Kisah Perjalananku
Menuju Gereja Katolik
Dari Katolisitas:
Tulisan ini merupakan bagian kedua dari kesaksian iman Rachel. Kami berterima
kasih atas kesediaan Rachel untuk membagikan kisah pergumulan batinnya sampai
akhirnya memilih untuk menjadi seorang Katolik.Semoga kisah kesaksian iman ini
dapat juga menguatkan iman kita semua…..
“Ia membuat segala
sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka.
Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal
sampai akhir.” (Pengkhotbah 3 : 11)
Tak pernah terbayang
sebelumnya, kalau pada akhirnya aku akan memilih untuk menjadi seorang Katolik.
Ini merupakan
keputusan terbesar dalam hidupku setelah pernikahan.
Sekali mengatakan
“Ya”, berarti untuk selamanya!!
Setelah melalui
perjalanan yang panjang dengan liku-likunya, yang terkadang penuh duri dan
terasa amat menyakitkan, serta acap kali menemui persimpangan jalan hingga
membuatku cukup mengalami depresi, kini aku, dengan langkah pasti dan kepala
tegap terangkat, dapat mengarahkan hatiku untuk melangkah memasuki Gereja
Katolik.
Ya, Gereja Katolik!
Gereja Katolik yang
dahulunya sangat bertentangan dengan hatiku, dengan pikiranku, dengan seluruh
keberadaanku sebagai seorang Protestan.
Dulu, aku sangat
membenci doktrin-doktrin Katolik, khususnya ajaran mengenai ‘Maria’. Bagiku,
Maria adalah penghalang utama orang Katolik untuk mendekat lebih lagi kepada
Yesus.
Apapun yang orang
Katolik jelaskan, termasuk pacarku sendiri, tentang doktrin Maria, otakku tidak
bisa menerimanya, hatiku selalu memberontak dengan keras. Bagiku doktrin Maria
hanyalah buatan manusia, karangan Paus semata!
Salah satu penyebab
kebencianku terhadap Maria adalah juga karena kegemaranku membaca buku-buku
rohani yang berhubungan dengan alam roh.
Aku pernah membaca
sebuah buku yang ditulis oleh seorang mantan penyihir dari Afrika, bernama
“Mukendi”. Di situ dikatakan bahwa ketika Allah mengusir Lucifer dari Firdaus,
ia tidak hanya terlempar seorang diri saja, tetapi bersama
pengikut-pengikutnya, dan para pengikutnya itu tersebar ke berbagai tempat.
Ada yang terjatuh ke
dalam laut, dan menjadi penguasa lautan.
Kebetulan malaikat
penguasa laut ini bernama “Maria Marguella”, ia sering mengaku sebagai Maria
ibu Yesus. Dan menurut Mukendi, orang yang berdoa kepada Maria, secara tidak langsung
mereka sedang berdoa kepada malaikat penguasa lautan ini.
Ada juga malaikat
yang jatuh ke langit, dan menjadi penguasa langit, dibawah kakinya terdapat
tulisan: Rosa, yang berarti “naga”.
Dan orang yang
berdoa Rosario secara tidak langsung juga mereka sesungguhnya sedang berdoa
kepada malaikat penguasa langit tersebut.
Masih banyak hal
lainnya yang membuatku semakin membenci Maria, dan mengasihani orang-orang
Katolik.
Aku menelan seluruh
isi buku itu bulat-bulat, tanpa ada sedikit pun perlawanan dari dalam diriku.
Sekarang buku itu
sudah tidak ada lagi, bukan karena hilang, atau kubuang, tetapi, (sekarang aku
baru menyesal), karena buku tersebut sudah kuberikan kepada seseorang yang
tidak kukenal, yang sudah hampir menemui ajalnya karena sakit berat.
Aku pernah bertanya
kepada pacarku yang seorang Katolik:
“Kalau memang tujuan
dari setiap penampakan Maria itu adalah membawa orang untuk lebih dekat lagi
kepada Yesus, kenapa tidak Yesus sendiri saja yang langsung menampakan diriNya
kepada orang-orang, kenapa harus Maria? Apa mungkin Maria yang adalah manusia
biasa, sama seperti kita, bisa dengan mudahnya naik turun Surga hanya untuk
menampakkan dirinya?”
Sementara aku sedang
mengajukan pertanyaan itu, di dalam pikiranku sendiri tiba-tiba muncul gambaran
tentang penampakan Musa dan Elia, ketika Yesus dan ketiga muridNya naik ke
gunung yang tinggi.
Matius 17:3 Maka
nampak kepada mereka Musa dan Elia sedang berbicara dengan Dia.
Kemudian aku
mendengar pacarku itu menjawab:
“Mungkin saja, kalau
itu memang sesuai dengan kehendak Tuhan. Contohnya Musa dan Elia yang
menampakan diri kepada Yesus!”
Aku terdiam dan jadi
heran sendiri.
Bukan hanya karena
jawaban dari pacarku itu, tapi terutama tentang gambaran yang tadi tiba-tiba saja
muncul di dalam pikiranku, seolah-olah aku sudah diberitahu jawabannya terlebih
dahulu sebelum pacarku menjawab.
Kisah cintaku semasa
pacaran banyak dihiasi dengan pertengkaran seputar doktrin Katolik, terutama
doktrin Maria ini.
Aku juga pernah berkata
kepada pacarku kemudian, yang sekarang sudah menjadi suami tercintaku:
“Kenapa sih dalam
doa Rosario, Salam Maria didoakan sampai 10 kali, sementara doa Bapa kami cuma
satu kali saja?”
Tanpa menunggu
jawaban dari pacarku itu, aku kembali berkata dengan ketus: “Dasar Maria egois!
serakah! Maunya dia yang paling banyak didoakan!”
Saat itu pacarku
masih sabar dalam menghadapi perlawananku, yang kalau kupikir sekarang, sudah
amat keterlaluan.
Tapi,ada suatu waktu
dia sudah tidak dapat lagi menahan kemarahannya, karena mendengar penghinaanku
terhadap Bunda Maria.
Aku sudah lupa
bagaimana kejadiannya saat itu,tapi yang aku tidak dapat lupakan adalah
tanggapannya yang sangat keras:
“Yayang boleh
sepuasnya menghina Koko, tapi jangan sekali-kali Yayang menghina Mama Koko,
apalagi Mama yang sangat Koko hormati!”
Setelah berkata
seperti itu, dia pun pergi dengan penuh kemarahan, meninggalkan aku sendiri
yang pada saat itu masih juga dapat tersenyum, karena pikirku:
“Siapa juga yang
menghina mamanya, orang yang aku hina Maria, bukan mamanya!”
Tapi sekarang aku
sudah mengerti bahwa yang dimaksud pacarku waktu itu adalah Maria sebagai
mamanya, sebagai ibu rohaninya.
Saat tergantung di
kayu salib, Yesus menyerahkan ibuNya kepada murid terkasihNya, Yohanes, dengan
berkata kepada ibuNya: “Ibu, inilah anakmu!”, dan kepada murid terkasihNya: ”
Inilah ibumu!”, dan mulai saat itu Yohanes menerima Maria di dalam rumahnya.
(Yoh 19 : 26-27)
Karena kita juga
adalah murid terkasih Yesus, maka ibuNya pun menjadi ibu kita.
Bahkan dalam Ibrani
2 : 11-12, Yesus menyebut kita adalah saudara-saudaraNya.
Ibrani 2 : 11 Sebab
Ia yang menguduskan dan mereka yang dikuduskan, mereka semua berasal dari
Satu;itulah sebabnya Ia tidak malu menyebut mereka saudara,
Ibrani 2 : 12 Kata-Nya:
“Aku akan memberitakan nama-Mu kepada saudara-saudara-Ku, dan memuji-muji
Engkau di tengah-tengah jemaat,”
Meski bibirku
tersenyum mendengar kata-kata pacarku yang menyebut Maria sebagai mamanya, tapi
sesungguhnya hatiku porak poranda.
Aku langsung berlari
masuk ke dalam kamar dan menangis sejadi-jadinya.
Aku bertanya kepada
Tuhan:
“Mengapa Tuhan…,
mengapa harus aku yang mengalami hal seperti ini? Engkau tahu kalau aku ini
paling anti Katolik… Tak pernah sekalipun dalam doaku, aku memohon kepadaMu untuk
mengirimkan padaku seorang pacar Katolik…! Lalu mengapa Kau malah mengirimkan
padaku seseorang yang bahkan sangat kuat dalam iman Katoliknya? Siapakah itu
Maria? Tolong Tuhan, tunjukkan padaku siapakah itu Maria?”
Pada suatu hari, aku
melihat sebuah buku dari daftar buku di perpustakaan kantorku. Buku itu sangat
menarik minatku.
Aku sudah sangat
sering mendengar nama dan karya sungguh luar biasa yang dikerjakan tokoh utama
dalam buku itu, yaitu : Bunda Theresa, tapi baru kali ini aku berminat untuk membaca
seluruh kisah kehidupannya.
Aku sungguh terharu
dan kagum menyaksikan kasih yang dinyatakan oleh Bunda Theresa kepada
orang-orang kusta di Kalkuta, India.
Sekalipun dia tidak
pernah mengatakan tentang Yesus kepada orang-orang malang yang dilayaninya,
tetapi pada akhirnya banyak dari mereka yang percaya kepada Yesus, karena
melihat perbuatan nyata penuh kasih yang dilakukan Bunda Theresa.
Ini barulah
kesaksian yang hidup.
Kesaksian yang
sesungguhnya!
Aku merasa heran,
mengapa orang Katolik bisa melakukan hal luar biasa seperti ini?
Mengapa mereka
memiliki kasih yang sedemikian nyatanya, hingga seolah-olah Yesus sendiri yang
berkerja dalam mereka, dan nampak dalam setiap laku mereka?
Aku juga melihat bahwa
Bunda Theresa memiliki hubungan yang akrab dengan Yesus. Bagaimana ini bisa
terjadi…?
Bukankah seharusnya
Maria menjadi penghalang hubungan mereka dengan Yesus? Padahal Bunda Theresa
juga sering berdoa Rosario, berarti dia juga memiliki hubungan yang dekat
dengan Maria?
Lalu, apa sebenarnya
yang salah dalam buku ini? Setelah membaca habis buku itu, aku duduk termenung.
Aku mulai membayangkan perjalanan Bunda Theresa yang pastinya penuh perjuangan,
melayani orang-orang berpenyakitan dan menjadi sampah masyarakat.
Bukan hanya itu
saja, perjuangannya lebih terasa berat lagi, karena dia melayani bukan di
negaranya sendiri, tetapi di negara orang.
Oleh karena kasihnya
kepada Yesus, yang dinyatakan kepada mereka yang malang, Bunda Theresa mampu
melewati semuanya itu dengan penuh kesabaran dan ketekunan.
Aku jadi teringat
dengan perkataan Yakobus dalam suratnya:
Yakobus 2, 2:14
Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai
iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan
dia?
2:15 Jika seorang
saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan
sehari-hari,
2:16 dan seorang
dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah
sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi
tubuhnya, apakah gunanya itu?
2:17 Demikian juga
halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada
hakekatnya adalah mati.
2:18 Tetapi mungkin
ada orang berkata: “Padamu ada iman dan padaku ada perbuatan”, aku akan
menjawab dia: “Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan
menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku.”
2:19 Engkau percaya,
bahwa hanya ada satu Allah saja? Itu baik! Tetapi setan-setan pun juga percaya
akan hal itu dan mereka gemetar.
2:20 Hai manusia
yang bebal, maukah engkau mengakui sekarang, bahwa iman tanpa perbuatan adalah
iman yang kosong?
2:21 Bukankah
Abraham, bapa kita, dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya, ketika ia mempersembahkan
Ishak, anaknya, di atas mezbah?
2:22 Kamu lihat,
bahwa iman bekerjasama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan
itu iman menjadi sempurna.
2:23 Dengan jalan
demikian genaplah nas yang mengatakan: “Lalu percayalah Abraham kepada Allah,
maka Allah memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.” Karena itu
Abraham disebut: “Sahabat Allah.”
2:24 Jadi kamu
lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya dan bukan hanya
karena iman.
Jadi, apalah gunanya
kotbah yang berkobar-kobar, jika tidak disertai dengan perbuatan nyata penuh
kasih? Setelah hari itu, aku makin penasaran dengan kisah hidup orang-orang
Katolik. Aku mulai melirik website yang berbau Katolik di internet, dan aku
menemukan kisah para Santa/Santo, orang-orang yang dianggap kudus oleh Gereja
Katolik, karena teladan hidupnya yang luar biasa, atau karyanya yang telah
membawa suatu kesaksian dalam pertumbuhan iman Katolik.
Banyak daftar
nama-nama Santa/Santo di sana. Tetapi aku menemukan seorang Santa yang membuat
mataku semakin terbuka lebar dan membuat keherananku semakin menjadi-jadi.
Tak pernah sekalipun
kusangka sebelumnya akan menemukan yang seperti ini di dalam sejarah Gereja
Katolik. Bagiku orang-orang Katolik hanyalah boneka-boneka hidup yang datang
dan pulang Gereja bukan karena kerinduan untuk mencari Tuhan, tapi hanya
sebatas kewajiban.
Mereka pulang tak
ada bedanya dengan ketika mereka datang.
Aku berpikir mereka
hanya patuh pada peraturan yang dibuat Paus saja.
Jarang sekali aku
menemukan teman-temanku Katolik yang mengerti Alkitab. Bahkan, yang lebih
parahnya lagi, ada juga yang bingung ketika mencari letak dari kitab tertentu
dalam Alkitab! Tapi di sini, dalam buku harian Santa ini, aku menemukan sesuatu
yang sangat berbeda.
Sungguh kebalikan
180 derajat dari apa yang kupikirkan mengenai orang Katolik. Seseorang yang
begitu akrab dengan Yesus, sampai seolah-olah Yesus benar-benar nampak di dalam
kehidupan sehari-hari Santa ini.
Ia melihat dan
berbicara kepada Yesus seperti ia sedang melihat dan berbicara dengan
sahabatnya sendiri. Begitu nyata dan alami.
Santa ini bernama
St. Faustina Kowalska, dan dia mendapat gelar sebagai: RASUL KERAHIMAN ILAHI.
Helena Kowalska
dilahirkan di Glogowiec, Polandia pada tanggal 25 Agustus 1905 sebagai anak
ketiga dari sepuluh putera-puteri pasangan suami isteri Katolik yang saleh
Stanislaw Kowalski dan Marianna Babel.
Ayahnya seorang
petani merangkap tukang kayu. Keluarga Kowalski, sama seperti penduduk
Glogowiec lainnya, hidup miskin dan menderita dalam penjajahan Polandia oleh
Rusia. Helena hanya sempat bersekolah hingga kelas 3 SD saja. Ia seorang anak
yang cerdas dan rajin, juga rendah hati dan lemah lembut hingga disukai orang
banyak. Sementara menggembalakan sapi,Helena biasa membaca buku; buku
kegemarannya adalah riwayat hidup para santa dan santo. Seringkali ia
mengumpulkan teman-teman sebayanya dan menjadi `katekis’ bagi mereka dengan
menceritakan kisah santa dan santo yang dikenalnya. Helena kecil juga suka
berdoa. Kerapkali ia bangun tengah malam dan berdoa seorang diri hingga lama
sekali.Apabila ibunya menegur, ia akan menjawab, “Malaikat pelindung yang
membangunkanku untuk berdoa.”
Ketika usianya 16
tahun, Helena mulai bekerja sebagai pembantu rumah tangga agar dapat
meringankan beban ekonomi keluarga.
Tetapi, setahun
kemudian ia pulang ke rumah untuk minta ijin masuk biara. Mendengar keinginan
Helena, ayahnya menanggapi dengan tegas, “Papa tidak punya uang untuk
membelikan pakaian dan barang-barang lain yang kau perlukan di biara. Selain
itu, Papa masih menanggung hutang!”
Puterinya mendesak,
“Papa, aku tidak perlu uang. Tuhan Yesus sendiri yang akan mengusahakan aku
masuk biara.”
Namun, orangtuanya
tetap tidak memberikan persetujuan mereka. Patuh pada kehendak orangtua, Helena
bekerja kembali sebagai pembantu.
Ia hidup penuh
penyangkalan diri dan matiraga, hingga suatu hari pada bulan Juli 1924 terjadi
suatu peristiwa yang menggoncang jiwanya.
“Suatu ketika aku
berada di sebuah pesta dansa dengan salah seorang saudariku. Sementara semua
orang berpesta-pora, jiwaku tersiksa begitu hebat. Ketika aku mulai berdansa,
sekonyong-konyong aku melihat Yesus di sampingku; Yesus menderita sengsara,
nyaris telanjang, sekujur tubuh-Nya penuh luka-luka; Ia berkata kepadaku:
“Berapa lama lagi Aku akan tahan denganmu dan berapa lama lagi engkau akan
mengabaikan-Ku”
Saat itu
hingar-bingar musik berhenti, orang-orang di sekelilingku lenyap dari
penglihatan; hanya ada Yesus dan aku di sana.
Aku mengambil tempat
duduk di samping saudariku terkasih, berpura-pura sakit kepala guna menutupi
apa yang terjadi dalam jiwaku. Beberapa saat kemudian aku menyelinap pergi,
meninggalkan saudari dan semua teman-temanku, melangkahkan kaki menuju Katedral
St. Stanislaus Kostka. Lampu-lampu sudah mulai dinyalakan; hanya sedikit orang
saja ada dalam katedral. Tanpa mempedulikan sekeliling, aku rebah (=
prostratio) di hadapan Sakramen Mahakudus dan memohon dengan sangat kepada
Tuhan agar berbaik hati membuatku mengerti apa yang harus aku lakukan
selanjutnya. Lalu aku mendengar kata-kata ini: “Segeralah pergi ke Warsawa,
engkau akan masuk suatu biara di sana.” Aku bangkit berdiri, pulang ke rumah,
membereskan hal-hal yang perlu diselesaikan. Sebisaku, aku menceritakan kepada
saudariku apa yang telah terjadi dalam jiwaku. Aku memintanya untuk
menyampaikan selamat tinggal kepada orangtua kami, dan lalu, dengan baju yang
melekat di tubuh, tanpa barang-barang lainnya, aku tiba di Warsawa,” demikian
tulis St Faustina di kemudian hari.
Setelah ditolak di
banyak biara, akhirnya Helena tiba di biara Kongregasi Suster-suster Santa
Perawan Maria Berbelas Kasih.
Kongregasi ini
membaktikan diri pada pelayanan kepada para perempuan yang terlantar secara
moral. Sejak awal didirikannya oleh Teresa Rondeau, kongregasi mengaitkan
misinya dengan misteri Kerahiman Ilahi dan misteri Santa Perawan Maria Berbelas
Kasih.
“Ketika Moeder
Superior, yaitu Moeder Jenderal Michael yang sekarang, keluar untuk menemuiku,
setelah berbincang sejenak, ia menyuruhku untuk menemui Tuan rumah dan
menanyakan apakah Ia mau menerimaku. Seketika aku mengerti bahwa aku diminta
menanyakan hal ini kepada Tuhan Yesus. Dengan kegirangan aku menuju kapel dan
bertanya kepada Yesus: “Tuan rumah ini, apakah Engkau mau menerimaku? Salah
seorang suster menyuruhku untuk menanyakannya kepada-Mu.”
Segera aku mendengar
suara ini: “Aku menerimamu; engkau ada dalam Hati-Ku.”
Ketika aku kembali
dari kapel, Moeder Superior langsung bertanya, “Bagaimana, apakah sang Tuan
menerimamu?”
Aku menjawab, “Ya.”
“Jika Tuan telah
menerimamu, maka aku juga akan menerimamu.”
Begitulah bagaimana
aku diterima dalam biara.”
Namun demikian,
Helena masih harus tetap bekerja lebih dari setahun lamanya guna mengumpulkan
cukup uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pada tahap awal tinggal di
biara.
Akhirnya pada
tanggal 1 Agustus 1925, menjelang ulangtahunnya yang ke-20, Helena diterima
dalam Kongregasi Suster-suster Santa Perawan Maria Berbelas Kasih.
“Aku merasa sangat
bahagia, seakan-akan aku telah melangkahkan kaki ke dalam kehidupan Firdaus,”
kenang St Faustina.
Setelah tinggal di
biara, Helena terkejut melihat kehidupan para biarawati yang sibuk sekali
hingga kurang berdoa.
Karenanya, tiga
minggu kemudian Helena bermaksud meninggalkan biara dan pindah ke suatu biara
kontemplatif yang menyediakan lebih banyak waktu untuk berdoa. Helena yang
bingung dan bimbang rebah dalam doa di kamarnya. “Beberapa saat kemudian suatu
terang memenuhi bilikku, dan di atas tirai aku melihat wajah Yesus yang amat
menderita.Luka-luka menganga memenuhi WajahNya dan butir-butir besar airmata
jatuh menetes ke atas seprei tempat tidurku. Tak paham arti semua ini, aku
bertanya kepada Yesus, “Yesus, siapakah gerangan yang telah menyengsarakan-Mu
begitu rupa?”
Yesus berkata
kepadaku: “Engkaulah yang akan mengakibatkan sengsara ini pada-Ku jika engkau
meninggalkan biara.
Ke tempat inilah
engkau Ku-panggil dan bukan ke tempat lain; Aku telah menyediakan banyak rahmat
bagimu.”
Aku mohon
pengampunan pada Yesus dan segera mengubah keputusanku.”
Pada tanggal 30
April 1926, Helena menerima jubah biara dan nama baru, yaitu St Maria Faustina;
di belakang namanya, seijin kongregasi ia menambahkan “dari Sakramen
Mahakudus”. Dalam upacara penerimaan jubah, dua kali St Faustina tiba-tiba
lemas; pertama, ketika menerima jubah; kedua, ketika jubah dikenakan padanya.
Dalam Buku Catatan Harian, St Faustina menulis bahwa ia panik sekaligus tidak
berdaya karena pada saat itu ia melihat penderitaan yang harus ditanggungnya
sebagai seorang biarawati.
Dalam biara, tugas
yang dipercayakan kepadanya sungguh sederhana, yaitu di dapur, di kebun atau di
pintu sebagai penerima tamu.
Semuanya dijalankan
St Faustina dengan penuh kerendahan hati.
Pada tanggal 22
Februari 1931, St Faustina mulai menerima pesan Kerahiman Ilahi dari Kristus
yang harus disebarluaskannya ke seluruh dunia. Kristus memintanya untuk menjadi
rasul dan sekretaris Kerahiman Ilahi, menjadi teladan belas kasih kepada
sesama, menjadi alat-Nya untuk menegaskan kembali rencana belas kasih Allah
bagi dunia. Seluruh hidupnya, sesuai teladan Kristus, akan menjadi suatu kurban
hidup yang diperuntukkan bagi orang lain.
Menanggapi
permintaan Tuhan Yesus, St Faustina dengan rela mempersembahkan penderitaan
pribadinya dalam persatuan dengan-Nya sebagai silih atas dosa-dosa manusia;
dalam hidup sehari-hari ia akan menjadi pelaku belas kasih, pembawa sukacita
dan damai bagi sesama;
dan dengan menulis
mengenai Kerahiman Ilahi, ia mendorong yang lain untuk mengandalkan Yesus dan
dengan demikian mempersiapkan dunia bagi kedatangan-Nya kembali.
Meskipun sadar akan
ketidaklayakannya, serta ngeri akan pemikiran harus berusaha menuliskan
sesuatu, toh akhirnya, pada tahun 1934, ia mulai menulis buku catatan harian
dalam ketaatan pada pembimbing rohaninya, dan juga pada Tuhan Yesus sendiri.
Selama empat tahun ia mencatat wahyu-wahyu ilahi, pengalaman-pengalaman mistik,
juga pikiran-pikiran dari lubuk hatinya sendiri, pemahaman, serta doa-doanya.
Hasilnya adalah
suatu buku catatan harian setebal 600 halaman, yang dalam bahasa sederhana
mengulang serta menjelaskan kisah kasih Injil Allah bagi umatnya, dan di atas
segalanya, menekankan pentingnya kepercayaan pada tindak kasih-Nya dalam segala
segi kehidupan kita.
Buku itu menunjukkan
suatu contoh luar biasa bagaimana menanggapi belas kasih Allah dan
mewujudnyatakannya kepada sesama.
Di kemudian hari,
ketika tulisan-tulisan St Faustina diperiksa, para ilmuwan dan juga para teolog
terheran-heran bahwa seorang biarawati sederhana dengan pendidikan formal yang
amat minim dapat menulis begitu jelas serta terperinci; mereka memaklumkan
bahwa tulisan St Faustina sepenuhnya benar secara teologis, dan bahwa
tulisannya itu setara dengan karya-karya tulis para mistikus besar.
Devosinya yang
istimewa kepada Santa Perawan Maria Tak Bercela, kepada Sakramen Ekaristi dan
Sakramen Tobat memberi St Faustina kekuatan untuk menanggung segala
penderitaannya sebagai suatu persembahan kepada Tuhan atas nama Gereja dan
mereka yang memiliki kepentingan khusus, teristimewa para pendosa berat dan mereka
yang di ambang maut.
St Faustina Kowalska
menulis dan menderita diam-diam, hanya pembimbing rohani dan beberapa superior
saja yang mengetahui bahwa suatu yang istimewa tengah terjadi dalam hidupnya.
Setelah wafat St Faustina, bahkan teman-temannya yang terdekat terperanjat
mengetahui betapa besar penderitaan dan betapa dalam pengalaman-pengalaman
mistik yang dianugerahkan kepada saudari mereka ini, yang senantiasa penuh
sukacita dan bersahaja.
Pesan Kerahiman
Ilahi yang diterima St Faustina sekarang telah tersebar luas ke segenap penjuru
dunia; dan buku catatan hariannya, “Kerahiman Ilahi Dalam Jiwaku” menjadi buku
pegangan bagi Devosi Kerahiman Ilahi.
St Faustina sendiri
tak akan terkejut mengenai hal ini, sebab telah dikatakan kepadanya bahwa pesan
Kerahiman Ilahi akan tersebar luas melalui tulisan-tulisan tangannya demi
keselamatan jiwa-jiwa.
Dalam suatu
pernyataan nubuat yang ditulisnya, St Faustina memaklumkan: “Aku merasa yakin
bahwa misiku tidak akan berakhir sesudah kematianku, melainkan akan dimulai.
Wahai jiwa-jiwa yang bimbang, aku akan menyingkapkan bagi kalian selubung Surga
guna meyakinkan kalian akan kebajikan Allah” (Buku Catatan Harian, 281)
St Maria Faustina
Kowalska dari Sakramen Mahakudus, rasul Kerahiman Ilahi, wafat pada tanggal 5 Oktober
1938 di Krakow dalam usia 33 tahun karena penyakit TBC yang dideritanya.
Jenasahnya mula-mula dimakamkan di pekuburan biara, lalu dipindahkan ke sebuah
kapel yang dibangun khusus di biara.
Pada tahun 1967,
dengan dekrit Kardinal Karol Wojtyla, Uskup Agung Krakow, kapel tersebut
dijadikan Sanctuarium Reliqui Abdi Allah St Faustina Kowalska. Pada Pesta
Kerahiman Ilahi tanggal 18 April 1993, St Faustina dibeatifikasi oleh Paus
Yohanes Paulus II dan pada Pesta Kerahiman Ilahi tanggal 30 April 2000 dikanonisasi
oleh Paus yang sama.
Pesta St Faustina
dirayakan setiap tanggal 5 Oktober.
(Sumber : YESAYA)
Sejak saat itu, aku
sudah mengetahui nama apa yang kelak akan kupakai sebagai nama baptisku:
“Faustina”.
Aku merasakan hatiku
semakin terbuka terhadap Gereja Katolik, beserta berbagai rahasianya yang kian
menguak di depan mataku.
Sementara hatiku
kian menggelegak dalam kerinduan pencarian akan kebenaran yang tersembunyi
dalam Gereja Katolik, seperti sedang mencari sebuah harta karun yang terkubur
dalam gua-gua mengerikan, demikian hatiku menjelajah kian jauh menelusup dalam
gudang rahasia Gereja Katolik.
Namun, di sisi yang
lain dalam otakku masih juga tak dapat memahami tentang doktrin Maria, api
penyucian, dan persekutuan dengan para kudus!
Mengapa orang
Katolik harus berdoa kepada Maria, dan menjadikannya perantara kepada Yesus?
Mengapa tidak
langsung saja berbicara kepada Yesus, kenapa harus melalui jalan yang memutar?
Apa fungsi doa
Rosario yang diulang-ulang? Mengapa juga mereka sering berdoa pada Santa atau
Santo, orang-orang yang sudah mati?
Dan masih banyak
lagi pertanyaan-pertanyaan yang membuat otakku menjadi linglung!
Akhirnya, untuk
menumpahkan kepenatanku akibat memikirkan tentang hal-hal itu, aku mencoba
menuangkannya ke dalam bentuk tulisan, dan tulisanku itu kuberi judul
“Linglung”.
LINGLUNG
(Senin, 17 Des 2007)
Tuhan, apakah yang
Engkau inginkan supaya aku perbuat?
Apakah yang sedang
Engkau rancangkan bagi hidupku?
Mengapa Engkau
menarik aku ke dalam suasana hati yang tidak karuan seperti ini?
Seakan kakiku
berpijak pada dua buah gunung,
yang dipisahkan oleh
sebuah jurang yang terjal,
Yang siap kapan saja
untuk menerjunkan diriku ke dalamnya.
Hatiku sungguh
diliputi kebingungan
Diselimuti ketakutan
dan keragu-raguan,
Ke manakah aku harus
melangkah?
Ke gunung yang
manakah aku harus meletakan kedua kakiku?
Atau mungkinkah aku
harus bertahan pada kedua gunung itu?
Hingga kedua kakiku
menjadi lemas;
dan perlahan-lahan
jurang keputusasaan akan dengan sukarela menyambut tubuhku amblas ke dalam
pelukannya?
Tuhan,
Siapakah yang
perduli akan kesengsaraanku?
Siapakah yang
perduli akan sakit yang kurasakan
Akibat pertempuran
hebat yang berkecamuk di dalam jiwaku ini?
Haruskah aku
berjuang seorang diri?
Haruskah aku
menangis di balik punggung-Mu?
Atau haruskah aku
terus berdiri diam sambil menantikan orang datang menarik-narik tanganku,
Dan meyakinkan diriku
untuk mengikuti jejak yang mereka pikir benar?
Siapakah yang benar?
Apakah kebenaran
itu?
O Tuhan,
Mengapa hati dan
pikiranku menjadi kalut seperti ini?
Apakah aku sudah
menjadi gila karena bingung?
Kapankah gembalaku
datang?
Kapankah gembalaku
yang baik itu menolongku dan membawa aku pulang?
Pulang ke mana?
Ke gunung yang mana?
Kini kedua gunung
tampak begitu menarik di mataku.
Gunung yang satu
dipenuhi dengan aneka bunga berwarna-warni menebarkan keharuman yang sudah sangat
kukenal, yang merasuk sampai ke sumsum dan tulang-tulangku,menghadirkan
kehangatan dan kenyamanan.
Gunung yang telah
membesarkanku,memeliharaku, dan mengasihi aku hingga saat ini.
Gunung yang begitu
kukasihi, gunung yang begitu kukagumi dengan segala keindahannya.
Tapi di sisi yang
lain,
Aku melihat gunung
yang serupa namun tak sama,
Gunung yang tak
begitu kukenal,
Yang juga
menampilkan keindahan,
Bunga-bunga tumbuh
seirama
Menebarkan keharuman
di tengah-tengah keheningan yang menyejukan
Penuh kelembutan dan
kesederhanaan
Namun terasa begitu
asing bagiku,
Seakan menyimpan
sejuta rahasia yang sulit kumengerti.
Rahasia yang lambat
laun mulai menguak di depan mataku,
Menyodorkan
segenggam mutiara,
Mutiara yang sesaat
lalu tampak begitu buruk di mataku
Begitu mengerikan,
Kusam tanpa
berkilau.
Tapi..,
Mengapa kini…
Mengapa kini hatiku
seakan merasakan sesuatu yang lain?
Mengapa mataku kini
seolah-olah mulai melihat keindahan di balik mutiara yang buruk dan
mengerikan itu?
Menyingkapkan
kebenaran yang indah namun begitu terasa menyakitkan hatiku?
Adakah yang salah
dengan hatiku?
Ataukah gunung itu
yang salah?
Gunung yang mana?
Yang kiri atau yang
kanan?
Di manakah Engkau
berada,
hai gembala yang
baik?
Ke manakah Engkau
memanggil aku pulang?
Pulang ke mana?
Ke gunung yang mana?
Ah, Tuhan!
Tahukah Kau, kalau
aku linglung dibuatnya?
Linglung karena
ketakutanku,
Takut kalau-kalau
aku salah melangkah,
Takut kalau-kalau
aku menyakiti hati-Mu,
Mengecewakan
gembalaku yang sudah sangat kucintai, kukasihi, dan yang kuharapkan
Kedatangan-Nya untuk
menjemput aku masuk ke dalam kemuliaan-Nya yang abadi.
Datanglah, hai
gembala yang baik!
Datanglah sekarang
juga untuk menolong aku!
Karena aku
benar-benar linglung dibuatnya.
Jangan diam terlalu
lama!
Jangan Kau biarkan
aku linglung kelamaan!
Hanya Engkau saja
yang akan kuturuti.
Aku takkan mau turut
yang lain.
Hanya Kau!
Hanya Kau saja yang
sanggup membawa aku pulang ke rumah-Mu.
Ke rumah yang telah
Kau siapkan bagiku.
Bagi kita berdua!
Aku terus mencari
dan mencari, berusaha menemukan kebenaran yang telah, oh belum, hanya baru
separuh terlihat.
Keharuman yang baru
sedikit, sangat sedikit tercium olehku.
Keharuman serta
keindahan yang secara perlahan-lahan mengerogoti kengerianku terhadap sosok
Gereja Katolik.
Aku mulai membaca
lebih dalam lagi, dari sejarah Gereja Katolik, sejarah pohon natal, lagu Malam
Kudus, hingga sejarah Alkitab, semuanya itu dimulai oleh Katolik. Ya,
orang-orang Katolik! Gereja Katolik yang berani dengan jelas menyatakan bahwa
dirinya adalah Gereja yang didirikan oleh Tuhan Yesus sendiri melalui Rasul
Petrus, Paus pertama dalam sejarah Gereja Katolik!
Dan telah melewati
berabad-abad, baik dalam masa tenang maupun melewati masa-masa gelap, tetap
berdiri kokoh seperti batu karang di tengah terjangan badai dunia!
Matius 16:18 Dan Aku
pun berkata kepadamu:
Engkau adalah Petrus
dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak
akan menguasainya.
Pacarku juga mulai
mengirimiku banyak artikel tentang Bunda Maria.
Tidak seperti dulu,
kini hatiku makin melunak dalam memandang Maria sebagai seseorang yang sangat
dihormati oleh orang Katolik.
Hingga suatu hari, pacarku
memberikan kepadaku sebuah buku yang merupakan serentetan peluru senapan yang
berhasil menjebol dinding pertahananku.
Buku yang
mengisahkan kepindahan seorang pendeta Presbytarian, seorang anti Katolik yang
menganggap orang-orang Katolik adalah orang-orang malang yang perlu
diselamatkan, dan menyebut Gereja Katolik sebagai pelacur dari Babilonia.
Menjadi seorang
Katolik, seorang pengikut Paus yang luar biasa dalam pengetahuannya tentang
ajaran Katolik.
Dalam bukunya yang
berjudul : “Rome Sweet Home (Roma Rumahku)”, Scott dan isterinya, Kimberly,
menceritakan dengan detil, bagaimana mereka bisa sampai mengakui Gereja Katolik
sebagai rumah sejatinya.
Bagaimana, dengan
rinci dan penuh ketelitian, serta mengacu pada ayat-ayat dalam Alkitab, Scott
menjabarkan bahwa ajaran Katolik sangatlah Alkitabiah. Bagaimana Kimberly, baik
dalam segi perasaan dan pandangannya terhadap ajaran Katolik, khususnya Maria,
sama persis dengan apa yang telah dan sedang kurasakan serta pikirkan sekarang.
Dan bagaimana cara dia mengatasinya, sungguh membuatku semakin mengerti dan
menjadi semakin berkobar-kobar dalam kerinduanku meneguk habis setiap kebenaran
yang disodorkan Alkitab mengenai ajaran Gereja Katolik!
PANTAI KETEGUHAN
(Jumat 4 Januari
2008)
Desak rindu tak terbendung
Rasa hati kian tak
menentu
Kebencian
bergantikan kekaguman
ketakutan
bergantikan pengharapan.
Meruntuhkan dinding
keangkuhan,
mematahkan deret
rantai keragu-raguan
Mendamparkan jiwa di
pantai keteguhan,
melangkah dengan
iman kepada terang kebenaran yang sejati
Akan kuteguk air
sungai kehidupan
Hingga kutemukan
pulau kedamaian jiwa yang sesungguhnya.
PERAHU KEMENANGAN
(Sabtu 5 Januari
2008)
Kutapaki lembaran
baru dalam perjalanan iman
mengarungi samudra
kehidupan dalam perahu kemenangan
Cinta Tuhanku telah
menghanguskan aku
melumatku hingga ke
dasar sanubari
menerbangkanku ke
awan persemayaman cinta
yang bersinar
kemilau bagaikan emas murni
membalutku dalam
selimut kedamaian yang sebelumnya tak pernah sekalipun melintas di benakku.
Kini aku bagaikan
seekor burung kecil
yang terbang
mengelilingi angkasa raya kemuliaan.
Bersarang dalam
dekapan terang kasih Tuhan
sambil
menyenandungkan nyanyian sukacita
berkumpul kembali
dalam kehangatan kasih persaudaraan
Bersama segenap
laskar surgawi,
Memuji dan
mengagungkan sang Raja Kemuliaan:
‘Yesus Kristus’
Setiap Minggu, aku
dan pacarku pergi ke Gereja Katolik. Dulu aku sangat menganggap remeh setiap
tata cara liturginya.
Bagiku dulu,
nyanyian dan segala hal yang mencakup tata cara ibadah, termasuk kotbah Romo,
sangat membosankan!
Aku pernah mengejek
pacarku yang setiap masuk dan keluar pintu Gereja selalu membungkukan badan,
menghadap Altar Tuhan, kebetulan beberapa kali aku tepat berada di depannya,
jadi aku secara spontan berkata: “Duh…, nggak usah repot-repot nyembah aku!”
Dan dalam beberapa
kesempatan, aku sengaja melakukan apa yang dilarang pacarku untuk dilakukan di
dalam Gereja, terutama saat Misa berlangsung. Seperti misalnya, aku sengaja
minum dari botol minum yang kubawa ketika Romo sedang berkhotbah! Aku melakukan
itu, semata-mata hanya ingin menunjukan kepada pacarku kalau aku tidak terikat
pada peraturan, yang kupikir, hanya merupakan peraturan-peraturan yang dibuat
oleh manusia.
Tapi sekarang, aku
sudah mengerti, kalau sesungguhnya ketaatan itu sangat penting. Satu hal yang
tidak dapat iblis lakukan adalah ‘taat’!
Dan aku tidak mau
disamakan dengan iblis! Yesus saja taat kepada BapaNya sampai mati…, sampai
mati di kayu salib!
I Petrus 1:22 Karena
kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu
dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu
bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu.
Ketika hatiku mulai
mengerti, aku dapat melihat setiap detil dalam tata cara liturgi sangatlah
bermakna.
Seperti membungkuk,
bersujud, dan melagukan kata-kata, semuanya itu sungguh-sungguh memiliki arti
yang mendalam.
Mereka percaya bahwa
Yesus sungguh hadir dalam setiap perayaan Ekaristi kudus. Bahwa Hosti yang
berada di Altar adalah Yesus sendiri, bukan sekedar simbol dari tubuh dan darah
Kristus,tapi sungguh-sungguh Yesus sendiri! Oleh sebab itulah mengapa mereka sangat
menghormati Altar kudus, karena di situlah Sang Raja kemuliaan bersemayam!
Dan puncak dalam
setiap perayaan Ekaristi adalah “Komuni”, di mana kita sungguh-sungguh
dipersatukan kembali dengan Kristus.
Sungguh misteri yang
luar biasa, yang baru kutemukan dan baru kusadari keindahannya!
Demikianlah, sedikit
demi sedikit, satu demi satu rahasia itu mulai tersingkap di hadapanku.
Begitu manis dan
menggairahkan, seolah menggugah kerinduanku untuk melahap lebih dan lebih lagi.
Aku terus melangkah
dan melangkah, menapaki lembaran baru dalam perjalanan imanku, menyambut setiap
kebenaran baru dengan penuh kekaguman. Namun, setiap kali berhadapan dengan
doktrin Maria, aku kembali terbentur. Seakan-akan kakiku tertanam amat dalam,
hingga sulit melangkah pada yang satu ini!
Tiap malam aku
selalu bertanya kepada Tuhan:
“Siapakah itu Maria
yang dihormati sedimikian rupa oleh orang Katolik?…
Tolong Tuhan,
tunjukanlah padaku, siapakah itu Maria, dan apa yang sepatutnya harus aku
perbuat, agar aku tidak menyakiti hatiMu?”
Demikianlah aku
terus bergumul dalam doaku untuk tahap pencarianku pada yang satu ini.
Suatu hari aku
menemukan ayat dalam perjanjian lama yang menggambarkan tentang kebundaan Maria
lewat Batsyeba, ibu dari raja Salomo.
1 Raja-raja 2:19
Batsyeba masuk menghadap raja Salomo untuk membicarakan hal itu untuk Adonia,
lalu bangkitlah raja mendapatkannya serta tunduk menyembah kepadanya; kemudian
duduklah ia di atas takhtanya dan ia menyuruh meletakkan kursi untuk bunda
raja, lalu perempuan itu duduk di sebelah kanannya.
2:20 Berkatalah
perempuan itu: “Suatu permintaan kecil saja yang kusampaikan kepadamu,
janganlah tolak permintaanku.”
Jawab raja
kepadanya: “Mintalah, ya Ibu, sebab aku tidak akan menolak permintaanmu.”
Di sini bunda ratu
bertindak sebagai perantara permohonan Adonia kepada raja, dan sebagai seorang
anak kepada ibunya, raja sangat menghormatinya, sehingga raja berkata :
“Mintalah, ya Ibu, sebab aku tidak akan menolak permintaanmu.”
Tapi apa yang
terjadi pada ayat-ayat sesudahnya, bahwa keputusan terakhir tetaplah berada di
tangan raja.
Aku mulai mengerti,
bahwa beginilah orang-orang Katolik memandang Bunda Maria sebagai perantara doa
mereka kepada Yesus, sang Raja.
Seperti yang
dikatakan Scott dalam bukunya yang berjudul: “Hail, Holy Queen (Salam Ratu
Surgawi): Bahwa kita adalah satu keluarga besar dengan keluarga Kerajaan Allah.
***
“Bagaimanapun, Allah
sendiri adalah suatu keluarga yang abadi, sempurna. Paus Yohanes Paulus II
menyatakan hal ini dengan baik, ”Dalam misteri terdalam-Nya, Allah itu bukanlah
suatu kesendirian, tetapi suatu keluarga karena dalam diri-Nya la memiliki
kebapaan, keputraan, dan hakikat dari keluarga, yakni kasih.”
***
Karena Allah adalah
keluarga, yang terungkap dalam Tritunggal Mahakudus, maka Allah pun ingin
menarik kita, orang-orang percaya, untuk masuk menjadi anggota keluargaNya.
Sebagai keluarga
yang utuh, kita, baik yang masih berziarah di bumi, maupun yang di Sorga,
memiliki ikatan persaudaraan yang erat.
Kita dapat memohon
kepada mereka yang di Sorga untuk mendoakan kita, seperti layaknya kita meminta
orang-orang terdekat kita: ibu, ayah, saudara-saudara, atau teman-teman kita
untuk mendoakan kita.
Demikian jugalah
dengan Bunda Maria, Ibu kita dalam Yesus, dan saudara-saudara kita yang telah mendahului
kita menikmati janji Tuhan, yakni berkumpul kembali dalam keluarga Kerajaan
Allah, pastilah mereka dengan suka hati akan terus mendoakan kita, dan menjadi
saksi dari perlombaan yang sedang kita jalani sekarang.
Ibrani 12:1 Karena
kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita
menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba
dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.
Wahyu 8:4 Maka
naiklah asap kemenyan bersama-sama dengan doa orang-orang kudus itu dari tangan
malaikat itu ke hadapan Allah.
Dalam bukunya, Scott
menjabarkan secara terperinci tentang kebundaan Maria beserta dengan
gelar-gelarnya. Seperti biasa, dengan begitu cermat, ia menelitinya dari sisi
Alkitabnya juga.
Dimana betapa
eratnya hubungan antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru.
***
“Seluruh Alkitab
dapat dilihat sebagai kisah persiapan Allah untuk, dan penggenapan dari,
karya-Nya yang terbesar, yakni: pewahyuan diri definitif-Nya dalam Yesus
Kristus.
St. Agustinus
berkata bahwa Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama, dan Perjanjian
Lama terungkap dalam Perjanjian Baru.
Karena seluruh
sejarah adalah persiapan dunia untuk menyambut saat ketika Sabda menjadi
daging, saat ketika Allah menjadi anak manusia dalam rahim seorang perawan muda
dari Nazaret.”
***
Scott juga mengajak
pembaca untuk mempelajari tentang gambaran.
***
“Orang-orang Kristen
pertama mengikuti cara Tuhan dalam membaca Alkitab. Dalam Surat kepada Orang
Ibrani, kemah Perjanjian Lama dan ritualnya dilukiskan sebagai ”gambaran dan
bayangan dari apa yang ada di Surga” (Ibr 8:5),
dan sebagai
”bayangan dari keselamatan yang akan datang” (Ibr 10:1).
Demikian juga,
St.Petrus menulis bahwa Nuh dan keluarganya ” diselamatkan lewat air,” dan
bahwa ”ini melambangkan pembaptisan yang menyelamatkan Anda sekarang” (1 Ptr
3:20-21).
Perkataan Petrus
yang diterjemahkan dengan ”melambangkan” sebenarnya dari akar kata asli Yunani
yang dialihbahasakan menjadi tipe atau typify yang berarti ”menggambarkan.”
Dan St. Paulus,
dalam suratnya, melukiskan Adam sebagai ”gambaran” dari Yesus Kristus (Roma
5:14).
Jadi, apa itu
gambaran? Gambaran adalah orang, tempat, benda, atau kejadian dalam Perjanjian
Lama yang pada masa silam sudah melukiskan sesuatu yang lebih besar dalam
Perjanjian Baru.
Dari kata ”tipe”
kita mendapatkan kata ”tipologi”, yakni suatu telaah mengenai gambaran-gambaran
tentang Kristus dalam Perjanjian Lama (lihat Katekismus Gereja Katolik, no.
128-130).
Di samping itu,
perlu aku tekankan bahwa gambaran bukanlah simbol fiktif. Gambaran adalah
detail historis yang sungguh ada, sungguh terjadi.
Misalnya, ketika
menafsirkan kisah anak-anak Abraham sebagai ”suatu gambaran” (Gal 4:24), St.
Paulus tidak bermaksud bahwa cerita itu tidak pernah sungguh terjadi;
sebaliknya, ia menegaskan peristiwa itu sebagai sejarah, bahkan sejarah yang
mendapat tempat dalam rencana Allah, sejarah yang maknanya menjadi jelas,baru
sesudah penggenapannya pada zaman akhir.
Tipologi mengungkap
tidak hanya pribadi Kristus; ia juga menyatakan kepada kita tentang Surga,
Gereja, rasul, Ekaristi, tempat-tempat kelahiran dan kematian Yesus, dan
pribadi ibu Yesus.
Dari orang-orang
Kristen pertama kita mempelajari bahwa kenisah Yerusalem merupakan bayangan
dari kediaman surgawi para kudus dalam kemuliaan (2 Kor 5:1-2; Why 21:9-22);
bahwa Israel menggambarkan Gereja (Gal 6:16); bahwa kedua belas bapa bangsa
dalam Perjanjian Lama merupakan gambaran dari kedua belas rasul dalam
Perjanjian Baru (Luk 22:30);
dan bahwa tabut
perjanjian adalah gambaran dari Santa Perawan Maria (Why 11:19; 12:1-6.13-17).
Di samping
gambaran-gambaran yang secara eksplisit disebut dalam Perjanjian Baru, ada
lebih banyak lagi gambaran yang tersirat secara implisit tetapi sungguh nyata.
Misalnya, peran St.
Yusuf dalam kehidupan duniawi Yesus jelas mengikuti peran Bapa Yusuf dalam
kehidupan duniawi Israel.
Keduanya menyandang
nama yang sama; keduanya dilukiskan sebagai orang ”benar” atau ”tulus”,
keduanya menerima pewahyuan lewat mimpi;
keduanya dibuang ke
Mesir; dan keduanya tampil dalam panggung sejarah untuk menyiapkan jalan bagi
peristiwa yang lebih besar – dalam hal Bapa bangsa Yusuf: keluaran yang
dipimpin oleh Musa, Sang Pembebas; dalam hal St. Yusuf: penebusan yang
diwujudkan oleh Yesus, Sang Penebus.
Gambaran-gambaran
tentang Maria pun melimpah dalam Perjanjian Lama. Kita temukan Maria
digambarkan dalam diri Hawa, ibu dari semua yang hidup; dalam diri Sara, istri
Abraham, yang mengandung anaknya secara ajaib; dalam sosok bunda ratu dalam
kerajaan Israel, yang menjadi penghubung antara rakyat dan sang raja; dalam
banyak tempat, dan dalam banyak cara lain (misalnya, Hana dan Ester).
Gambaran yang paling
eksplisit dalam Perjanjian Baru, tabut perjanjian, akan kubahas dengan lebih
rinci dalam bab yang bersangkutan.
Di sini aku hanya
akan menegaskan bahwa, sebagaimana tabut dibuat untuk mengemban Perjanjian
Lama, demikian Perawan Maria diciptakan untuk mengemban Perjanjian Baru.”
***
Awalnya, aku membaca
buku ini secara cepat, hanya sekilas saja, sehingga membuatku makin pusing
kepala. Benar-benar misteri yang teramat dalam dan sulit dipahami. Perlu
kecermatan serta ketelitian, dan, yang lebih penting lagi, tuntunan Roh Kudus
dalam membacanya.
Tapi, setelah
membaca habis buku ini, walaupun masih kurang mengerti, hatiku mulai terasa
rindu untuk berdamai dengan Bunda Maria, yang selama ini sangat “kubenci”.
Aku memberanikan
diri untuk mengambil Rosario dan mendoakannya.
Sebelumnya aku berkata
kepada Tuhan :
“Tuhan, hari ini aku
mau berdoa Rosario…, maafkan aku, Tuhan, apabila dengan berdoa Rosario seperti
ini aku telah melukai hatiMu!”
Ternyata keputusanku
untuk berdamai dengan Bunda Maria ini, merupakan titik balik keterbukaanku terhadap
seluruh ajaran Katolik.
Mulai saat itu,
hatiku terus dipenuhi dengan perasaan rindu yang kian mendalam untuk bertemu
Tuhan dalam Ekaristi kudus.
Karenanya, setiap
pulang kantor (yang waktu itu kebetulan sedang puasa umat Muslim, sehingga jam
kantorku dimajukan hanya sampai jam 4 sore), pacarku mengajak aku untuk
mengikuti Misa harian di Katedral yang dimulai pada jam 6 sore.
Sepanjang Misa,
hatiku sungguh diliputi rasa syukur dan cinta yang mendalam kepada Yesus, yang
kini, kutahu, bahwa Dia, Yesus, ada bersama-sama kami dalam Ekaristi kudus, dan
kurasakan sedang memperhatikan aku, dombaNya yang kini telah kembali pulang.
Oh Yesus Kristus
Tuhanku, Kakak Sulungku, Allah dan Penyelamat jiwaku, Penasihat Ajaib, Bapa
yang kekal, Raja Damai, aku sungguh mencintaiMu dengan segenap hatiku, dengan
seluruh keberadaanku.
Aku sungguh
menikmati kebersamaan kita dalam Ekaristi kudus.
KehadiranMu yang
mempersatukan diriku dengan DiriMu, hatiku dengan HatiMu, telah meruntuhkan
dinding-dinding keangkuhan dalam hatiku dan telah menenggelamkan diriku
seutuhnya ke dalam kasihMu yang menyelamatkan!
Waktu terus bergulir
dengan cepatnya, hatiku pun sudah merasa semakin rileks jika sedang berdoa
Rosario, tidak seperti dulu yang selalu tegang jika mendengar, apalagi menyebut
kata ‘Maria’ dalam doa.
Aku mulai senang
membaca-baca segala sesuatu tentang Katolik.
Selain Rosario, aku
juga senang mendaraskan doa Koronka, mempelajari Novena kepada Hati Kudus
Yesus, Novena kepada Roh Kudus, dan Novena kepada Sakramen Mahakudus, sehingga
koleksi Rosarioku pun menjadi banyak.
Demikianlah,
keterbukaan hatiku terus melebar seirama dengan pengetahuanku yang semakin
bertambah mengenai ajaran Katolik.
Tetapi, sementara
hatiku sudah dapat menerima dan rindu untuk benar-benar terjun ke dalamnya,
benar-benar menjadi keluarga Katolik yang sah dengan mengikuti Katekumen,
otakku masih juga menahan hatiku dengan berkata: “Belum waktunya!”.
Sampai tiba saatnya
aku dan pacarku dipersatukan dalam Pemberkatan nikah di Gereja Katolik, dan
anak kami lahir serta dibaptis dengan nama baptis ‘Gabriella’, aku belum juga
mengikuti Katekumen.
Mengenai pembaptisan
bayi, awalnya aku pun kurang setuju, karena yang kutahu dari pengajaran
Gerejaku dulu, bahwa pembaptisan itu hanya diberikan kepada orang-orang yang
sudah dapat mengerti dan menerima Kristus secara pribadi.
Sementara bayi atau
kanak-kanak dibawah 12 tahun, masih bergantung pada iman kedua orang tuanya.
Jadi kami hanya melakukan penyerahan anak, seperti yang dilakukan Maria ketika
menyerahkan bayi Yesus kepada Imam Eli untuk didoakan.
Meski demikian, aku
tetap memberikan anakku untuk dibaptis secara Katolik. Tetapi ketika Romo
mengucurkan air, dan kemudian ia pun mengolesi minyak di dahi anakku, aku
merasa hatiku pun dialiri sukacita yang berlimpah-limpah. Sejak saat itu aku
percaya bahwa anakku sungguh-sungguh sudah menjadi milik Tuhan seutuhnya.
Air dan minyak yang
diolesi merupakan penanda bahwa anakku sudah tercatat sebagai anggota kerajaan
Allah. Semacam KTP, tetapi ini tandanya bukan dalam bentuk kartu, melainkan cap
yang menempel di dahi anakku dan tidak ada masa expired.
Aku sering
membayangkan anakku yang sedang berkumpul dengan teman-temannya. Namun, ada
perbedaan yang mencolok di antara mereka: di dahi anakku terpancar sinar yang
tidak dimiliki anak-anak lain!
Aku pernah berkata
kepada Tuhan: “Tuhan, jikalau memang ini adalah kehendakMu agar aku masuk
menjadi keluarga Katolik, kumohon, tunjukanlah hal ini juga kepada orang tuaku,
biarlah orang tuaku pun menyutujui keputusanku untuk mengikuti katekumen!”
Ketika aku dan papi
sedang berada di kamar hotel di Semarang, sementara mami sedang berada di kamar
mandi, aku memberanikan diri untuk meminta ijin dibaptis secara Katolik.
“Pap, aku mau
dibaptis Katolik ya?”
Aku benar-benar
tegang saat mengatakan hal itu,
terlebih saat
menanti tanggapannya.
Aku sudah berpikir
berulang-ulang sebelum meluncurkan tembakan, agar tidak salah sasaran: ngomong
dulu sama papi, masalah diterima atau ditolaknya keinginanku itu, yang penting
aku sudah bicara dengan yang empunya keputusan akhir.
Jadi, aku sudah
berencana, kalau papi bilang “Ya!”,maka aku baru akan bicara dengan mami. Tapi,
ternyata jawaban papi saat itu membuat nafasku yang cukup bergemuruh akibat
keteganganku, dapat kembali berjalan dengan normal dan terasa sangat ringan.
“Ya…, terserah kamu
saja… kamu kan sekarang sudah dewasa dan bisa memutuskan sendiri mana yang
menurut kamu baik. Memang sebaiknya suami isteri itu berjalan sama-sama…”
Kira-kira begitulah
jawaban papi. Dan selang beberapa bulan kemudian, ketika kami sedang makan
malam, aku kembali memberanikan diri untuk bicara kepada Mami.
“Mam, aku mau
dibaptis Katolik ya?”
Mami pun menjawab:
“hmm!”
Jawaban yang sangat
singkat, jelas dan padat!
Kini, dengan hati
ringan dan keyakinan penuh, aku pun dapat berkata kepada suamiku: “Aku siap
mengikuti katekumen!”
Bila kurenungkan
kembali pencarianku akan kebenaran ajaran Gereja Katolik, sungguh merupakan
perjalanan yang sangat panjang dan penuh misteri.
Ajaran Katolik
sungguh kaya raya dan luar biasa. Andai saja orang-orang Protestan mau sedikit
saja meluangkan waktu dan membuka hati mereka untuk menengok dan mempelajari
kedalaman ajaran Katolik yang telah diwariskan secara turun-temurun, sejak
zaman Yesus dan para Rasul, bahkan jauh sebelumnya lagi, maka mereka pun pasti
akan tercengang menemukan harta karun yang begitu berharga, yang tidak pernah
mereka pikirkan sebelumnya. Harta karun yang tersembunyi, dan tidak mungkin
terlihat jika mereka tidak mau tahu dan tidak mau berusaha menggalinya!
Tapi, sekarang aku
baru mengerti, bahwa tidak mudah bagi kami, orang Protestan untuk membuka hati
terhadap ajaran Katolik, demikian juga sebaliknya. Karena semua itu hanyalah
karena ‘Rahmat’.
Kalau bukan karena
Rahmat, mungkin sampai sekarang pun aku akan tetap bertahan pada pengertianku
sendiri bahwa “Ajaran Gerejakulah yang paling benar!”.
Nah, sampai di sini
dulu saja ya ceritaku untuk saat ini. Sekarang aku sedang mempersiapkan segala
sesuatunya untuk mengikuti kelas katekumen. Nanti, kalau aku sudah masuk dalam
kelas katekumen, aku akan bercerita lagi padamu. Ok???
Basilika Saint Peter
yang mengagumkan menggambarkan begitu terbukanya gereja bagi manusia yang
secara konsekuen membuktikan filosofi yang dianut bahwa Tuhan terbuka bagi
siapapun.
kisah yg menyentuh
hati, mengingatkan panggilan saya menjadi Katolik, sebuah perencanaan Allah
melalui sebuah proses yang awalnya bagi saya hanyalah bagian dari babak2
kehidupan yg hrs sy jalani, tapi kebelakangnya sy sadar.... ooo.. disinilah
awal Tuhan pelan2 mulai memanggil sy untuk masuk GerejaNya, Katolik.
3 komentar:
Dominus vobiscum..
Tidak ada ayat di alkitab yg menyatakan kalo Maria jadi perantara doa org percaya.
Tetapi hanya Tuhan Yesus yg menjadi perantara doa2 kita.
1 Tim 2:5, Rom 8:34, Ibr 7.24-25.
Yoh 14:6.
Bilang aja mengikut pacar pake banyak hal segala. Gak aku baca sampai habis. Intinya gini gak ada org protestan yg membenci Maria yg di dalam aklitab.. masa iya ada orang kristen benci maria.. hahaha aneh2 aja. Yg gak bokeh itu berdoa kepada Maria, karena Yesus memerintahkan berdialah dalam NamaKu maka AKU akan menjawabnya. Itu perintah Yesus. Gak ada peribtah berdia kpd maria di alkutab satupun. Wkwwwk
Posting Komentar