Sebagaimana dijelaskan
di atas, efek dari sakramen-sakramen timbul ex opere operato (oleh
kenyataan bahwa sakramen-sakramen tersebut dilayankan). Karena Kristus sendiri
yang bekerja melalui sakramen-sakramen, maka efektivitas sakramen-sakramen
tidak tergantung pada kelayakan si pelayan.
Meskipun demikian,
sebuah pelayanan sakramen yang dapat dipersepsi akan invalid, jika orang yang
bertindak selaku pelayan tidak memiliki kuasa yang diperlukan untuk itu,
misalnya jika seorang diakon merayakan Misa. Sakramen-sakramen juga invalid jika
"materi" atau "formula"nya kurang sesuai dari pada yang
seharusnya. Materi adalah benda material yang dapat dipersepsi, seperti air
(bukannya anggur) dalam pembaptisan atau roti dari tepung gandum dan anggur
dari buah anggur (bukannya kentang dan bir) untuk Ekaristi, atau tindakan yang
nampak. Formula adalah pernyataan verbal yang menyertai pemberian materi,
seperti (dalam Gereja Barat), "N., Aku membaptis engkau dalam nama Bapa,
dan Putera, dan Roh Kudus". Lebih jauh lagi, jika si pelayan positif
mengeluarkan beberapa aspek esensial dari sakramen yang dilayankannya, maka
sakramen tersebut invalid. Syarat terakhir berada di balik penilaian Tahta Suci
pada tahun 1896 yang menyangkal validitas imamat Anglikan.
Sebuah sakramen dapat
dilayankan secara valid, namun tidak sah, jika suatu syarat yang diharuskan
oleh hukum tidak dipenuhi. Kasus-kasus yang ada misalnya pelayanan sakramen
oleh seorang imam yang tengah dikenai hukuman ekskomunikasi atau suspensi, dan
pentahbisan uskup tanpa mandat dari Sri Paus.
Hukum kanonik merinci
halangan-halangan (impedimenta) untuk menerima sakramen imamat dan pernikahan.
Halangan-halangan sehubungan dengan sakramen imamat hanya menyangkut soal
keabsahannya, tetapi "suatu halangan yang bersifat membatalkan dapat
menjadikan seseorang tidak berkapasitas untuk secara valid untuk mengikat suatu
janji pernikahan" (kanon 1073).
Dalam Gereja Latin,
hanya Tahta Suci yang secara otentik dapat mengeluarkan pernyataan bilamana
hukum ilahi melarang atau membatalkan suatu pernikahan, dan hanya Tahta Suci yang berwenang untuk
menetapkan bagi orang-orang yang sudah dibaptis halangan-halangan pernikahan
(kanon 1075). Adapun masing-masing Gereja Katolik Ritus
Timur, setelah memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk berkonsultasi dengan
(namun tidak harus memperoleh persetujuan dari) Tahta Suci, dapat menetapkan
halangan-halangan (Hukum Kanonik Gereja-Gereja Timur, kanon 792).
Jika suatu halangan
timbulnya hanya karena persoalan hukum Gerejawi belaka, dan bukannya menyangkut
hukum ilahi, maka Gereja dapat memberikan
dispensasi dari halangan tersebut.
Syarat-syarat bagi
validitas pernikahan seperti cukup umur (kanon 1095) serta bebas dari paksaan
(kanon 1103), dan syarat-syarat bahwa, normalnya, mengikat janji pernikahan
dilakukan di hadapan pejabat Gereja lokal atau imam paroki atau diakon yang
mewakili mereka, dan di hadapan dua orang saksi (kanon 1108), tidaklah
digolongkan dalam Hukum Kanonik sebagai halangan, tetapi sama saja efeknya.
Ada tiga sakramen yang
tidak boleh diulangi: Pembaptisan, Penguatan dan Imamat: efeknya bersifat
permanen. Ajaran ini telah diekspresikan di Barat dengan citra-citra dari
karakter atau tanda, dan di Timur dengan sebuah meterai (KGK 698). Akan tetapi,
jika ada keraguan mengenai validitas dari pelayanan satu atau lebih
sakramen-sakramen tersebut, maka dapat digunakan suatu formula kondisional
pemberian sakramen misalnya: "Jika engkau belum dibaptis, aku membaptis
engkau …"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar