakan : dari Hymne, dengan memberi kata pribumi pada nada-nada yang dilengkung (melisma). Terutama untuk hari Natal dan untuk ziarah berkembanglah sejumlah lagu baru. Menjadi suatu kebiasaan pula dalam liturgi abad pertengahan, bahwa sebelum dan sesudah khotbah dinyanyikan suatu lagu rohani dalam bahasa pribumi. Di rumah pun mereka bernyanyi misalnya pada hari Minggu sesudah makan siang, di mana bapa keluarga menanyakan isi khotbash kepada anak-anaknya.
          Tidak boleh dilupakan pula drama liturgi, terutama untuk Paska, Minggu Palma, hari kebangkitan, hari Natal, pesta St. Nikolas. Drama liturgi merupakan suatu perkembangan dari sekwensi di dalam liturgi, yang kemudian berkembang menjadi mysterien spiel (sendratari rohani) yang berupa drama di halaman gereja. Namun umumnya misa dirayakan dengan lagu gregorian dalam bahasa Latin sambil umat mendoakan rosario dengan merenungkan sengsara tuhan (mulai abad ke-12): misa diartikan di dalam khotbah (alegorese).
          Arsitektur. Arsitektur berbentuk busur gotik[6] dengan tekanan pada dimensi ke atas mencerminkan kontras antara surga dan dunia. Surga dianggap sebagai dunia yang “jauh di sana”, dari sana datanglah cahaya rahmat ke dunia ini (mistik). 

5. MASA RENAISANCE  (TAHUN 1450-1700)
         Situasi umum. Manusia menjadi sadar akan martabatnya sebagai pribadi. Hal ini berhubungan dengan aliran humanisme yang mengetengahkan kembali ajaran dasn kesenenian Yunani. Akibatnya ialah bahwa manusia sedikit demi sedikit melepaskan diri dari ikatan gaerejani dan sosial yang menentukan  hidup dalam abad-abad  pertengahan. Maka manusia menemukan kekayaan dalam dunia dan dalam diri sendiri. Terjadi suatu kelahiran kembali (renaisance): 1492 Colombus menemukan benua Amerika yang membuka jalan untuk memperluas ekonomi dan sekaligus iman kristiani. Tahun 1511 pedagang Portugis sampai di Indonesia dan mulai kolonisasi di Asia Tenggara. Tahun 1605 pedagang Belanda mengusir mereka dan melanjutkan kolonialisme terutama di Indoensia. Sebagai akibatnya berkembanglah kota-kota di Eropa sebagai pusat perdagangan, kerajinan dan pertukangan. Hidup masyarakat mulai berpusat di kota-kota yang terlindung, dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup yang lebih mewah.
          Negara-negara tertentu menjadi kuat, termasuk Italia yang menjadi negara gereja di bawah pimpinan Sri Paus. Di satu pihak di sinilah kesenian diperkembangkan, di lain pihak sekaligus hidup moral dan rohani mundur. Hal ini antara lain mendatangkan reformasi (1519) yang dilanjutkan dengan kontra reformasi (ordo Jesuit didirikan 1520, Konsili Trente 1545-1563).
          Musik Umum. Masa puncak perekembangan musik polifon (gaya kejar-kejaran/ kanon) adalah pada masa renaisance. Cita-cita adalah musik di mana semua suara berdikari, sedapat-dapatnya dengan saling menirukan (kanon dan teknik imitasi). Kesenian ini merupakan sintese musik dari seluruh Eropa, karena para pengarang menjelajah daerah-daerah sambil mempelajari gaya musik lokal dan mengarang di situ. Meskipun demikian daerah Belanda menjadi terkenal sebagai pusat musik, begitu pula Jerman selatan, Italia. Pengarang yang pantas disebut adalah G. Dufay (+ 1400-1474, J. Ockeghem (+ 1420-1495), J. Obrecht (+ 1450-1505), Josquin de Pres (+ 1450-1521), Heinrich Isaac (+ 1450-1517), Clemens non Papa (+ 1510-1557), Orlando di Lasso (+ 1532-1594), Giovani Pierluigi Palestrina (+ 1525-1594).
          Polifoni dalam abad-abad pertengahan tidak berpangkal dari syair, tetapi merupakan suara tambahan, tanpa peduli mengenai keindahan bunyi, apalagi irama pelit-pelit. Kini bunyi yang indah makin menentukan: Bunyi bersama diperhatikan, dalam musik dicari dan diungkapkan arti bahasa, arti bunyi kata. Musik menjadi makin mausiawi; terutama pada musik Palestrina dan Orlando di Laso cita-cita ini tercapai secara sempurna. Mula-mula tradisi musik gregorian dan lagu tradisional masih dipakai dalam Cantus firmus (lagu pokok) namun keterikatan kini makin ditinggalkan dan para komponis menimba dari intuisi sendiri sebagai individu. Selain itu studi kebudayaan Yunani yang nampaknya mengutamakan lagu dengan satu suara, meningkat pula penghargaan terhadap nyanyian dengan satu suara yang diiringi. Terutama di masyarakat kota kini berkembang seni lagu rakyat. Memang dalam masa renaisance masyarakat mulai berpartisipasi dalam musik. Maka di samping musik rohani kini berkembanglah pula nyanyian duniawi serta musik tari: Chanson, Villanelle, Madrigal, nyanyian koor, (L. Senfl 1490-1555, L. Lechner 1553-1603, H.L. Hassler 1564-1612, Orlando di Lasso). Bahkan sudah lahir pula satu bentuk musik yang baru berkembang dalam masa Barok: Opera.   
          Musik Gereja. Musik polifon masa renaisance dicetuskan dalam bentuk pokok Motet, suatu pengolahan teks secara polifon demi potongan, dengan motif yang lain-lain, sesuai dengan arti teks. Teknik imitasi main peranan besar. Misa (ordinarium) pun sekarang sebagai motet, mula-mula dengan cantus frimus, kemudian secara bebas. Makin timbul juga suatu kebiasaan untuk mencampur gaya homofon dengan gaya polifon, apalagi sesudah Konsili Trente menuntut agar teks nyanyian harus bisa ditangkap.
          Lagu Gregorian dalam masa renaisance mengalami suatu perkembangan: Bahkan timbul tangga nada gregorian yang baru, ionis dan eolis yang kemudian menjadi mayor dan minor. Misa de Angelis dan Salve Regina ditulis dengan tangga nada yang sudah mirip dengan mayor. Selain itu timbul banyak sekwensi baru terutama untuk pesta-pesta orang kudus. Menjadi biasa juga untuk memberi kata baru pada nada-nada yang dilengkung (tropus). Namun di lain pihak lagu grogorian mundur dan dirasa sebagai lagu wajib yang kalah bagusnya terhadap lagu polifon. Dalam reformasi di gereja Protestan musik mendapat kedudukan baru: Berpangkal dari imamat umum, maka seluruh umat menjadi pelaksana liturgi. Maka timbullah nyanyian umat dalam bahasa pribumi (Koral). Martin Luther (1483-1546) sendiri mengarang sejumlah Koral dan mengambil alih banyak lagu profan dengan memberi syair rohani (Kontrafaktur). Lagu dengan satu suara diperkembangkan menjadi motet (Michael Praetorius 1571-1621) musik orgel mulai berkembang.
          Sebagai reaksi di dalam gereja Katolik pun timbul usaha untuk menambah lagu gereja pribumi. Inisiatif tumbuh secara swasta oleh beberapa pastor dan tokoh musik (Georg Witzel, K. Querhaner, Michael Vehe, Johan Leisentritt). Sumber untuk usaha ini terletak dalam humanisme (meistergesang) dan gerakan pastoral di gereja Katolik terhadap wujud ibadat di gereja Protestan. Namun gereja resmi masih menanti dan menegaskan sikapnya dalam Konsili Trente . ternyata dokumen-dokumen Konsili Trente yang diterbitkan tahun 1570 tidak membanarkan adanya nyanyian liturgi dalam bahasa pribumi.
          Konsili Trente merupakan suatu penggalan dalam sejarah musik gereja. Terhadap musik profan dan musik ibadat gereja Protestan ini ditegaskan ciri liturgi dan musik gereja Katolik. Musik polifon tidak dilarang seperti diusulkan oleh golongan tertentu namun dituntut agar teks nyanyian dapat ditangkap, kata-kata janganlah diperkosa (penggalan di tengah kata, melisma yang panjang-panjang, ulangan kata untuk mengisi lagu dan sebagainya). Selain itu asosiasi akan lagu profan hendaknya dihindari. Namun konsili tetap terbuka untuk menerima unsur musik sezaman, seperti yang dinyatakannya: “Rindu akan harmoni surgawi serta renungan kebahagiaan orang kudus hendaknya menjadi cita-cita musik gereja”. Pengaruh musik Palestrina (1525-1594) yang meskipun polifon, namun toh jelas teksnya dan bebas dari unsur profan, menentukan para bapa Konsili untuk mengambil sikap ini. Palestrina memakai gaya homofon untuk lagu propium serta untuk bagian ordinarium di mana teksnya harus dimengerti, gaya polifon dipakai untuk ordinarium dan untuk mengimbangi homofoni dalam ulangannya.
          Lagu gregorian diperikasa kembali. Semua sekwensi dibuang kecuali empat. Banyak lagu gregorian diolah kembali menjadi sedikit harmonis, melisma yang panjang diperpendek, bahasa latin yang buruk diganti, aksen yang salah dibetulkan. Cita-cita ini pertama-tama dilaksanakan di Roma sebagai model, kemudian ditirukan di gereja Katedral dan biara.
          Lagu gereja dalam bahasa pribumi yang sudah mencapai taraf yang cukup tinggi tidak diperhatikan oleh bapa Konsili.  Penggunaan nyanyian tersebut di luar liturgi resmi tidak dibatasi. Maka di Jerman dan di Perancis nyanyian ini dipakai terus: selama misa sepi, dalam pujian sore namun kadang-kadang juga dalam misa besar. Hanya gereja besar yang mempunyai koor untuk membawa l;agu polifon dan gregorian. Umat jarang ikut membawakan lagu gregorian.
          Nyanyian gereja dalam bahasa pribumi mendapat juga kedudukan di sekolah. Khususnya di sini perlu disebut peranan Petrus Kanisius SJ yang melihat peranan nyanyian di dalam sekolah dan di rumah untuk menanam iman dalam umat. Ia berjuang juga agar nyanyian gereja dalam bahasa pribumi boleh dipakai dalam liturgi. Di mana Petrus Kanisius mendirikan Kolese, di situ terbitlah pula sebuah buku nyanyian gereja.
          Keputusan Konsili Trente tidak dilaksanakan dengan segera. Tahun 1570 diterbitkan Missale Romanum yang menentukan upacara perayaan misa sampai Konsili Vatikan II praktis tidak pernah dirubah. Teks propium dan ordinarium di sini ditetapkan sebagai teks wajib untuk nyanyian gereja.
          Arsitektur. Gaya pembangunan masa renaisance ditandai dengan kemewahan. Gedung-gedung gereja pun demikian. Busur-busur kini diganti dengan garis horisontal yang berpangkal dari arsitektur Yunani yang ingin dilahirkan kembali.
  
6. MASA BAROK (TAHUN 1600-1750)
          Situasi umum. Di satu pihak Belanda, Inggris, Spanyol, Portugal, Perancis menjadi kaya akibat kolonialisme. Sedangkan negara lainnya saling melemahkan dengan merebut kuasa di Eropa. Khususnya di Jerman pertengkaran antara orang Protestan dan Katolik (perang 30 tahun 1618-1648) yang terutama berupa perebutan politik memperlemah kerajaan dan menguntungkan pangeran-pangeran kecil yang menjadi kuat (absolutisme). Kebudayaan kini berkembang di istana pangeran dan uskup.
          Ditandai oleh ketegangan antara kenikmatan dunia ini serta harapan pada dunia nanti, Barok adalah suatu sintese dari seni merayakan pesta serta optimisme iman. Hidup di dunia ini dipandang sebagai awal pesta surgawi. Berpangkal dari Italia gaya Barok meluas ke seluruh Eropa dengan menentukan segala bidang seni; seni sastra dan drama (Moliere, Cerventes, Angelus Silesius, Grimmelshausen, A.Gryphius), seni lukis dan seni rupa (Tiepoli, Greco, Rubens, Rembrandt, Lorrain, I. Gunther, A. Elsheimer), arsitektur (Bernini, Fischer von Erlach, Baltasar Neuman) dan musik.
          Musik Umum. Sebenarnya perkembangan musik barok sudah dirintis oleh pengarang musik vokal di akhir abad ke-16: dengan menuju ke homofoni, maka harmoni mayor dan minor makin dipentingkan; maka terbukalah jalan kepada musik instrumental yang mengiringi musik vokal. Berkembanglah suatu gaya musik baru: monodi dan generalbas (akor-akor pengiring untuk satu suara). Musik ini cocok sekali untuk diisi dengan suara-suara instrumental yang tak mempunyai maksud lain kecuali untuk memeriahkan suasana. Inilah tujuan masa barok. Kadang-kadang ini ditingkatkan sampai menjadi dramatis dan patetis (mempesona). Maka opera yang sudah lahir di masa renaisance, kini maju dengan cepat dengan aria, lagu koor dan lagu instrumental (Montreverdi, H. Schutz, Lully Purcell, A. Scarlatti, G.B. Pergolesi, Gluck). Bahkan didirikan gedung-gedung khusus untuk pementasan opera. Di luar opera pun berkembanglah seni nyanyian tunggal dengan iringan instrumental.
          Namun terutama musik instrumental kini sangat maju, mula-mula sebagai musik pengiring kemudian sebagai musik yang punya tujuan dalam diri sendiri. Maka tumbuhlah bentuk musik baru: Toccata, fantasia, improvisasi tentang sebuah nyanyian, variasi, suita, sonata, konser, passacaglia untuk orgel dan Cembalo, namun juga untuk orkes kecil (Schein, Scheidt, Frohberger, Pachelbel, Buxtehude, Kuhnau, Byrd, A. Corelli, A. Vivaldi, A. Scarlatti, J.S. Bach, G.F. Handel, G.Ph. Telemann, F.Couperin, Ph. Rameau, H. Purcell).
          Polifoni makin diganti dengan gaya homofoni yang dikuasai akor yang makin kaya. Birama dan hitungan menjadi penting sebagai dasar untuk bermusik bersama; ketepatan hitungan merupakan unsur “abadi” dalam musik Barok.
          Musik Gereja. Musik Gereja pun berkembang di sekitar para pangeran uskup, abas. Keinginan untuk merayakan pesta yang mewah dan mengesan musik juga dalam gereja. Sejajar dengan opera di luar gereja timbullah oratorium dengan aria, koor dan musik instrumental dari orkes namun tanpa disandiwarakan; pengarang oratorium pokok adalah G.F. Handel. Kantata adalah oratorium mini yang terutama diciptakan untuk ibadat hari Minggu di  gereja Protestan.  J.S. Bach mengarang lebih dari 200 kantata.  Musik orgel kini mengalami masa jayanya (terutama) oleh J.S. Bach
          Namun ibadat di gereja Katolik pun berkembang. Devotia Moderna ialah keinginan untuk mengungkapkan isi hati secara wajar, menjadi dasar untuk karangan misa dengan koor, dan orkes, yang diselenggarakan di gereja Katedral dan istana. Propium Gregoruan pun diganti dengan lagu baru. Maka lagu gregorian makin kurang dikenal: dirasa terlalu sederhana. Maklumlah, manusia Barok mengalami hadirnya Tuhan dalam ibadat sebagai Raja. Maka dihormati dengan suara lantang. Maksud untuk memuliakan Tuhan dengan menyenangkan manusia bagi orang Barok adalah satu tujuan. Maka dalam gereja sering malah terdapat dua koor, instrumen masuk gereja, orgel pun menjadi makin besar. Maka tempat orgel dipindahkan ke balkon di belakang, berhadapan dengan altar. Akibatnya bahwa seluruh ruang gereja dipenuhi dengan bunyi, umat pun (yang dulu terpisah dari altar) kini diintegrasikan di dalam liturgi.
          Dalam gereja desa dan kota kecil pun gaya ini ditirukan, meskipun pada tingkat yang lebih ‘amatir’ : Kini berkembanglah misa orgel untuk menggantikan orkes.  Sikap berdoa ini memang bertentangan dengan keputusan Konsili Trente yang berulang kali ditegaskan kembali oleh sri Paus. Jarang antara hukum gereja dan pelaksanaannya menentukan musik gereja pada abad ke-17/18.
          Di lain pihak pada masa Barok pun berkembanglah devosi rakyat berupa banyak nyanyian baru untuk pujian sore, ziarah dan katekese. Perlu dicatat pula bahwa untuk retret umat imam-imam Yesuit mengarang banyak nyanyian gereja baru yang menjadi sangat populer. Karena aksen syair disesuaikan dengan aksen lagu, maka enak untuk dinyanyikan dan mutu syair dipuji sebagai sastra sampai sekarang, terutama syair-syair yang dikarang oleh Friedrich von Spee SJ (1591-1635). Lagunya kita jumpai dalam banyak buku nyanyian abad ke-17 dan diwariskan terus sampai zaman sekarang. Angelus Silesius (1624-1677) pun mengarang sejumlah nyanyian gereja baru yang bergaya Barok; lagu ini pun  masih terdapat dalam buku-buku nyanyian sekarang. 
          Arsitektur. Gedung-gedung gereja serta istana bergaya barok[7] yang mengungkapkan rasa gembira dan hasrat untuk menikmati hidup ini, maka bangunannya kini mencerminkan “hadirnya surga di dunia ini” dalam banyak lukisan, hiasan, kemewahan.

7. MASA KLASIK (TAHUN 1750-1820)
          Situasi Umum. Barok berhasil menggerakkan perasaan manusia. Dengan mengalami pesta yang mewah di dalam dan di luar gereja, manusia terpesona oleh kebesaran Tuhan, ia merasa amat kecil terhadap-Nya, namun inilah caranya ia berdoa. Di lain pihak tidak boleh dilupakan pula, bahwa semuanya ini membuka suatu jurang antara ibadat dan realita hidup. Liturgi menjadi tontonan saja yang memang menyenangkan; namun juga tidak membantu untuk mengatasi kesulitan hidup bersama. Inilah sebabnya pada pertengahan abad ke-18 timbul gerakan ‘fajar budi’/ ‘pencerahan’ (Aufklarung) sebagai reaksi terhadap barok. Kini tekanan berat diletakkan pada ‘otak’. Maka Lessing (1778), Winckelmann (1764), Kant (1781), Fichte Schelling, Hegel menuntut agar supaya seni dan tradisi kembali kepada hakekatnya: perwujudannya harus sederhana namun berbobot, jelas dan sedemikian hingga masuk akal (logis). Tekanan yang berat sebelah pada akal itu merupakan hasil dari kemajuan di bidang ilmu alam yang mendatangkan rasa bangga. Manusia melihat diri sebagai makhluk berotak dan melupakan bahwa ia juga punya perasaan.
          Dalam liturgi ditentang segala devosi terhadap orang kudus dalam ziarah dan sebagainya. Tujuannya ialah agar melalui liturgi manusia menjadi lebih baik (secara etis dan moral). Maka khotbah dan katekese yang dipentingkan dan ibadat dalam bahasa pribumi diperjuangkan (sebenarnya banyak gagasan dari ‘fajar budi’ mirip dengan pembaharuan liturgi Konsili Vatikan II. Namun karena tekanan dalam ‘fajar budi’ berat sebelah pada intelek sambil perasaan dilupakan, maka ia tidak berhasil). Dengan gerakan ‘fajar budi’ mulailah proses sekularisasi:[8] bukan agama yang menentukan lagi perkembangan kebudayaan, tetapi ‘zaman’.
          Musik umum. Sesuai dengan  cita-cita ‘fajar budi’  bahwa seni harus sederhana namun berbobot, jelas dan logis, maka kini berkembanglah suatu musik yang kemudian disebut klasik, artinya dianggap sebagai musik tertinggi dalam perkembangan musik Barat. Hal ini disebabkan, karena musik ini mengungkapkan isinya secara indah namun wajar, seimbang, tanpa kelebihan apapun. Rasa kaku dari musik Barok (dinamika, teras, tempo yang tetap, satu tema untuk satu lagu) kini diatasi dengan dinamika dan tempo yang fleksibel, dengan dua tema yang kontras. Suara pokok yang terutama memakai tangga nada mayor (minor dipandang mayor yang “menangis”), kini diiringi secara seni dan hidup. Akoranya mudah dimengerti, namun di samping akor selaras terdapat pula eksperimen dengan akor janggal.
          Selain itu ciri khas musik klasik terletak dalam unsur ”progresif”: musiknya tidak lagi bersifat “abadi” dengan mengulang-ulang satu tema (seperti juga musik gamelan). Dalam musik klasik satu motif (kelompok nada) diulang sambil dirubah, diperkembangkan, dikontraskan dengan motif lain, hingga terjadilah sesuatu dalam musik; manusia melihat nasibnya sendiri tercermin di dalam musik, ia merasa terlibat. Hidupnya diungkapkan dengan alor disonan yang memancing akor konsonan, dalam pembawaan yang keras dan lembut,  dalam variasi bunyi yang bermacam-macam.
          Bentuk musik progresif adalah bentuk sonata yang juga hadir dalam somfoni : berpangkal dari dua tema yang diperkenalkan dulu, menyusullah bagian “developemen” (pengolan tema) dan diakhiri dengan ulangan tema, namun kini secara lebih mantap. Musik klasik adalah terutama musik instrumental. Maka berkembanglah alat musik baru: terutama piano. Instrumen kini digandakan menjadi kelompok viol satu, viol dua, alat tiup kayu, alat tiup logam, dan sebagainya. Dengan demikian orkes simfoni mampu untuk mengungkapkan perbedaan dalam warna bunyi yang bermacam-macam. Hanya tiga komponis yang lazim disebut sebagai komponis klasik : Joseph Haydn (1732-1890), Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) Ludwig van Beethoven (1770-1827). Ketiga-tiganya mengarang di Vienna. Lain dengan masyarakat abad ke-20, musik mereka dimengerti dan dikagumi oleh semua golongan masyarakat di waktu itu, karena dirasa sesuai dengan hidup mereka. 
          Musik Gereja. Karena dikontrak oleh seorang uskup-pangeran, maka Haydn dan juga Mozart (namun hanya selama dua tahun) mengarang cukup banyak misa. Tentu juga dalam gaya musik simfoni. Terpengaruh oleh ‘fajar budi’, maka tujuan ibadat tidak dilihat sebagai ‘syukur kepada Allah yang transenden’, tetapi sebagai sarana untuk membangkitkan rasa khidmat dan saleh dengan menunjuk jalan untuk hidup sebagai manusia yang baik. Hal ini mendapat dukungan oleh Paus Benediktus XIV dalam ensiklik Annus Qui tahun 1749 di mana gaya teatral musik Barok ditentang di dalam gereja, namun misa dengan orkes simfoni dibenarkan, asal tidak bertujuan untuk menyenangkan telinga saja, tetapi untuk menciptakan sikap batin yang saleh. Memang diharapkan suatu ‘gaya gerejani’ dalam musik sesuai dengan nilai ibadat di muka Allah yang Maha Tinggi. Justru dengan musik klasik Paus Benediktus mengharapkan akan tercapai tujuan ini. Maka liturgi makin menjadi kesempatan untuk dipentaskan musik yang bagus.
          Bagaimana di gereja-gereja yang tidak mempunyai orkes ? Di mana tidak mungkin misa simfoni, di situ kita jumpai bentuk musik yang lebih sederhana, sedemikian sederhana hingga agak dangkal, hingga kehilangan jiwanya. Musik gereja menjadi barang pemakaian: terdapat banyak misa umat yang murahan. Yang tinggal hanyalah bunyi yang ingin mempesona secara lahiriah saja. Dengan ditinggalkan tradisi musik gereja (gregorian dan polifoni klasik) dan dengan menirukan gaya ibadat di gereja katedral maka liturgi di gereja biasa menjadi makin miskin dan hampa. Tambahan pula: dalam rangka sekularisasi biara-biara dibubarkan oleh pemerinatah, maka lenyaplah pula kemungkinan untuk menimba kekuatan baru, karena iman umat pun dangkal. Namun justru kemiskinan inilah memancing kedatangan musik gereja yang baru (dalam masa Romantik).
          Arsitektur. Masa klasik dalam musik tidak didampingi oleh suatu gaya  dalam arsitektur, Mula-mula gaya Barok masih bertahan dengan gaya Rokoko (= gaya Barok yang dintensifkan sampai detil-detilnya), kemudian menyusullah gaya klasicisme, suatu jiplakan gaya renaisance yang disesuaikan dengan cita-cita ‘fajar budi’, namun kurang berhasil.   

8. MASA ROMANTIK  (TAHUN 1800-1900)
          Situasi umum. Abad ke-19 adalah masa dengan banyak perubahan. Tiada lagi satu perkembangan yang menyeluruh, tetapi perubahan terjadi dalam beberapa lapisan yang berlainan. Di satu pihak ada liberalisme, nasionalisme dan sosialisme sebagai akibat indusrialisasi dan hidup di kota serta sebagai lanjutan dari revolusi Perancis. Manusia diperbudak oleh teknik yang merubah cara hidupnya. Di lain pihak (sebagai reaksi) manusia mencari keseimbangan dalam alam dan seni dengan menitik beratkan perasaan. Ini terjadi secara perorangan dan anehnya dengan mengarah kepada masa yang lampau.
          Musik Umum. Dalam musik klasik keindahannya seimbang dengan bentuknya. Namun unsur ‘progresif’ di dalam musik klasik secara konsekwen menuju kepada musik yang makin mencerminkan drama hidup manusia. Maka berkembanglah musik romantis sebagai ungkapan perasaan perorangan. Sampai manusia melarikan diri dari realita ke dalam dunia bunyi. Kekayaan bunyi baru diperoleh dengan perwujudan melodi, harmoni dan bentuk musik secara baru. Orkesnya menjadi makin besar. Pemain musik semakin lihay. Perlu dicatat pula, bahwa masyarakat dari golongan tengah dan rendah makin main peranan di kota. Maka lahirlah jenis musik baru: Musik hiburan: Di Amerika musik jazz, di Eropa musik salon, musik koor pria, fanfare, musik rumah (terutama untuk piano), walse, operet. Operet pun mendapat suatu masa jaya namun kini untuk masyarakat biasa. Musik klasik dipentaskan kembali, namun untuk golongan atas.
          Musik gereja. Musik gereja abad ke-19 pun menampakkan diri dalam beberpa lapisan: di satu pihak terdapat musik tinggi dengan orkes besar sebagai lanjutan tradisi klasik namun kini dalam gaya Romantik (Fr. Schubert, J.Rheinberger, F.Liszt, A. Bruckner, A. Dvorak, Ch. F. Gounod, G. verdi, C. Franck, J. Brahms). Di lain pihak terjadi suatu reaksi terhadap musik orkes dalam ibadat: suatu gerekan untuk menghidupkan kembali nyanyian gregorian. Gerekan ini berpangkal dari Dom Gueranger (Perancis) serta F.X. Haberl (Jerman). Namun karena bersaing dan bertentangan dalam studi terhadap naskah-naskah asli, maka gerakan ini  dalam abad ke-19  belum mencapai sasarannya.
          Suatu inisiatif lain untuk membaharui musik gereja adalah Cecilianisme. F.X. Witt (1834-1888) melihat keselamatan musik gereja dalam usaha kembali kepada musik polifon seperti diciptakan oleh Palestrina (1525-1594). Dengan mengarang sendiri dalam gaya Palestrina dan dengan mengajak pengarang lain, maka terkumpullah banyak lagu koor baru yang diterbitkan. Supaya dipakai, maka Witt mendirikan suatu ‘organisasi St. Cecilia’ : persatuan koor, dirigen dan organis yang cukup meluas di Jerman dan Austria. Mereka adakan pertemuan rutin, kongres; semangatnya dibina oleh Witt sebagai ketua dalam kunjungannya serta melalui suatu majalah. Bahkan didirikan sekolah-sekolah musik serta kursus-kursus untuk meningkatkan mutu koor dan nyanyian gereja. Nyanyian gereja diseragamkan, nyanyian umat pun dilatih. Namun musik Neo-Palestrina ini tetap merupakan suatu copy dan tidak sama dengan musik Palestrina yang asli. Apalagi, gaya Palestrina sama sekali lain dari pada gaya musik abad ke-19; untuk pertama kali terbukalah suatu jurang antara perkembangan musik gereja dan perkembangan musik, yang berlangsung terus dalam musik gereja Barat hingga saat ini.
          Nyanyian umat dalam abad ke-19 pertama-tama menghidupkan kembali nyanyian gereja dari masa Renaisance dan Barok dengan diberi syair baru. Bahkan nayanyian gregorian dilatih kepada umat. Usaha ini diperkuat dengan adanya buku nyanyian gereja seragam untuk setiap keuskupan sendiri. Untuk menghormati Bunda Maria, Hati Yesus, Sakramen Mahakudus terciptalah lagu baru dalam gaya romantis yang cukup sentimental. Kedudukan nyanyian umat dengan bahasa pribumi dalam liturgi latin tidak sama: ada keuskupan yang memperbolehkannnya hanya untuk misa umat, ada yang mengizinkannya untuk misa besar. Perlu disebut pula bahwa lebih-lebih di Ropa Tengah dalam abad ke-19 lahir banyak lagu Natal yang bagus yang terkenal sampai di Indonesia.
         Arsitektur. Gaya pembangunan abad ke-19 berorientasi pada masa yang lampau: gaya Romawi dan Gotik ditirukan menjadi Neo-Romantik serta Neo-Gotik (Contoh Katedral Jakarta) namun tanpa mencapai mutu asli dan tanpa menambah sesuatu yang baru.

9. ABAD KE-20
Situasi umum. Bila perkembangan-perkembangan pada abad ke-19 tidak dapat dipersatukan di bawah satu panji apalagi perkembangannya pada abad ke-20. Dalam politik terjadi penggeseran kekuasaan yang nampak dalam dua perang dunia besar serta banyak ketegangan yang berlangung terus hingga sekarang. Sebagai jalan ke luar terciptalah perjanjian-perjanjian di antara bangsa-bangsa untuk bersatu dengan akibat bahwa terbentuk blok-blok besar yang saling mengancam.
Ekonomi maju terus, meski pun terhambat oleh dua perang dunia. Maka terbentuklah masyarakat yang makin kaya dan materialistis (di negara barat). Gereja makin mengalami ketidakmampuan dalam memainkan peran dalam hidup masyarakat dan politik. Maka pusat perhatian dipindahkan pada konsolidasi dari dalam: mulai dengan program pembaharuan Paus Pius X gereja berkembang sampai Konsili Vatikan II di mana program itu dilaksanakan sepenuhnya. Kesadaran akan arti liturgi bagi hidup Gereja serta tuntunannya agar semua orang beriman terlibat secara aktif di dalam liturgi yang sudah termasuk dalam program pembaharuan Pius X dan yang dirintis kemungkinan pelaksanaannya sudah jauh sebelum Konsili Vatikan II. Perkembangan gereja-gereja di luar Eropa akhirnya merupakan suatu kekayaan bagi gereja lama. Gereja yang berabad lamanya menekankan ketergantungan dari Roma, makin sadar bahwa perlu dialog dengan anggota-anggotanya, juga dengan gereja-gereja Protestan. 
Musik umum. Pada awal abad ke-20 musik meninggalkan keterbatasannya sebagai musik lokal/nasional dan terbuka untuk seluruh dunia. Tanpa berhentinya gaya musik yang tradisional mulailah usaha untuk mencari bersama bagiamana hidup di abad ini dapat diungkapkan dalam musik.  Justru adanya banyak gaya yang bertentangan dan bergantian membuktikan fakta ini. Yang baru adalah usaha untuk mencari bunyi tidak lagi dicita-citakan bunyi yang indah tetapi bunyi yang mencerminkan situasi hidup yang tidak selalu enak. Maka peraturan-peraturan lama tentang susunan akor dan melodi (harmoni dan estetika) dikesampingkan. Terciptalah musik atonal dan musik dodekafon. Secara lebih terperinci dapat dibedakan 3 macam musik zaman sekarang. Pertama, musik serius melanjutkan tradisi musik klasik dan romantik namun dengan mencari kemungkinan baru: dengan instrumen baru (misalnya alat elektronis), dengan cara baru untuk membunyikan instrumen. Faktor improvisasi main peran, unsur dari luar musik diintegrasikan (mis. deklamsi, segi visual). Kedua, musik jazz, beat dan pop tetap berpegang pada warisan musik tradisional, namun dengan mengadakan eksperimen dalam gaya pembawaan, dalam menekankan unsur irama (dan gerak badan), dengan menekankan penampilan. Ketiga, musik rakyat pun makin dipengaruhi oleh pembaharuan yang tadi disebut. Khususnya perlu disebut usaha untuk mempersatukan kembali yang tadi terpisah: musik duniawi dan rohani, musik Eropa dan musik luar Eropa.
Musik Gereja. Cecilianisme pada awal abad ke-20 kehilangan dayanya. Maka terasa bahwa lagu tiruan tidak dapat memberi apa yang diharapkan dari padanya. Semakin terasa pengaruh dari program pembaharuan Paus Pius X dalam Motu Propio tahun 1903 tentang musik gereja. Di sini sudah ditetapkan apa yang diulang dalam Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan II tahun 1964 : bahwa umat harus ikut serta dalam liturgi secara aktif dan sadar. Maka musik dan nayanyian liturgi merupakan bagian integral di dalam ibadat. Karena diperuntukkan demi kemuliaan Tuhan dan demi penyucian umat, maka musik gereja harus sungguh bermutu sebagai musik; segala unsur profan harus ditinggalkan. “Disenangi atau tidak, ini belum pernah menjadi ukuran benar untuk menilai hal rohani; maka hendaknya umat dididik dan dibina dalam selera yang sehat “, kata Pius X. Bahkan Paus ini sudah menyatakan bahwa bangsa-bangsa berhak untuk memiliki nayanyian gereja dalam bahasa dan gaya pribumi (bdk SC no. 119). Ukuran untuk nyanyian gereja dilihat Pius X dalam lagu gregorian. Maka dianjurkan agar dilatih secara meluas pada umat. Biara-biara OSB membantu banyak dalam melatih dan menghidupkan nayanyian gregorian pada umat. Namun tidak semua paroki mampu menghidupkan lagu tersebut, antara lain karena dibutuhkan contoh yang hidup.
Selain itu nyanyian gereja dalam bahasa pribumi tetap dipakai. Sejajar dengan gerakan liturgi nyanyian ini mendapat peranan di dalam liturgi: sebagai cara berdoa dan beribadat, bukan sebagai selingan saja. Tambahan pula bahwa di negara-negara Eropa, terutama di Jerman ‘gerakan mudi-mudi’ dan ‘gerakan nyanyi’ di luar dan di dalam gereja membantu banyak pada ‘gerakan liturgi’. Terbitlah kumpulan nyanyian yang segar dari abad-abad dulu maupun lagu baru. Juga banyak lagu dari gereja Protestan mulai dipakai di gereja Katolik dan sebaliknya. Ada usaha pula untuk menterjemahkan nyanyian gregorian dalam bahasa modern, namun dirasa gagal. Sedangkan ciptaan lagu baru dengan motif gregorian mungkin (seperti Misa Te Deum karangan Frans Harjawiyata OCSO).
Tahun 1955 dikeluarkan sekali lagi suatu Motupropio, kini oleh Paus Pius XII tentang musik gereja. Ditekankan perbedaan antara musik liturgi dan nyanyian rohani. Nyanyian gereja dalam bahasa pribumi digolongkan sebagai nyanyian rohani, bukan liturgi. Dianjurkan lagu yang mudah dihafal yang syainya bebas dari kata yang klise, yang mencerminkan suasana khidmat. Lagu ini hendaknya dibukukan; sedangkan lagu yang manis-manis dengan kata yang sentimentil hendaknya dihilangkan karena membahayakan, kata paus. Maka mulailah berkembang nyanyian gereja baru dalam bahasa pribumi di dalam (hampir) setiap bangsa. Roma dengan rela memberi izin untuk memakai lagu ini juga dalam Misa besar dengan menggantikan lagu gregorian (bertentangan dengan Motupropio tahun 1955) Indonesia pun mendapat izin tersebut tahun 1953.
Perkembangan musik koor dalam abad ini tidak begitu hebat lagi. Maklumlah jurang antara musik gereja dan musik umum makin besar. Komposisi baru memang ada, tetapi berupa lagu yang bergaya Neo-Romantik (Griesbacher, Lechtales, J. Haas). Lama-kelamaan timbul suatu gaya yang disebut Neo-klasicisme. Gaya ini menciptakan bunyi yang disengaja miskin, jauh dari dunia, musik yang ‘ber-matiraga’. Tokoh-tokoh antara lain adalah L. Ahrens, H. Schroeder, H. Distler (Protestan), E. Pepping (Protestan), E. Tittel di Jerman; H. Kronsteiner, J. Fr. Doppelbauer, di  Austria;  A. Guilmant, Vincent d’Indy, M. Durufle, Gigout, J. Langlais di Perancis; L. Perosi di Italia; J.van Nuffel, H.F. Andriessen, M. Monnikendam, J. Mul, H. Strategier, A. de Klerk di Belanda/Belgia.
Akhirnya Konsili Vatikan II membenarkan apa yang sudah dilaksanakan dari ‘bawah’ tadi. Namun selain menggaris bawahi apa yang digaskan Pius X, Konstitusi Liturgi-Sacrosanctum Concilium memberi lebih banyak kebebasan, membuka kemungkinan-kemungkinan baru untuk musik gereja.   

10. KESIMPULAN
          Gereja ialah orang-orang yang beriman kepada Kristus. Warga Gereja adalah orang-orang konkret, yang terikat pada budaya lokal dan manusia dari kelompok tertentu. Maka sejak semula, Gereja tidak pernah bisa melepaskan diri dari musik. Liturgi yang merupakan perayaan iman Gereja senantiasa tidak dapat lepas dariunsur Musik. Musiknya pun musik dari Tradisi setempat.[9]  
          Gereja perdana sudah mengenal musik. Yakni musik yang berakar pada musik ibadat Yahudi. Dalam Perjanjian Baru, kita mencatat bahwa Yesus dan para murid  menyanyikan kidung Hallel (bdk. Mat 26:30; Mrk 14:26). Umat beriman juga biasa bernyanyi dalam ibadat mereka. Maka, penulis surat Efesus dan Kolose berkata: “ berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati “ (Ef 5:19; lih. Kol 3:16). Sejarah Gereja selanjutnya mencatat bahwa liturgi tidak pernah lepas dari musik. Nyanyian gregorian yang dikumpulkan oleh Paus Gregorius Agung pada abad ke-7 merupakan contoh klasik jenis musik nyanyian yang bertahan hingga hari ini. Demikian pula alat-alat musik yang digunakan juga terus berkembang dalam sejarah musik Gereja. Meskipun pada mulanya Gereja sangat berhati-hati dengan alat-alat musik, akan tetapi akhirnya Gereja pelan-pelan menerima penggunaan alat-alat musik itu dalam liturgi, sejauh alat musik tersebut mampu mendukung liturgi.
          Dalam sejarah kita telah melihat dan mengenal musik klasik yang begitu bagus dan indah. Musik-musik ini banyak tercipta dalam konteks ibadat. Nyatanya, meski beberapa judul lagu dicipta khusus untuk ibadat, kita pun suka mendengarkan lagu-lagu itu juga dalam kesempastan yang non-liturgis.Dari sejarah musik liturgi Gereja kita mengetahui bahwa setiap zaman mempunyai corak musiknya sendiri. Ada musik zaman Barok (abad ke-17, Renaisance (abad ke-15-17), Klasik (abad ke-18), Romantik (abad ke-19), kemudian musik Impresionisme (akhir abad ke-19) tetapi pudar setelah perang dunia I, dan aneka musik modern abad ke-20 baik yang profan (seperti jazz, tango, pop, rock, dsb) maupun yang religius.
          Kini, musik sungguh dipandang sebagai bagian dari liturgi Gereja. Oleh Paus Pius X tahun 1903, musik dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari liturgi Gereja. Konsili Vatikan II, menegaskan kembali secara resmi hubungan tak terpisahkan antara musik dan liturgi Gereja.[10]         

Oleh: Lastiko Runtuwene
Disusun sebagai bahan pembinaan/pelatihan untuk para calon petugas pastoral di:
 - Sekolah Tinggi Pastoral Don Bosco Tomohon,
- Novisiat dan Postulat Suster JMJ Tomohon


[1]    Doksologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti ucapan pemuliaan. Doksologi dalam liturgi adalah pernyataan pujian kepada Allah Tritunggal yang menghakiri Doa Syukur Agung, Madah pujian atau Gloria disebut doksologi besar. Ayat ‘kemuliasan kepada Bapa dan Putera dan Roh Kudus…” yang ditambahkan pada Mazmur dan Kidung dalam Ibadat Harian disebut doksologi kecil.
[2]   Lih., E. Martasudjita, Pr., Op.Cit.,  hal., 136.
[3]   Ibid., hal.136
[4] Contoh  lagu sekwensi dalam liturgi gereja Katolik adalah Madah Paska (sequentia “Victimae paschali laudes”). Sekwensi berarti lanjutan, yang dimaksudkan ialah lanjutan dari Alleluya/Bait Pengantar Injil sebagai lagu fakultatif. Seperti yang diketahui, terdapat empat sekwensi (untuk Paska, Pentakosta – MB no. 451), Tubuh  dan darah Kristus (MB no. 406), Maria berduka cita, semuanya bersifat fakultatif ; lih.  Warta Musik Liturgi no. 190, 1 Maret 1993, PML- Yogyakarta, hal., 75-76. 
[5]  Lagu polifon adalah lagu dengan unsur melodinya tidak terbatas pada satu suara. Setiap suara berdiri sendiri/memiliki melodi sendiri. Polifon dikenal dengan nama lain kanon.  Lawannya adalah homofon (suara dasar/melodi  pada salah satu suara, jadi suara yang lain  tergantung pada suara dasar tersebut. Susunan nada antara suara yang satu dengan yang lain tegak vertikal )
[6]  Gotik adalah gaya arsitektur, seni pahat dan seni lukis di Eropa pada abad pertengahan (k.l. 1150-1500). Ciri khasnya adalah lengkungan lancip, yang memungkinkan gedung-gedung yang tinggi dibangun. Gereja  gotik terdiri atas 3 atau 5 ruang yang disahkan jejeran tiang. Bagian-bagian yang melintang (transep) dan ruang altar yang tertutup (koor). Di sekeliling ruang altar biasanya terdapat beberapa kapel, dan kaca jendela dihiasi gambar   berwarna-warni orang-orang kudus. Bangunan bergaya gotik yang termasyur adalah katedral di Chartres Perancis dan Koln Jerman. Gaya gotik dihupkan kembali (neo-gotik) dan banyak gedung gereja dibangun dalam gaya itu mis. Katedral Jakarta (1901); lih. A. Heuken SJ., Ensikloperi Gereja  jilid I, Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1991, hal., 398-399.
[7]  Barok adalah gaya seni yang timbul pada abad ke-17 di Roma dan kemudian  menyebar ke seluruh Eropa. Seni Barok menyukai bentuk-bentuk gereja dramatis yang  tak terbatas dan bertentangan satu sama lain. Gedung, patung dan plastik tampak meluap-luap dan kaya akan detail-detail yang merangsang perasaan dan imajinasi. Gaya ini sangat disukai seniman Katolik abad ke-17 untuk mengekspresikan iman yang menguat setelah Kontra-Reformasi berhasil memperbaharui kehidupan Gereja. Beberapa paus, banyak uskup, abas dan terutama Serikat Jesus mendukung gaya seni ini.
[8] Sekularirasi adalah proses pembedaan antara bidang-bidang duniawi dan bidang keagamaan atau rohani. (dari bahasa Latin: saeculum =setiap seratus tahun, sekular-sekular = duniawi)
[9] Bdk.  E. Martasudjita ,Pr., J. Kristanto, Pr.,  Op.Cit., hal.,  13-15.
[10] Ibid., hal., 15

Tidak ada komentar: