Perkembangan
musik liturgi Gereja saat ini tidak lepas dari perkembangan musik Gereja dari
masa ke masa. Sangat disadari bahwa untuk menguraikan sejarah musik Gereja
selama hampir 2000 tahun dalam traktat
ini tidaklah mungkin. Maka pengurainnya bersifat umum, sehingga kita bisa
melihat kesinambungan antara perkembangan musik Gereja dari suatu masa ke masa
yang lain. Musik Gereja pada dasarnya juga dipengaruhi atau berada dalam
konteks sejarah pada umumnya dan konteks sejarah musik pada umumnya. Untuk itu dalam
pembahasan bab ini akan di ketengahkan juga secara singkat konteks sejarah umum
dan musik umum. Selain itu pula sebelum
membahas tentang perkembangan musik
Gereja, terlebih dahulu diuraikan juga tentang musik dalam Perjanjian Lama
(musik Yahudi) dan musik pada jaman gereja perdana (gereja purba) yang juga
mempengaruhi perkembangan musik Gereja selanjutnya.
1. MUSIK DALAM PERJANJIAN LAMA (MUSIK YAHUDI)
Musik Yahudi telah bertumbuh
dan berkembang mencapai puncak kesempurnaannya pada musik Kenisah di Yerusalem (musik
Kenisah) pada masa Raja Sulaiman (972-929 SM). Peninggalan-peninggalan
kuno di Mesopotamia dan Mesir sudah memperlihatkan adanya musik kuno di jaman lampau. Hasil
penelitian telah menemukan notasi musik kuno di gua-gua sekitar Laut Mati
walaupun belum menunjukkan titik terang.
Dalam Perjanjian Lama kita mengenai
kidung-kidung dan mazmur-mazmur. Atas usaha Raja Daud (1012-972 SM) telah
disusun Mazmur-mazmur sebagai syair lagu resmi dari ibadat Yahudi.
Mazmur-mazmur itu berbentuk pararel, artinya tiap-tiap kalimat sejajar. Bentuk
demikian sangat mempengaruhi bentuk komposisi musikdari jaman itu demikian juga
cara membawakannya. Untuk menyanyikan mazmur-mazmur tersebut dibutuhkan 2 (dua)
kelompok/koor yang saling melengkapi yaitu dengan cara saling menjawab atau sahut-menyahut. Cara tersebut
mempengaruhi pada cara membawakan
musikgregorian kemudian yakni dengan nyanyian antiphonal atau
responsorial. Sesudah
pembuangan Babilon (abad ke 6 SM) umat Yahudi membangun Sinagoga-sinagoga
sebagai tempat ibadat yang tetap, sebab Kenisah Yerusalem telah dihancurkasn.
Ibadat mereka tidak lagi seperti di kenisah, karena tidak bersifat korban,
apalagi sudah terdapat banyak variasinya. Berkembanglah ibadat dan musik Sinagoga; Yang meliputi doa-doa,
mazmur-mazmur responsorial (misalnya kelompok Hallel atau ‘Lofzang’ dari
mazmur 113-118 dan Doxologi (ucapan pemuliaan)[1] pada mazmur 41,
121:18-19). Terdapat dua gaya menyanyi musik Sinagoga yaitu pertama, gaya
syllabis yakni tiap suku kata diberi hanya satu nada, walaupun melodinya sangat
bervariasi; kedua, gaya mellismatis yaitu bersifat kolorator yang dinyanyikan
oleh solo. Ciri khas dari gaya ini ialah pada satu suku kata diberi banyak nada
atau suatu melodi kecil.
Musik Yahudi tersebut pada akhirnya
sangat mempengaruhi pada musik gereja (=gregorian) antara lain: syair-syair
mazmur, cara-cara menyanyi dengan gaya antifonal dan responsorial, syllabis dan
mellismatis.
2. MASA
GEREJA PURBA (SEBELUM TAHUN 100
Masehi)
Gereja Perdana sudah
mengenal musik, terutama nyanyian dan musik instrumental. Musik liturgi Gereja
Perdana berakar pada tradisi musik ibadat Yahudi yang kemungkinan besar tidak
diiringi alat musik. Dalam Perjanjian Baru, kita mengenal praktek musik-
nyanyian, seperti ketika Yesus dan para murid menyanyikan kidung Hallel
sesudah merayakan perjamuan paskah (bdk Mat 26:30; Mrk 14:26). Adanya praktek
musik-nyanyian Gereja Perdana dapat tercermin jelas dalam surat Efesus dan
Kolose yang menganjurkan umat agar menyanyikan kidung puji-pujian dan nyanyian
rohani dalam pertemuan jemaat “bagi Tuhan dengan segenap hati” (Ef 5:19; Kol
3:16). [2]
Ada banyak tulisan Perjanjian Baru pula yang memuat madah dan kidung
yang besar kemungkinannya berasal dari tradisi liturgis, seperti Luk 1:46-55;
1:68-79; 1:29-32; Yoh 1:1-18; Flp 2:6-11; Ef 1:4-14; 5:14; Kol 1:15-20. Pada
waktu itu, musik terutama berbentuk nyanyian baik yang secara spontan dibawakan
oleh umat maupun yang sudah kurang lebih ‘jadi’ atau dihafal. Nyanyian-nyanyian
yang sudah ada dan populer dipakai jemaat ialah buku Mazmur yang menjadi
semacam buku nyanyian gerejawi waktu itu dan berbagai madah, seperti lagu
kemuliaan (gloria) dan Te deum yang hingga kini masih kita kenal.
Kiranya dapat disimpulkan bahwa Gereja Perdana mengenal dengan baik nyanyian
sebagai unsur kehidupan liturginya.[3]
3. MASA PERMULAAN
(TAHUN 100 – TAHUN 900)
Situasi Umum. Setelah dianiaya selama kurang lebih 300 tahun, mulai tahun 313 gereja
diakui, dilindungi oleh pemerintah – kekaisaran Romawi, bahkan agama kristen
menjadi agama resmi negara oleh kaisar Konstantin Agung melalui keputusannya
yang dikenal dengan Edikta Milano. Gereja sebagai golongan baru
mula-mula terpaksa mencari identitasnya dalam tantangan dari luar (pemerintah
Roma) maupun dari dalam (aliran-aliran yang sesat). Eropa berkembang menjadi
satu kekuasaan yang berpusat di Roma. Daerah-daerah di Eropa tidak bertentangan
dengan Roma akan tetapi dalam kerja-sama dengan pemerintahan Roma. Hal ini
memunculkan feodalisme di Eropa.
Musik Umum. Selain warisan musik dari ibadat Yahudi yang
berupa nyanyian mazmur dan teks Kitab Suci, di Eropa Selatan terdapat
kebudayaan musik Yunani dengan sistem tangga nada yang khas.
Musik Gereja. Sebagai musik pengenal umat Kristen timbullah lagu-lagu
Gregorian: berpangkal dari kata Kitab Suci, dengan mencari ungkapan dalam lagu dan irama, lagu ini
merupakan ungkapan iman. Maka ciri khasnya adalah: satu suara, irama bebas,
tanpa iringan, berdasarkan 8 tangga nada Yunani :
d
e f g a b c
d Doris bersuara serius, berat
e
f g a
b c d
e Frigis bersuara transenden, tak selesai
f
g a b c d
e f Lidis bersuasana gembira
g
a b c d e
f g Miksolodis bersuasana
megah.
a
b c d
e f g
a Hipo-doris
b
c d e
f g a
b Hipo-frigis
c
d e f
g a b c Hipo-lidis
d
e f g
a b c
d Hipo-miksolidis
= berarti nada
dasar/penutup lagu
-
berarti nada
dominan/pokok.
Lagu Gregorian timbul sebagai lagu “praktek” untuk liturgi, maka berupa
lagu imam/solis dan umat : propium dan Ordinarium. Dengan tumbuhnya
biara-biara, maka lama-kelamaan ditambah pula lagu officium.
Pada abad ke-4 Ambrosius, uskup Milano menambah himne-himne di dalam
perbendaharaan lagu gereja. Himne-himne
ini merupakan suatu tantangan bagi gereja; untuk pertama kali dipakai
nayanyian yang teksnya tidak berdasarkan Kitab Suci; lagu yang berasal dari
Eropa timur bernada cukup lincah dibandingkan dengan lagu lama. Proses tumbuh
ini mencapai puncaknya pada awal abad ke-7
di mana Paus Gregorius (594-604) menyeleksi dan mengatur lagu ibadat
yang boleh dipakai serta melarang yang dianggap kurang cocok. Menurut Paus ini
lagu-lagu gereja disebut “Lagu Gregorian”.
Perlu dicatat bahwa perkembangan musik Eropa dari abad ke-1 sampai
ke-15 adalah identik dengan perkembangan musik Gereja.
Arsitektur. Bentuk arsitektur yang berkembang adalah busur
Romawi.
Bentuk
arsitektur tersebut mencerminkan iman yang mantap, langit dan bumi dilihat
sebagai kesatuan yang dikehendaki oleh pencipta. Atau dengan kata lain: Di cap
oleh iman akan Kristus sebagai Raja surga dan dunia (pankrator).
4. ABAD-ABAD
PERTENGAHAN (TAHUN 900-1500)
Situasi Umum. Kerja-sama yang
baik antara kekaisaran Jerman dan Sri Paus di Roma merupakan jaminan untuk
kristianisasi masyarakat Eropa. Agama Kristen, kebudayaan Yunani-Romawi serta
tradisi di Eropa Utara saling mempengaruhi menjadi kebudayaan Eropa. Seluruh
hidup masyarakat diatur oleh agama Kristen. Kebudayaan berkembang di sekitar
kesatria-kesatria serta di universitas
(St. Thomas Aquinas dan filsafat
Skolastik) Baru dalam abad ke-14/15 masyarakat memainkan peranan sebagai
pembawa kebudayaan, terutama dalam sekolah nyanyi (meistersinger). Pada
abad ke-13/14 mulailah semangat baru dalam hidup keagamaan: nampak dalam
bangunan katedral gotik dalam sastra (a.l. Dante), dalam orde Fransiskus dan Dominikus, sebagai
perwujudan cinta kristiani.
Musik Gereja. Lagu
gregorian dipelihara di biara dan sekolah katedral. Namun diperkembangkan pula:
Nada-nada lengkung diisi dengan kata-kata baru, maka timbullah sekwens
(= lanjutan)[4] sebagai bentuk
baru. Selain itu lagu gregorian di dampingi dengan suara ke-2 (dan ke-3). Ini
terjadi mulai tahun + 1200 oleh Leoninus dan Perotinus di Paris yang
mengambil alih tradisi kuno yang disebut Organum (musik gregorian
yang dibawakan dalam beberapa suara oleh paduan suara) .
Terlepas dari lagu gregorian tumbullah
Conductus, lagu dengan 3 suara yang dipersatukan dengan irama yang
sejenis. Tokohnya adalah a.l. Adam de la Halle (1220-1287). Jenis conductus
diperkembangkan oleh Guillaume de Machaut (1305-13770 dalam Misa Notre Dame di
Paris. Semua musik ini yang juga disebut ars antiqua (musik lama)
nampak kaku dan berat. Pertengahan abad ke-14 di Italia berkembang gaya musik
yang disebut ars nova (musik baru). Pengarang yang paling
terkenal adalah Fransesco Landino (1325-1397). Lagunya kini jadi lebih enak,
mengalir, irama tidak kaku lagi.
Siapa pelaksana musik gereja dalam
abad-abad pertengahan ? Di Gereja-gereja Katedral: karena hanya para imam yang
memakai bahasa Latin, maka merekalah yang menjadi pelaksana utama nyanyian
gereja. Sampai abad ke-10 umat ikut serta dalam menyanyikan Kyrie, Refren
antar-bacaan, Sanctus, Pater Noster, Agnus Dei. Dengan didirikannya Schola
Cantorum (koor gereja 1 suara) yang terdiri dari (calon) imam serta anak
pria, sesuai dengan model di Roma, maka umat menjadi pasif dalam misa. Di
samping schola tersebut kadang-kadang terdapat paduan suara yang terdiri
dari penyanyi-penyanyi terlatih untuk
membawakan lagu polifoni. [5]
Di Gereja-gereja biara, halnya sama.
Namun karena biasanya biara didampingi sekolah, di mana pendidikan musik
ditekankan, maka di samping musik gereja di sini dipelihara juga musik profan.
Di Gereja-gereja paroki musik gereja
dilaksanakan oleh imam, bapak guru, dan koor anak sekolah, yang biasanya
terdiri dari anak-anak miskin. Umat sendiri tidak dapat ikut bernyanyi karena
tidak dididik dalam bahasa latin dan dalam nyanyi.
Di sekitar istana-istana koor terlatih
yang membawakan lagu gereja maupun lagu profan. Di sini instrumen musik makin
banyak dipakai juga dalam ibadat, meskipun dilarang (Sitar, harpa, biola,
terompet).
Iman umat diungkapkan dalam lagu
rohani yang timbul sejak abad ke-11 berdasarkan lagu gregorian yang
disederhanakan : dari Hymne, dengan memberi kata pribumi pada nada-nada yang
dilengkung (melisma). Terutama untuk hari Natal dan untuk ziarah
berkembanglah sejumlah lagu baru. Menjadi suatu kebiasaan pula dalam liturgi
abad pertengahan, bahwa sebelum dan sesudah khotbah dinyanyikan suatu lagu
rohani dalam bahasa pribumi. Di rumah pun mereka bernyanyi misalnya pada hari
Minggu sesudah makan siang, di mana bapa keluarga menanyakan isi khotbash
kepada anak-anaknya.
Tidak boleh dilupakan pula drama
liturgi, terutama untuk Paska, Minggu Palma, hari kebangkitan, hari Natal,
pesta St. Nikolas. Drama liturgi merupakan suatu perkembangan dari sekwensi di
dalam liturgi, yang kemudian berkembang menjadi mysterien spiel
(sendratari rohani) yang berupa drama di halaman gereja. Namun umumnya misa
dirayakan dengan lagu gregorian dalam bahasa Latin sambil umat mendoakan
rosario dengan merenungkan sengsara tuhan (mulai abad ke-12): misa diartikan di
dalam khotbah (alegorese).
Arsitektur. Arsitektur
berbentuk busur gotik[6] dengan tekanan
pada dimensi ke atas mencerminkan kontras antara surga dan dunia. Surga
dianggap sebagai dunia yang “jauh di sana”, dari sana datanglah cahaya rahmat
ke dunia ini (mistik).
5. MASA
RENAISANCE (TAHUN 1450-1700)
Situasi umum. Manusia menjadi sadar akan martabatnya sebagai pribadi. Hal ini
berhubungan dengan aliran humanisme yang mengetengahkan kembali ajaran dasn
kesenenian Yunani. Akibatnya ialah bahwa manusia sedikit demi sedikit
melepaskan diri dari ikatan gaerejani dan sosial yang menentukan hidup dalam abad-abad pertengahan. Maka manusia menemukan kekayaan
dalam dunia dan dalam diri sendiri. Terjadi suatu kelahiran kembali
(renaisance): 1492 Colombus menemukan benua Amerika yang membuka jalan untuk
memperluas ekonomi dan sekaligus iman kristiani. Tahun 1511 pedagang Portugis
sampai di Indonesia dan mulai kolonisasi di Asia Tenggara. Tahun 1605 pedagang
Belanda mengusir mereka dan melanjutkan kolonialisme terutama di Indoensia.
Sebagai akibatnya berkembanglah kota-kota di Eropa sebagai pusat perdagangan,
kerajinan dan pertukangan. Hidup masyarakat mulai berpusat di kota-kota yang
terlindung, dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup yang lebih mewah.
Negara-negara tertentu menjadi kuat,
termasuk Italia yang menjadi negara gereja di bawah pimpinan Sri Paus. Di satu
pihak di sinilah kesenian diperkembangkan, di lain pihak sekaligus hidup moral
dan rohani mundur. Hal ini antara lain mendatangkan reformasi (1519) yang
dilanjutkan dengan kontra reformasi (ordo Jesuit didirikan 1520, Konsili Trente
1545-1563).
Musik Umum. Masa puncak perekembangan
musik polifon (gaya kejar-kejaran/ kanon) adalah pada masa renaisance.
Cita-cita adalah musik di mana semua suara berdikari, sedapat-dapatnya dengan
saling menirukan (kanon dan teknik imitasi). Kesenian ini merupakan sintese
musik dari seluruh Eropa, karena para pengarang menjelajah daerah-daerah sambil
mempelajari gaya musik lokal dan mengarang di situ. Meskipun demikian daerah
Belanda menjadi terkenal sebagai pusat musik, begitu pula Jerman selatan,
Italia. Pengarang yang pantas disebut adalah G. Dufay (+ 1400-1474, J.
Ockeghem (+ 1420-1495), J. Obrecht (+ 1450-1505), Josquin de Pres
(+ 1450-1521), Heinrich Isaac (+ 1450-1517), Clemens non Papa (+
1510-1557), Orlando di Lasso (+ 1532-1594), Giovani Pierluigi Palestrina
(+ 1525-1594).
Polifoni dalam abad-abad pertengahan
tidak berpangkal dari syair, tetapi merupakan suara tambahan, tanpa peduli
mengenai keindahan bunyi, apalagi irama pelit-pelit. Kini bunyi yang indah
makin menentukan: Bunyi bersama diperhatikan, dalam musik dicari dan
diungkapkan arti bahasa, arti bunyi kata. Musik menjadi makin mausiawi;
terutama pada musik Palestrina dan Orlando di Laso cita-cita ini tercapai
secara sempurna. Mula-mula tradisi musik gregorian dan lagu tradisional masih
dipakai dalam Cantus firmus (lagu pokok) namun keterikatan kini makin
ditinggalkan dan para komponis menimba dari intuisi sendiri sebagai individu.
Selain itu studi kebudayaan Yunani yang nampaknya mengutamakan lagu dengan satu
suara, meningkat pula penghargaan terhadap nyanyian dengan satu suara yang
diiringi. Terutama di masyarakat kota kini berkembang seni lagu rakyat. Memang
dalam masa renaisance masyarakat mulai berpartisipasi dalam musik. Maka di
samping musik rohani kini berkembanglah pula nyanyian duniawi serta musik tari:
Chanson, Villanelle, Madrigal, nyanyian koor, (L. Senfl 1490-1555, L. Lechner
1553-1603, H.L. Hassler 1564-1612, Orlando di Lasso). Bahkan sudah lahir pula
satu bentuk musik yang baru berkembang dalam masa Barok: Opera.
Musik Gereja. Musik polifon masa
renaisance dicetuskan dalam bentuk pokok Motet, suatu pengolahan
teks secara polifon demi potongan, dengan motif yang lain-lain, sesuai dengan
arti teks. Teknik imitasi main peranan besar. Misa (ordinarium) pun sekarang
sebagai motet, mula-mula dengan cantus frimus, kemudian secara bebas. Makin
timbul juga suatu kebiasaan untuk mencampur gaya homofon dengan gaya polifon,
apalagi sesudah Konsili Trente menuntut agar teks nyanyian harus bisa
ditangkap.
Lagu Gregorian dalam masa renaisance
mengalami suatu perkembangan: Bahkan timbul tangga nada gregorian yang baru, ionis
dan eolis yang kemudian menjadi mayor dan minor.
Misa de Angelis dan Salve Regina ditulis dengan tangga nada yang sudah mirip
dengan mayor. Selain itu timbul banyak sekwensi baru terutama untuk pesta-pesta
orang kudus. Menjadi biasa juga untuk memberi kata baru pada nada-nada yang
dilengkung (tropus). Namun di lain pihak lagu grogorian mundur dan
dirasa sebagai lagu wajib yang kalah bagusnya terhadap lagu polifon. Dalam
reformasi di gereja Protestan musik mendapat kedudukan baru: Berpangkal dari
imamat umum, maka seluruh umat menjadi pelaksana liturgi. Maka timbullah
nyanyian umat dalam bahasa pribumi (Koral). Martin Luther (1483-1546)
sendiri mengarang sejumlah Koral dan mengambil alih banyak lagu profan dengan
memberi syair rohani (Kontrafaktur). Lagu dengan satu suara
diperkembangkan menjadi motet (Michael Praetorius 1571-1621) musik orgel mulai
berkembang.
Sebagai reaksi di dalam gereja Katolik
pun timbul usaha untuk menambah lagu gereja pribumi. Inisiatif tumbuh secara
swasta oleh beberapa pastor dan tokoh musik (Georg Witzel, K. Querhaner,
Michael Vehe, Johan Leisentritt). Sumber untuk usaha ini terletak dalam
humanisme (meistergesang) dan gerakan pastoral di gereja Katolik
terhadap wujud ibadat di gereja Protestan. Namun gereja resmi masih menanti dan
menegaskan sikapnya dalam Konsili Trente . ternyata dokumen-dokumen Konsili
Trente yang diterbitkan tahun 1570 tidak membanarkan adanya nyanyian liturgi
dalam bahasa pribumi.
Konsili Trente merupakan suatu
penggalan dalam sejarah musik gereja. Terhadap musik profan dan musik ibadat
gereja Protestan ini ditegaskan ciri liturgi dan musik gereja Katolik. Musik polifon
tidak dilarang seperti diusulkan oleh golongan tertentu namun dituntut agar
teks nyanyian dapat ditangkap, kata-kata janganlah diperkosa (penggalan di
tengah kata, melisma yang panjang-panjang, ulangan kata untuk mengisi lagu dan
sebagainya). Selain itu asosiasi akan lagu profan hendaknya dihindari. Namun
konsili tetap terbuka untuk menerima unsur musik sezaman, seperti yang
dinyatakannya: “Rindu akan harmoni surgawi serta renungan kebahagiaan orang
kudus hendaknya menjadi cita-cita musik gereja”. Pengaruh musik Palestrina
(1525-1594) yang meskipun polifon, namun toh jelas teksnya dan bebas dari unsur
profan, menentukan para bapa Konsili untuk mengambil sikap ini. Palestrina
memakai gaya homofon untuk lagu propium serta untuk bagian ordinarium di mana
teksnya harus dimengerti, gaya polifon dipakai untuk ordinarium dan untuk
mengimbangi homofoni dalam ulangannya.
Lagu gregorian diperikasa kembali.
Semua sekwensi dibuang kecuali empat. Banyak lagu gregorian diolah kembali
menjadi sedikit harmonis, melisma yang panjang diperpendek, bahasa latin yang
buruk diganti, aksen yang salah dibetulkan. Cita-cita ini pertama-tama
dilaksanakan di Roma sebagai model, kemudian ditirukan di gereja Katedral dan
biara.
Lagu gereja dalam bahasa pribumi yang
sudah mencapai taraf yang cukup tinggi tidak diperhatikan oleh bapa
Konsili. Penggunaan nyanyian tersebut di
luar liturgi resmi tidak dibatasi. Maka di Jerman dan di Perancis nyanyian ini
dipakai terus: selama misa sepi, dalam pujian sore namun kadang-kadang juga
dalam misa besar. Hanya gereja besar yang mempunyai koor untuk membawa l;agu
polifon dan gregorian. Umat jarang ikut membawakan lagu gregorian.
Nyanyian gereja dalam bahasa pribumi
mendapat juga kedudukan di sekolah. Khususnya di sini perlu disebut peranan Petrus
Kanisius SJ yang melihat peranan nyanyian di dalam sekolah dan di rumah untuk
menanam iman dalam umat. Ia berjuang juga agar nyanyian gereja dalam bahasa
pribumi boleh dipakai dalam liturgi. Di mana Petrus Kanisius mendirikan Kolese,
di situ terbitlah pula sebuah buku nyanyian gereja.
Keputusan Konsili Trente tidak
dilaksanakan dengan segera. Tahun 1570 diterbitkan Missale Romanum yang
menentukan upacara perayaan misa sampai Konsili Vatikan II praktis tidak pernah
dirubah. Teks propium dan ordinarium di sini ditetapkan sebagai teks wajib
untuk nyanyian gereja.
Arsitektur. Gaya
pembangunan masa renaisance ditandai dengan kemewahan. Gedung-gedung gereja pun
demikian. Busur-busur kini diganti dengan garis horisontal yang berpangkal dari
arsitektur Yunani yang ingin dilahirkan kembali.
6. MASA BAROK
(TAHUN 1600-1750)
Situasi umum. Di satu
pihak Belanda, Inggris, Spanyol, Portugal, Perancis menjadi kaya akibat
kolonialisme. Sedangkan negara lainnya saling melemahkan dengan merebut kuasa
di Eropa. Khususnya di Jerman pertengkaran antara orang Protestan dan Katolik
(perang 30 tahun 1618-1648) yang terutama berupa perebutan politik memperlemah
kerajaan dan menguntungkan pangeran-pangeran kecil yang menjadi kuat
(absolutisme). Kebudayaan kini berkembang di istana pangeran dan uskup.
Ditandai oleh ketegangan antara
kenikmatan dunia ini serta harapan pada dunia nanti, Barok adalah suatu sintese
dari seni merayakan pesta serta optimisme iman. Hidup di dunia ini dipandang
sebagai awal pesta surgawi. Berpangkal dari Italia gaya Barok meluas ke seluruh
Eropa dengan menentukan segala bidang seni; seni sastra dan drama (Moliere,
Cerventes, Angelus Silesius, Grimmelshausen, A.Gryphius), seni lukis dan seni
rupa (Tiepoli, Greco, Rubens, Rembrandt, Lorrain, I. Gunther, A. Elsheimer),
arsitektur (Bernini, Fischer von Erlach, Baltasar Neuman) dan musik.
Musik Umum. Sebenarnya
perkembangan musik barok sudah dirintis oleh pengarang musik vokal di akhir
abad ke-16: dengan menuju ke homofoni, maka harmoni mayor dan minor makin
dipentingkan; maka terbukalah jalan kepada musik instrumental yang mengiringi
musik vokal. Berkembanglah suatu gaya musik baru: monodi dan
generalbas (akor-akor pengiring untuk satu suara). Musik ini cocok sekali
untuk diisi dengan suara-suara instrumental yang tak mempunyai maksud lain
kecuali untuk memeriahkan suasana. Inilah tujuan masa barok. Kadang-kadang ini
ditingkatkan sampai menjadi dramatis dan patetis (mempesona). Maka opera yang
sudah lahir di masa renaisance, kini maju dengan cepat dengan aria, lagu koor
dan lagu instrumental (Montreverdi, H. Schutz, Lully Purcell, A. Scarlatti,
G.B. Pergolesi, Gluck). Bahkan didirikan gedung-gedung khusus untuk pementasan
opera. Di luar opera pun berkembanglah seni nyanyian tunggal dengan iringan
instrumental.
Namun terutama musik instrumental kini
sangat maju, mula-mula sebagai musik pengiring kemudian sebagai musik yang
punya tujuan dalam diri sendiri. Maka tumbuhlah bentuk musik baru: Toccata,
fantasia, improvisasi tentang sebuah nyanyian, variasi, suita, sonata, konser,
passacaglia untuk orgel dan Cembalo, namun juga untuk orkes kecil (Schein,
Scheidt, Frohberger, Pachelbel, Buxtehude, Kuhnau, Byrd, A. Corelli, A.
Vivaldi, A. Scarlatti, J.S. Bach, G.F. Handel, G.Ph. Telemann, F.Couperin, Ph.
Rameau, H. Purcell).
Polifoni makin diganti dengan gaya
homofoni yang dikuasai akor yang makin kaya. Birama dan hitungan menjadi
penting sebagai dasar untuk bermusik bersama; ketepatan hitungan merupakan
unsur “abadi” dalam musik Barok.
Musik Gereja. Musik
Gereja pun berkembang di sekitar para pangeran uskup, abas. Keinginan untuk
merayakan pesta yang mewah dan mengesan musik juga dalam gereja. Sejajar dengan
opera di luar gereja timbullah oratorium dengan aria, koor dan musik
instrumental dari orkes namun tanpa disandiwarakan; pengarang oratorium pokok
adalah G.F. Handel. Kantata adalah oratorium mini yang terutama
diciptakan untuk ibadat hari Minggu di
gereja Protestan. J.S. Bach
mengarang lebih dari 200 kantata. Musik
orgel kini mengalami masa jayanya (terutama) oleh J.S. Bach
Namun ibadat di gereja Katolik pun
berkembang. Devotia Moderna ialah keinginan untuk mengungkapkan
isi hati secara wajar, menjadi dasar untuk karangan misa dengan koor, dan
orkes, yang diselenggarakan di gereja Katedral dan istana. Propium Gregoruan
pun diganti dengan lagu baru. Maka lagu gregorian makin kurang dikenal: dirasa
terlalu sederhana. Maklumlah, manusia Barok mengalami hadirnya Tuhan dalam
ibadat sebagai Raja. Maka dihormati dengan suara lantang. Maksud untuk
memuliakan Tuhan dengan menyenangkan manusia bagi orang Barok adalah satu
tujuan. Maka dalam gereja sering malah terdapat dua koor, instrumen masuk
gereja, orgel pun menjadi makin besar. Maka tempat orgel dipindahkan ke balkon
di belakang, berhadapan dengan altar. Akibatnya bahwa seluruh ruang gereja
dipenuhi dengan bunyi, umat pun (yang dulu terpisah dari altar) kini
diintegrasikan di dalam liturgi.
Dalam gereja desa dan kota kecil pun
gaya ini ditirukan, meskipun pada tingkat yang lebih ‘amatir’ : Kini
berkembanglah misa orgel untuk menggantikan orkes. Sikap berdoa ini memang bertentangan dengan
keputusan Konsili Trente yang berulang kali ditegaskan kembali oleh sri Paus.
Jarang antara hukum gereja dan pelaksanaannya menentukan musik gereja pada abad
ke-17/18.
Di lain pihak pada masa Barok pun
berkembanglah devosi rakyat berupa banyak nyanyian baru untuk pujian sore,
ziarah dan katekese. Perlu dicatat pula bahwa untuk retret umat imam-imam
Yesuit mengarang banyak nyanyian gereja baru yang menjadi sangat populer.
Karena aksen syair disesuaikan dengan aksen lagu, maka enak untuk dinyanyikan
dan mutu syair dipuji sebagai sastra sampai sekarang, terutama syair-syair yang
dikarang oleh Friedrich von Spee SJ (1591-1635). Lagunya kita jumpai dalam
banyak buku nyanyian abad ke-17 dan diwariskan terus sampai zaman sekarang.
Angelus Silesius (1624-1677) pun mengarang sejumlah nyanyian gereja baru yang
bergaya Barok; lagu ini pun masih
terdapat dalam buku-buku nyanyian sekarang.
Arsitektur.
Gedung-gedung gereja serta istana bergaya barok[7]
yang mengungkapkan rasa gembira dan hasrat untuk menikmati hidup ini, maka
bangunannya kini mencerminkan “hadirnya surga di dunia ini” dalam banyak
lukisan, hiasan, kemewahan.
7. MASA KLASIK
(TAHUN 1750-1820)
Situasi Umum. Barok
berhasil menggerakkan perasaan manusia. Dengan mengalami pesta yang mewah di
dalam dan di luar gereja, manusia terpesona oleh kebesaran Tuhan, ia merasa
amat kecil terhadap-Nya, namun inilah caranya ia berdoa. Di lain pihak tidak
boleh dilupakan pula, bahwa semuanya ini membuka suatu jurang antara ibadat dan
realita hidup. Liturgi menjadi tontonan saja yang memang menyenangkan; namun
juga tidak membantu untuk mengatasi kesulitan hidup bersama. Inilah sebabnya
pada pertengahan abad ke-18 timbul gerakan ‘fajar budi’/ ‘pencerahan’ (Aufklarung)
sebagai reaksi terhadap barok. Kini tekanan berat diletakkan pada ‘otak’. Maka
Lessing (1778), Winckelmann (1764), Kant (1781), Fichte Schelling, Hegel
menuntut agar supaya seni dan tradisi kembali kepada hakekatnya: perwujudannya
harus sederhana namun berbobot, jelas dan sedemikian hingga masuk akal (logis).
Tekanan yang berat sebelah pada akal itu merupakan hasil dari kemajuan di
bidang ilmu alam yang mendatangkan rasa bangga. Manusia melihat diri sebagai
makhluk berotak dan melupakan bahwa ia juga punya perasaan.
Dalam liturgi ditentang segala devosi
terhadap orang kudus dalam ziarah dan sebagainya. Tujuannya ialah agar melalui
liturgi manusia menjadi lebih baik (secara etis dan moral). Maka khotbah dan
katekese yang dipentingkan dan ibadat dalam bahasa pribumi diperjuangkan
(sebenarnya banyak gagasan dari ‘fajar budi’ mirip dengan pembaharuan liturgi
Konsili Vatikan II. Namun karena tekanan dalam ‘fajar budi’ berat sebelah pada
intelek sambil perasaan dilupakan, maka ia tidak berhasil). Dengan gerakan
‘fajar budi’ mulailah proses sekularisasi:[8]
bukan agama yang menentukan lagi perkembangan kebudayaan, tetapi ‘zaman’.
Musik umum. Sesuai
dengan cita-cita ‘fajar budi’ bahwa seni harus sederhana namun berbobot,
jelas dan logis, maka kini berkembanglah suatu musik yang kemudian disebut klasik,
artinya dianggap sebagai musik tertinggi dalam perkembangan musik Barat. Hal
ini disebabkan, karena musik ini mengungkapkan isinya secara indah namun wajar,
seimbang, tanpa kelebihan apapun. Rasa kaku dari musik Barok (dinamika, teras,
tempo yang tetap, satu tema untuk satu lagu) kini diatasi dengan dinamika dan
tempo yang fleksibel, dengan dua tema yang kontras. Suara pokok yang terutama
memakai tangga nada mayor (minor dipandang mayor yang “menangis”), kini
diiringi secara seni dan hidup. Akoranya mudah dimengerti, namun di samping
akor selaras terdapat pula eksperimen dengan akor janggal.
Selain itu ciri khas musik klasik
terletak dalam unsur ”progresif”: musiknya tidak lagi bersifat “abadi” dengan
mengulang-ulang satu tema (seperti juga musik gamelan). Dalam musik klasik satu
motif (kelompok nada) diulang sambil dirubah, diperkembangkan, dikontraskan
dengan motif lain, hingga terjadilah sesuatu dalam musik; manusia melihat
nasibnya sendiri tercermin di dalam musik, ia merasa terlibat. Hidupnya
diungkapkan dengan alor disonan yang memancing akor konsonan, dalam pembawaan
yang keras dan lembut, dalam variasi
bunyi yang bermacam-macam.
Bentuk musik progresif adalah bentuk
sonata yang juga hadir dalam somfoni : berpangkal dari dua tema yang
diperkenalkan dulu, menyusullah bagian “developemen” (pengolan tema) dan
diakhiri dengan ulangan tema, namun kini secara lebih mantap. Musik klasik
adalah terutama musik instrumental. Maka berkembanglah alat musik baru:
terutama piano. Instrumen kini digandakan menjadi kelompok viol satu, viol dua,
alat tiup kayu, alat tiup logam, dan sebagainya. Dengan demikian orkes simfoni
mampu untuk mengungkapkan perbedaan dalam warna bunyi yang bermacam-macam.
Hanya tiga komponis yang lazim disebut sebagai komponis klasik : Joseph Haydn
(1732-1890), Wolfgang Amadeus Mozart (1756-1791) Ludwig van Beethoven
(1770-1827). Ketiga-tiganya mengarang di Vienna. Lain dengan masyarakat abad
ke-20, musik mereka dimengerti dan dikagumi oleh semua golongan masyarakat di
waktu itu, karena dirasa sesuai dengan hidup mereka.
Musik Gereja. Karena
dikontrak oleh seorang uskup-pangeran, maka Haydn dan juga Mozart (namun hanya
selama dua tahun) mengarang cukup banyak misa. Tentu juga dalam gaya musik
simfoni. Terpengaruh oleh ‘fajar budi’, maka tujuan ibadat tidak dilihat
sebagai ‘syukur kepada Allah yang transenden’, tetapi sebagai sarana untuk
membangkitkan rasa khidmat dan saleh dengan menunjuk jalan untuk hidup sebagai
manusia yang baik. Hal ini mendapat dukungan oleh Paus Benediktus XIV dalam
ensiklik Annus Qui tahun 1749 di mana gaya teatral musik Barok
ditentang di dalam gereja, namun misa dengan orkes simfoni dibenarkan, asal
tidak bertujuan untuk menyenangkan telinga saja, tetapi untuk menciptakan sikap
batin yang saleh. Memang diharapkan suatu ‘gaya gerejani’ dalam musik sesuai
dengan nilai ibadat di muka Allah yang Maha Tinggi. Justru dengan musik klasik
Paus Benediktus mengharapkan akan tercapai tujuan ini. Maka liturgi makin
menjadi kesempatan untuk dipentaskan musik yang bagus.
Bagaimana di gereja-gereja yang tidak
mempunyai orkes ? Di mana tidak mungkin misa simfoni, di situ kita jumpai
bentuk musik yang lebih sederhana, sedemikian sederhana hingga agak dangkal,
hingga kehilangan jiwanya. Musik gereja menjadi barang pemakaian: terdapat
banyak misa umat yang murahan. Yang tinggal hanyalah bunyi yang ingin mempesona
secara lahiriah saja. Dengan ditinggalkan tradisi musik gereja (gregorian dan
polifoni klasik) dan dengan menirukan gaya ibadat di gereja katedral maka
liturgi di gereja biasa menjadi makin miskin dan hampa. Tambahan pula: dalam
rangka sekularisasi biara-biara dibubarkan oleh pemerinatah, maka lenyaplah
pula kemungkinan untuk menimba kekuatan baru, karena iman umat pun dangkal.
Namun justru kemiskinan inilah memancing kedatangan musik gereja yang baru
(dalam masa Romantik).
Arsitektur. Masa klasik
dalam musik tidak didampingi oleh suatu gaya
dalam arsitektur, Mula-mula gaya Barok masih bertahan dengan gaya Rokoko
(= gaya Barok yang dintensifkan sampai detil-detilnya), kemudian
menyusullah gaya klasicisme, suatu jiplakan gaya renaisance yang
disesuaikan dengan cita-cita ‘fajar budi’, namun kurang berhasil.
8. MASA
ROMANTIK (TAHUN 1800-1900)
Situasi umum. Abad ke-19
adalah masa dengan banyak perubahan. Tiada lagi satu perkembangan yang
menyeluruh, tetapi perubahan terjadi dalam beberapa lapisan yang berlainan. Di
satu pihak ada liberalisme, nasionalisme dan sosialisme sebagai akibat
indusrialisasi dan hidup di kota serta sebagai lanjutan dari revolusi Perancis.
Manusia diperbudak oleh teknik yang merubah cara hidupnya. Di lain pihak
(sebagai reaksi) manusia mencari keseimbangan dalam alam dan seni dengan
menitik beratkan perasaan. Ini terjadi secara perorangan dan anehnya dengan
mengarah kepada masa yang lampau.
Musik Umum. Dalam musik
klasik keindahannya seimbang dengan bentuknya. Namun unsur ‘progresif’ di dalam
musik klasik secara konsekwen menuju kepada musik yang makin mencerminkan drama
hidup manusia. Maka berkembanglah musik romantis sebagai ungkapan
perasaan perorangan. Sampai manusia melarikan diri dari realita ke dalam dunia
bunyi. Kekayaan bunyi baru diperoleh dengan perwujudan melodi, harmoni dan
bentuk musik secara baru. Orkesnya menjadi makin besar. Pemain musik semakin
lihay. Perlu dicatat pula, bahwa masyarakat dari golongan tengah dan rendah
makin main peranan di kota. Maka lahirlah jenis musik baru: Musik hiburan: Di
Amerika musik jazz, di Eropa musik salon, musik koor pria, fanfare, musik rumah
(terutama untuk piano), walse, operet. Operet pun mendapat suatu masa jaya
namun kini untuk masyarakat biasa. Musik klasik dipentaskan kembali, namun
untuk golongan atas.
Musik gereja. Musik
gereja abad ke-19 pun menampakkan diri dalam beberpa lapisan: di satu pihak
terdapat musik tinggi dengan orkes besar sebagai lanjutan tradisi klasik namun
kini dalam gaya Romantik (Fr. Schubert, J.Rheinberger, F.Liszt, A. Bruckner, A.
Dvorak, Ch. F. Gounod, G. verdi, C. Franck, J. Brahms). Di lain pihak terjadi
suatu reaksi terhadap musik orkes dalam ibadat: suatu gerekan untuk
menghidupkan kembali nyanyian gregorian. Gerekan ini berpangkal dari Dom
Gueranger (Perancis) serta F.X. Haberl (Jerman). Namun karena bersaing dan
bertentangan dalam studi terhadap naskah-naskah asli, maka gerakan ini dalam abad ke-19 belum mencapai sasarannya.
Suatu inisiatif lain untuk membaharui musik gereja adalah Cecilianisme. F.X. Witt
(1834-1888) melihat keselamatan musik gereja dalam usaha kembali kepada musik
polifon seperti diciptakan oleh Palestrina (1525-1594). Dengan mengarang
sendiri dalam gaya Palestrina dan dengan mengajak pengarang lain, maka
terkumpullah banyak lagu koor baru yang diterbitkan. Supaya dipakai, maka Witt
mendirikan suatu ‘organisasi St. Cecilia’ : persatuan koor, dirigen dan organis
yang cukup meluas di Jerman dan Austria. Mereka adakan pertemuan rutin,
kongres; semangatnya dibina oleh Witt sebagai ketua dalam kunjungannya serta
melalui suatu majalah. Bahkan didirikan sekolah-sekolah musik serta
kursus-kursus untuk meningkatkan mutu koor dan nyanyian gereja. Nyanyian gereja
diseragamkan, nyanyian umat pun dilatih. Namun musik
Neo-Palestrina ini tetap merupakan suatu copy dan tidak sama dengan musik
Palestrina yang asli. Apalagi, gaya Palestrina sama sekali lain dari pada gaya
musik abad ke-19; untuk pertama kali terbukalah suatu jurang antara
perkembangan musik gereja dan perkembangan musik, yang berlangsung terus dalam
musik gereja Barat hingga saat ini.
Nyanyian umat dalam abad ke-19
pertama-tama menghidupkan kembali nyanyian gereja dari masa Renaisance dan
Barok dengan diberi syair baru. Bahkan nayanyian gregorian dilatih kepada umat.
Usaha ini diperkuat dengan adanya buku nyanyian gereja seragam untuk setiap
keuskupan sendiri. Untuk menghormati Bunda Maria, Hati Yesus, Sakramen
Mahakudus terciptalah lagu baru dalam gaya romantis yang cukup sentimental.
Kedudukan nyanyian umat dengan bahasa pribumi dalam
liturgi latin tidak sama: ada keuskupan yang memperbolehkannnya hanya untuk
misa umat, ada yang mengizinkannya untuk misa besar. Perlu disebut pula bahwa
lebih-lebih di Ropa Tengah dalam abad ke-19 lahir banyak lagu Natal yang bagus
yang terkenal sampai di Indonesia.
Arsitektur. Gaya
pembangunan abad ke-19 berorientasi pada masa yang lampau: gaya Romawi dan
Gotik ditirukan menjadi Neo-Romantik serta Neo-Gotik (Contoh Katedral Jakarta)
namun tanpa mencapai mutu asli dan tanpa menambah sesuatu yang baru.
9.
ABAD KE-20
Situasi umum. Bila
perkembangan-perkembangan pada abad ke-19 tidak dapat dipersatukan di bawah
satu panji apalagi perkembangannya pada abad ke-20. Dalam politik terjadi
penggeseran kekuasaan yang nampak dalam dua perang dunia besar serta banyak
ketegangan yang berlangung terus hingga sekarang. Sebagai jalan ke luar
terciptalah perjanjian-perjanjian di antara bangsa-bangsa untuk bersatu dengan
akibat bahwa terbentuk blok-blok besar yang saling mengancam.
Ekonomi maju terus, meski
pun terhambat oleh dua perang dunia. Maka terbentuklah masyarakat yang makin
kaya dan materialistis (di negara barat). Gereja makin mengalami ketidakmampuan
dalam memainkan peran dalam hidup masyarakat dan politik. Maka pusat perhatian
dipindahkan pada konsolidasi dari dalam: mulai dengan program pembaharuan Paus
Pius X gereja berkembang sampai Konsili Vatikan II di mana program itu dilaksanakan
sepenuhnya. Kesadaran akan arti liturgi bagi hidup Gereja serta tuntunannya
agar semua orang beriman terlibat secara aktif di dalam liturgi yang sudah
termasuk dalam program pembaharuan Pius X dan yang dirintis kemungkinan
pelaksanaannya sudah jauh sebelum Konsili Vatikan II. Perkembangan
gereja-gereja di luar Eropa akhirnya merupakan suatu kekayaan bagi gereja lama.
Gereja yang berabad lamanya menekankan ketergantungan dari Roma, makin sadar
bahwa perlu dialog dengan anggota-anggotanya, juga dengan gereja-gereja
Protestan.
Musik umum. Pada awal abad
ke-20 musik meninggalkan keterbatasannya sebagai musik lokal/nasional dan
terbuka untuk seluruh dunia. Tanpa berhentinya gaya musik yang tradisional
mulailah usaha untuk mencari bersama bagiamana hidup di abad ini dapat
diungkapkan dalam musik. Justru adanya
banyak gaya yang bertentangan dan bergantian membuktikan fakta ini. Yang baru
adalah usaha untuk mencari bunyi tidak lagi dicita-citakan bunyi yang indah tetapi
bunyi yang mencerminkan situasi hidup yang tidak selalu enak. Maka
peraturan-peraturan lama tentang susunan akor dan melodi (harmoni dan estetika)
dikesampingkan. Terciptalah musik atonal dan musik dodekafon.
Secara lebih terperinci dapat dibedakan 3 macam musik zaman sekarang. Pertama,
musik serius melanjutkan tradisi musik klasik dan romantik namun
dengan mencari kemungkinan baru: dengan instrumen baru (misalnya alat
elektronis), dengan cara baru untuk membunyikan instrumen. Faktor improvisasi
main peran, unsur dari luar musik diintegrasikan (mis. deklamsi, segi visual). Kedua,
musik jazz, beat dan pop tetap berpegang pada warisan musik
tradisional, namun dengan mengadakan eksperimen dalam gaya pembawaan, dalam
menekankan unsur irama (dan gerak badan), dengan menekankan penampilan.
Ketiga, musik rakyat pun makin dipengaruhi oleh pembaharuan
yang tadi disebut. Khususnya perlu disebut usaha untuk mempersatukan kembali
yang tadi terpisah: musik duniawi dan rohani, musik Eropa dan musik luar Eropa.
Musik Gereja. Cecilianisme
pada awal abad ke-20 kehilangan dayanya. Maka terasa bahwa lagu tiruan tidak
dapat memberi apa yang diharapkan dari padanya. Semakin terasa pengaruh dari
program pembaharuan Paus Pius X dalam Motu Propio tahun 1903 tentang musik
gereja. Di sini sudah ditetapkan apa yang diulang dalam Konstitusi Liturgi
Konsili Vatikan II tahun 1964 : bahwa umat harus ikut serta dalam liturgi
secara aktif dan sadar. Maka musik dan nayanyian liturgi merupakan bagian
integral di dalam ibadat. Karena diperuntukkan demi kemuliaan Tuhan dan demi penyucian
umat, maka musik gereja harus sungguh bermutu sebagai musik; segala unsur
profan harus ditinggalkan. “Disenangi atau tidak, ini belum pernah menjadi
ukuran benar untuk menilai hal rohani; maka hendaknya umat dididik dan dibina
dalam selera yang sehat “, kata Pius X. Bahkan Paus ini sudah menyatakan bahwa
bangsa-bangsa berhak untuk memiliki nayanyian gereja dalam bahasa dan gaya
pribumi (bdk SC no. 119). Ukuran untuk nyanyian gereja dilihat Pius X dalam
lagu gregorian. Maka dianjurkan agar dilatih secara meluas pada umat.
Biara-biara OSB membantu banyak dalam melatih dan menghidupkan nayanyian
gregorian pada umat. Namun tidak semua paroki mampu menghidupkan lagu tersebut,
antara lain karena dibutuhkan contoh yang hidup.
Selain itu nyanyian gereja
dalam bahasa pribumi tetap dipakai. Sejajar dengan gerakan liturgi nyanyian ini
mendapat peranan di dalam liturgi: sebagai cara berdoa dan beribadat, bukan
sebagai selingan saja. Tambahan pula bahwa di negara-negara Eropa, terutama di
Jerman ‘gerakan mudi-mudi’ dan ‘gerakan nyanyi’ di luar dan di dalam gereja
membantu banyak pada ‘gerakan liturgi’. Terbitlah kumpulan nyanyian yang segar
dari abad-abad dulu maupun lagu baru. Juga banyak lagu dari gereja Protestan
mulai dipakai di gereja Katolik dan sebaliknya. Ada usaha pula untuk
menterjemahkan nyanyian gregorian dalam bahasa modern, namun dirasa gagal.
Sedangkan ciptaan lagu baru dengan motif gregorian mungkin (seperti Misa Te
Deum karangan Frans Harjawiyata OCSO).
Tahun 1955 dikeluarkan
sekali lagi suatu Motupropio, kini oleh Paus Pius XII tentang musik gereja.
Ditekankan perbedaan antara musik liturgi dan nyanyian rohani. Nyanyian gereja
dalam bahasa pribumi digolongkan sebagai nyanyian rohani, bukan liturgi.
Dianjurkan lagu yang mudah dihafal yang syainya bebas dari kata yang klise,
yang mencerminkan suasana khidmat. Lagu ini hendaknya dibukukan; sedangkan lagu
yang manis-manis dengan kata yang sentimentil hendaknya dihilangkan karena
membahayakan, kata paus. Maka mulailah berkembang nyanyian gereja baru dalam
bahasa pribumi di dalam (hampir) setiap bangsa. Roma dengan rela memberi izin
untuk memakai lagu ini juga dalam Misa besar dengan menggantikan lagu gregorian
(bertentangan dengan Motupropio tahun 1955) Indonesia pun mendapat izin
tersebut tahun 1953.
Perkembangan musik koor
dalam abad ini tidak begitu hebat lagi. Maklumlah jurang antara musik gereja
dan musik umum makin besar. Komposisi baru memang ada, tetapi berupa lagu yang
bergaya Neo-Romantik (Griesbacher, Lechtales, J. Haas). Lama-kelamaan timbul suatu
gaya yang disebut Neo-klasicisme. Gaya ini menciptakan bunyi yang disengaja
miskin, jauh dari dunia, musik yang ‘ber-matiraga’. Tokoh-tokoh antara lain
adalah L. Ahrens, H. Schroeder, H. Distler (Protestan), E. Pepping (Protestan),
E. Tittel di Jerman; H. Kronsteiner, J. Fr. Doppelbauer, di Austria;
A. Guilmant, Vincent d’Indy, M. Durufle, Gigout, J. Langlais di
Perancis; L. Perosi di Italia; J.van Nuffel, H.F. Andriessen, M. Monnikendam,
J. Mul, H. Strategier, A. de Klerk di Belanda/Belgia.
Akhirnya Konsili Vatikan II
membenarkan apa yang sudah dilaksanakan dari ‘bawah’ tadi. Namun selain
menggaris bawahi apa yang digaskan Pius X, Konstitusi Liturgi-Sacrosanctum
Concilium memberi lebih banyak kebebasan, membuka kemungkinan-kemungkinan
baru untuk musik gereja.
10. KESIMPULAN
Gereja ialah orang-orang
yang beriman kepada Kristus. Warga Gereja adalah orang-orang konkret, yang
terikat pada budaya lokal dan manusia dari kelompok tertentu. Maka sejak
semula, Gereja tidak pernah bisa melepaskan diri dari musik. Liturgi yang
merupakan perayaan iman Gereja senantiasa tidak dapat lepas dariunsur Musik.
Musiknya pun musik dari Tradisi setempat.[9]
Gereja perdana sudah
mengenal musik. Yakni musik yang berakar pada musik ibadat Yahudi. Dalam
Perjanjian Baru, kita mencatat bahwa Yesus dan para murid menyanyikan kidung Hallel (bdk. Mat
26:30; Mrk 14:26). Umat beriman juga biasa bernyanyi dalam ibadat mereka. Maka,
penulis surat Efesus dan Kolose berkata: “ berkata-katalah seorang kepada yang
lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan
bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati “ (Ef 5:19; lih. Kol 3:16). Sejarah
Gereja selanjutnya mencatat bahwa liturgi tidak pernah lepas dari musik.
Nyanyian gregorian yang dikumpulkan oleh Paus Gregorius Agung pada abad ke-7
merupakan contoh klasik jenis musik nyanyian yang bertahan hingga hari ini.
Demikian pula alat-alat musik yang digunakan juga terus berkembang dalam
sejarah musik Gereja. Meskipun pada mulanya Gereja sangat berhati-hati dengan alat-alat
musik, akan tetapi akhirnya Gereja pelan-pelan menerima penggunaan alat-alat
musik itu dalam liturgi, sejauh alat musik tersebut mampu mendukung liturgi.
Dalam sejarah kita telah
melihat dan mengenal musik klasik yang begitu bagus dan indah. Musik-musik ini
banyak tercipta dalam konteks ibadat. Nyatanya, meski beberapa judul lagu
dicipta khusus untuk ibadat, kita pun suka mendengarkan lagu-lagu itu juga
dalam kesempastan yang non-liturgis.Dari sejarah musik liturgi Gereja kita
mengetahui bahwa setiap zaman mempunyai corak musiknya sendiri. Ada musik zaman
Barok (abad ke-17, Renaisance (abad ke-15-17), Klasik (abad ke-18), Romantik
(abad ke-19), kemudian musik Impresionisme (akhir abad ke-19) tetapi pudar
setelah perang dunia I, dan aneka musik modern abad ke-20 baik yang profan
(seperti jazz, tango, pop, rock, dsb) maupun yang religius.
Kini, musik sungguh
dipandang sebagai bagian dari liturgi Gereja. Oleh Paus Pius X tahun 1903,
musik dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dari liturgi Gereja.
Konsili Vatikan II, menegaskan kembali secara resmi hubungan tak terpisahkan
antara musik dan liturgi Gereja.[10]
Oleh: Lastiko Runtuwene
Disusun sebagai bahan pembinaan/pelatihan untuk para
calon petugas pastoral di:
- Sekolah
Tinggi Pastoral Don Bosco Tomohon,
- Novisiat dan Postulat Suster JMJ Tomohon
[1] Doksologi berasal dari bahasa Yunani
yang berarti ucapan pemuliaan. Doksologi dalam liturgi adalah pernyataan
pujian kepada Allah Tritunggal yang menghakiri Doa Syukur Agung, Madah pujian
atau Gloria disebut doksologi besar. Ayat ‘kemuliasan kepada Bapa dan Putera
dan Roh Kudus…” yang ditambahkan pada Mazmur dan Kidung dalam Ibadat Harian
disebut doksologi kecil.
[2] Lih., E. Martasudjita, Pr., Op.Cit., hal., 136.
[3] Ibid., hal.136
[4] Contoh lagu sekwensi dalam liturgi gereja
Katolik adalah Madah Paska (sequentia “Victimae paschali laudes”).
Sekwensi berarti lanjutan, yang dimaksudkan ialah lanjutan dari
Alleluya/Bait Pengantar Injil sebagai lagu fakultatif. Seperti yang diketahui,
terdapat empat sekwensi (untuk Paska, Pentakosta – MB no. 451), Tubuh dan darah Kristus (MB no. 406), Maria berduka
cita, semuanya bersifat fakultatif ; lih.
Warta Musik Liturgi no. 190, 1 Maret 1993, PML- Yogyakarta, hal.,
75-76.
[5] Lagu polifon adalah lagu dengan unsur
melodinya tidak terbatas pada satu suara. Setiap suara berdiri sendiri/memiliki
melodi sendiri. Polifon dikenal dengan nama lain kanon. Lawannya adalah homofon (suara
dasar/melodi pada salah satu suara, jadi
suara yang lain tergantung pada suara
dasar tersebut. Susunan nada antara suara yang satu dengan yang lain tegak
vertikal )
[6] Gotik adalah gaya arsitektur, seni
pahat dan seni lukis di Eropa pada abad pertengahan (k.l. 1150-1500). Ciri
khasnya adalah lengkungan lancip, yang memungkinkan gedung-gedung yang tinggi
dibangun. Gereja gotik terdiri atas 3
atau 5 ruang yang disahkan jejeran tiang. Bagian-bagian yang melintang
(transep) dan ruang altar yang tertutup (koor). Di sekeliling ruang altar
biasanya terdapat beberapa kapel, dan kaca jendela dihiasi gambar berwarna-warni orang-orang kudus. Bangunan
bergaya gotik yang termasyur adalah katedral di Chartres Perancis dan Koln
Jerman. Gaya gotik dihupkan kembali (neo-gotik) dan banyak gedung gereja
dibangun dalam gaya itu mis. Katedral Jakarta (1901); lih. A. Heuken SJ.,
Ensikloperi Gereja jilid I, Cipta
Loka Caraka, Jakarta, 1991, hal., 398-399.
[7] Barok adalah gaya seni yang timbul
pada abad ke-17 di Roma dan kemudian
menyebar ke seluruh Eropa. Seni Barok menyukai bentuk-bentuk gereja
dramatis yang tak terbatas dan
bertentangan satu sama lain. Gedung, patung dan plastik tampak meluap-luap dan
kaya akan detail-detail yang merangsang perasaan dan imajinasi. Gaya ini sangat
disukai seniman Katolik abad ke-17 untuk mengekspresikan iman yang menguat
setelah Kontra-Reformasi berhasil memperbaharui kehidupan Gereja. Beberapa
paus, banyak uskup, abas dan terutama Serikat Jesus mendukung gaya seni ini.
[8] Sekularirasi adalah proses pembedaan antara bidang-bidang duniawi
dan bidang keagamaan atau rohani. (dari bahasa Latin: saeculum =setiap
seratus tahun, sekular-sekular = duniawi)
[9] Bdk. E. Martasudjita ,Pr., J. Kristanto, Pr., Op.Cit., hal., 13-15.
[10] Ibid., hal., 15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar