Tidak pernah terbersit dalam benak
Pastor Gabriel Calvo PR pada saat sepasang pasutri: Mercedes dan Jame Ferrer,
tahun 1952 mengunjunginya untuk minta nasihat dan bimbingan bagaimana mengabdi
Tuhan sebagai pasutri, bahwa kunjungan itu menjadi titik awal suatu gerakan
besar dan mondial. Dan sepuluh tahun (1962) kemudian diadakan uji coba gerakan
di Barcelona dengan nama Encuentro Conjugal dengan peserta 28
pasutri. Berangkali tidak pernah terbersit dalam benak Pastor Charles A.
Callagher SJ dan pasutri Ed dan Harriet Garezo, aktivis Christian
Family Movement yang mulai menggerakkan gerakan ini di New York dengan nama
Marriage Encounter, bahwa apa yang digerakkan mereka kemudian menjalar ke
seluruh dunia dengan nama Marriage Encounter.
Mereka menimba gerakan ini dari
perkembangan yang telah ditularkan di Amerika Latin. Hal yang sama
berangkali terjadi di Indonesia ketika Ecclesial Team ME Belgia memulai gerakan
ini di Jakarta atas undangan alm. Mgr Leo Sukoto SJ. Pastor Guido Heyrbaut PR
dan pasutri Inneke & Andre de Hondt, pasutri Simmy & Rene Mues yang
tiba di Jakarta tgl. 20 Juli 1975 mulai menyelenggarakan Week End pertama di kompleks
Bungalow Evergreen. Tugu Puncak dengan menggunakan bahasa Vlaams (bahasa
Belanda) dan diikuti oleh alm. Mgr. Leo Sukoto SJ, dua suster dan
sembilan pasutri. Kemudian gerakan ini menyebar keseluruh penjuru tanah air
dengan ribuan pasutri mengikutinya. APME pertama diadakan di Banjarmasin
tgl. 22 Maret s/d 24 Maret 1996 dengan lurah pertama pasutri Wan Wan &
Yauw. Sejak saat itu Banjarmasin menjadi wilayah dari Distrik Surabaya.
Pelan-pelan tapi pasti mulai melebarkan sayap ke Palangka Raya dengan APME
I tgl. 3 s/d 5 Januari 2005. Keuskupan Samarinda telah lebih dahulu
“mencoba” memulai dua dekade yang lalu di Tarakan, tgl. 5 s/d 7 April 1986, dan
sudah berlangsung selama 3 kali Week End, dan satu kali di Balikpapan dengan
ecclesial team dari keuskupan Purwokerto, tetapi gaungnya tertelan oleh deru
mesin penyuling minyak. Beberapa waktu kemudian, pasutri Tuti-Arianto mengambil
inisiatif dengan mengundang Kornas: Pastor I. Wignyasumarta MSF, Pasutri
Tjahya & Adriani, pasutri Elly & Rusli untuk membuka area baru bagi
kemunculan ME di Keuskupan Samarinda. Maka terjadilah pada tgl 22 s/d 24 Maret
2002 APME diadakan di Karang Joang, Balikpapan. Tidak tanggung-tanggung, APME
pertama ini diikutim oleh Uskup Agung Samarinda, Mgr. Sului Florentinus MSF.
Secara resmi ME Keuskupan Agung Samarinda menjadi wilayah distrik Jakarta.
Kemudian dalam Denas di Bandung, diputuskan menjadi wilayah dari distrik
XIV Banjarmasin. Inilah suatu kenyataan dari suatu harapan, suatu kenyataan
yang tak diprediksi sebelumnya.
Dalam kurun waktu 15 tahun terbentuknya distrik XIV Banjarmasin terbentang sederet panorama indah, tetapi terpaparkan juga aneka macam tantangan yang bisa membuat hati putus asa. Ada sededemikian banyak pasutri bahkan tokoh-tokoh agama yang mempunyai persepsi negative terhadap ME. Tapi dibalik semuanya itu ada pertanyaan fundamental terbersit dalam hati. Mengapa sedemikian sulit menjaring peserta. Dkl. Mengapa sedemikian sulit bagi pasutri-pasutri untuk bergabung dalam gerakan ini? Mengapa selalu ada anggapan negatif dan kecurigaan? Jawaban popular yang sering memerahkan kuping: Keluarga kami baik-baik saja; ME itu hanya untuk orang kaya dan elit; ME itu hanya bisa dilaksanakan di hotel-hotel berbintang; ME itu suka makan enak, ME itu membentuk kelompok sendiri, ME itu merasa diri lebih baik dari orang lain, dan sederet persepsi negative lainnya. Kadang terdengar ucapan: “Tolong, keluarga itu di-ME-kan saja!” ketika berhadapan dengan keluarga yang tidak harmonis. ME dilihat sebagai terapi. Kalau kuping bisa memerah, apakah hanya sampai pada kondisi seperti itu? Semuanya itu menjadi bahan pembelajaran. Ada apa sebenarnya.
ME itu ibarat buah durian. Buah yang berbentuk jelek dengan duri-duri tajam dan mengeluarkan aroma menyengat. Sering disebut beraroma busuk. Pertama melihat, orang sudah melengos lalu tutup hidung dan pergi menjauh. Tetapi begitu pernah mencicipi, mata sebentar terpejam, sebentar membelalak, lalu tanpa sopan santun, membawa lari untuk disantap sendiri. Enak luar biasa. Itulah ME! Penolakan berujung “kegilaan” pada ME. Setelah mencicipi nikmatnya durian ME, betapa muncul penyesalan, mengapa dari dulu saja tidak ikut. Tetapi bagaimana berupaya agar pasutri mau mencicipi durian ME itu? ME juga ibarat terasi udang. Aroma menyengat, seperti barang busuk. Penampilannya juga menjijikkan, apalagi kalau melihat pengolahannya. Tidak ada satu orangpun mau menyimpan terasi dalam koper pakaian. Tidak ada satu orangpun mau makan terasi sebelum resepsi penting. Tapi ketika terasi dioleh menjadi “sambal terasi”, (terasi campur bawang rambut dengan lombok rawit) akan manjadi rebutan, bahkan ada yang tidak bisa menikmati makan tanpa sambal terasi. Beraroma tetapi menggiurkan!
Kenyataan sampai kini, APME selalu diadakan disuatu tempat yang sudah terkondisikan. Sepertinya sulit dirombak. Saya mempunyai mimpi, sedemikian banyak pasutri nun jauh dipelosok terpencil yang sama sekali tidak tersentuh. Padahal mereka, dalam kesederhanaan hidup dan pola pikir mereka, sangat membutuhkan gerakan ME berimbas pada kehidupan mereka. Mereka mendambakan bagaimana cinta terwujudkan dalam keseharian mereka. Tentu banyak kendala, tetapi pasti ada jalan keluar. Mimpi adalah pengharapan. Pengharapan menuju kepada kenyataan!
Peristiwa merayakan Lustrum ke III Distrik XIV Banjarmasin merupakan peristiwa
syukur ke hadirat Allah. Allah meletakkan cinta sebagai dasar sepasang pasutri
yang menjadi ikatan mati dan tak terceraikan. Cinta inilah yang selalu mau
dihangatkan dalam setiap APME dan sepanjang jalan para pasutri setelah APME.
Campur tangan Allah tak terpungkiri. Hanya karena Allah yang mengutus Roh-Nya,
ME Distrik XIV Banjarmasin mampu berkembang. Kita berbahagia bersama
Distrik XIV Banjarmasin. We Love You, We Need You!
P. Frans Huvang Hurang MSF
Mantan Priest Team Distrik XIV Banjarmasin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar