Sakramen rekonsiliasi adalah
yang pertama dari kedua sakramen penyembuhan, dan juga disebut Sakramen Pengakuan Dosa, Sakramen Tobat, dan
Sakramen Pengampunan[2]. Sakramen ini adalah
sakramen penyembuhan rohani dari seseorang yang telah dibaptis yang terjauhkan dari Allah karena telah
berbuat dosa. Sakramen ini memiliki empat unsur: penyesalan si peniten (si pengaku dosa) atas
dosanya (tanpa hal ini ritus rekonsiliasi akan sia-sia), pengakuan kepada
seorang imam (boleh saja secara spirutual akan bermanfaat bagi seseorang untuk
mengaku dosa kepada yang lain, akan tetapi hanya imam yang memiliki kuasa untuk
melayankan sakramen ini), absolusi (pengampunan) oleh
imam, dan penyilihan.
"Banyak dosa yang
merugikan sesama. Seseorang harus melakukan melakukan apa yang mungkin
dilakukannya guna memperbaiki kerusakan yang telah terjadi (misalnya, mengembalikan
barang yang telah dicuri, memulihkan nama baik seseorang yang telah difitnah,
memberi ganti rugi kepada pihak yang telah dirugikan). Keadilan yang sederhana
pun menuntut yang sama. Akan tetapi dosa juga merusak dan melemahkan si pendosa
sendiri, serta hubungannya dengan Allah dan sesama. Si pendosa yang bangkit
dari dosa tetap harus memulihkan sepenuhnya kesehatan rohaninya dengan
melakukan lagi sesuatu untuk memperbaiki kesalahannya: dia harus 'melakukan
silih bagi' atau 'memperbaiki kerusakan akibat' dosa-dosanya. Penyilihan ini
juga disebut 'penitensi'" (KGK 1459).
Pada awal abad-abad Kekristenan, unsur penyilihan ini sangat berat dan umumnya
mendahului absolusi, namun sekarang ini biasanya melibatkan suatu tugas
sederhana yang harus dilaksanakan oleh si peniten, untuk melakukan beberapa
perbaikan dan sebagai suatu sarana pengobatan untuk menghadapi pencobaan selanjutnya.
Imam yang bersangkutan
terikat oleh "meterai pengakuan dosa", yang tak boleh dirusak.
"Oleh karena itu, benar-benar salah bila seorang konfesor (pendengar
pengakuan) dengan cara apapun mengkhianati peniten, untuk alasan apapun, baik
dengan perkataan maupun dengan jalan lain" (kanon 983 dalam Hukum
Kanonik). Seorang konfesor yang secara langsung merusak meterai sakramental
tersebut otomatis dikenai ekskomunikasi (hukuman pengucilan)
yang hanya dapat dicabut oleh Tahta Suci (kanon 1388).
Pengurapan Orang Sakit
Pengurapan Orang Sakit
adalah sakramen penyembuhan yang kedua. Dalam sakramen ini seorang imam
mengurapi si sakit dengan minyak yang khusus diberkati untuk upacara ini. "Pengurapan orang sakit dapat
dilayankan bagi setiap umat beriman yang, karena telah mencapai penggunaan akal
budi, mulai berada dalam bahaya yang disebabkan sakit atau usia lanjut"
(kanon 1004; KGK 1514). Baru menderita sakit ataupun makin memburuknya kondisi
kesehatan membuat sakramen ini dapat diterima berkali-kali oleh seseorang.
Dalam tradisi
Gereja Barat, sakramen ini
diberikan hanya bagi orang-orang yang berada dalam sakratul maut, sehingga dikenal
pula sebagai "Pengurapan Terakhir", yang dilayankan sebagai salah
satu dari "Ritus-Ritus Terakhir". "Ritus-Ritus Terakhir"
yang lain adalah pengakuan dosa (jika orang yang sekarat tersebut secara fisik
tidak memungkinkan untuk mengakui dosanya, maka minimal
diberikan absolusi, yang tergantung pada ada atau tidaknya penyesalan si sakit atas
dosa-dosanya), dan Ekaristi, yang bilamana dilayankan kepada orang yang sekarat dikenal dengan sebutan
"Viaticum", sebuah kata
yang arti aslinya dalam bahasa Latin adalah "bekal
perjalanan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar