Sabtu, 20 Juni 2015

Validitas dan keabsahan pelayanan sakramen-sakramen

Sebagaimana dijelaskan di atas, efek dari sakramen-sakramen timbul ex opere operato (oleh kenyataan bahwa sakramen-sakramen tersebut dilayankan). Karena Kristus sendiri yang bekerja melalui sakramen-sakramen, maka efektivitas sakramen-sakramen tidak tergantung pada kelayakan si pelayan.
Meskipun demikian, sebuah pelayanan sakramen yang dapat dipersepsi akan invalid, jika orang yang bertindak selaku pelayan tidak memiliki kuasa yang diperlukan untuk itu, misalnya jika seorang diakon merayakan Misa. Sakramen-sakramen juga invalid jika "materi" atau "formula"nya kurang sesuai dari pada yang seharusnya. Materi adalah benda material yang dapat dipersepsi, seperti air (bukannya anggur) dalam pembaptisan atau roti dari tepung gandum dan anggur dari buah anggur (bukannya kentang dan bir) untuk Ekaristi, atau tindakan yang nampak. Formula adalah pernyataan verbal yang menyertai pemberian materi, seperti (dalam Gereja Barat), "N., Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus". Lebih jauh lagi, jika si pelayan positif mengeluarkan beberapa aspek esensial dari sakramen yang dilayankannya, maka sakramen tersebut invalid. Syarat terakhir berada di balik penilaian Tahta Suci pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan.


Sebuah sakramen dapat dilayankan secara valid, namun tidak sah, jika suatu syarat yang diharuskan oleh hukum tidak dipenuhi. Kasus-kasus yang ada misalnya pelayanan sakramen oleh seorang imam yang tengah dikenai hukuman ekskomunikasi atau suspensi, dan pentahbisan uskup tanpa mandat dari Sri Paus.
Hukum kanonik merinci halangan-halangan (impedimenta) untuk menerima sakramen imamat dan pernikahan. Halangan-halangan sehubungan dengan sakramen imamat hanya menyangkut soal keabsahannya, tetapi "suatu halangan yang bersifat membatalkan dapat menjadikan seseorang tidak berkapasitas untuk secara valid untuk mengikat suatu janji pernikahan" (kanon 1073).
Dalam Gereja Latin, hanya Tahta Suci yang secara otentik dapat mengeluarkan pernyataan bilamana hukum ilahi melarang atau membatalkan suatu pernikahan, dan hanya Tahta Suci yang berwenang untuk menetapkan bagi orang-orang yang sudah dibaptis halangan-halangan pernikahan (kanon 1075). Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi dengan (namun tidak harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan halangan-halangan (Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792).
Jika suatu halangan timbulnya hanya karena persoalan hukum Gerejawi belaka, dan bukannya menyangkut hukum ilahi, maka Gereja dapat memberikan dispensasi dari halangan tersebut.
Syarat-syarat bagi validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas dari paksaan (kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang mewakili mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah digolongkan dalam Hukum Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya.

Ada tiga sakramen yang tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya bersifat permanen. Ajaran ini telah diekspresikan di Barat dengan citra-citra dari karakter atau tanda, dan di Timur dengan sebuah meterai (KGK 698). Akan tetapi, jika ada keraguan mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih sakramen-sakramen tersebut, maka dapat digunakan suatu formula kondisional pemberian sakramen misalnya: "Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis engkau …"

Tidak ada komentar: