Sakramen
Baptis adalah sakramen pertama yang diterima oleh seseorang yang hendak menjadi
anggota Gereja Katolik. Sakramen Baptis adalah sakramen pertama dalam inisiasi
Katolik. Inisiasi adalah penerimaan seseorang masuk ke dalam atau menjadi
anggota kelompok tertentu. Pembaptisan membebaskan penerimanya dari dosa asal
serta semua dosa pribadi dan dari hukum akibat dosa-dosa tersebut, dan membuat
orang yang dibaptis itu mengambil bagian dalam kehidupan Tritunggal Allah
melalui “rahmat yang menguduskan” (rahmat pembenaran yang mempersatukan pribadi
yang bersangkutan dengan Kristus dan Gereja-Nya). Pembaptisan juga membuat
penerimanya mengambil bagian dalam imamat Kristus dan merupakan landasan
komunio (persekutuan) antar semua orang Kristen.
Sakramen
Inisiasi dalam Gereja Katolik:
1.
Sakramen Baptis
2. Sakramen Ekaristi
3. Sakramen Krisma
3
Tahap Inisiasi Katolik:
1.
Masa pra-katekumenat/simpatisan menjadi
Katekumen;
(Masa pemurnian motivasi calon, dituntut
pertobatan dan iman)
2. Masa katekumen menjadi calon baptis;
(Masa perkembangan iman calon baptis,
merupakan masa pengajaran dan pembinaan iman)
3. Masa calon baptis menjadi Baptisan Baru;
(Masa persiapan baptisan dan penerimaan
menjadi anggota Gereja Katolik)
Sesudah
dibaptis, para baptisan baru menerima atau mengalami masa pembinaaan iman
sebagai baptisan baru yang disebut mistagogi. Untuk dibaptis, seseorang harus
percaya dan beriman kepada Kristus. Percaya kepada Kristus berarti hidup sesuai
dengan ajaran Kristus dalam kehidupan sehari-hari. Melalui sakramen baptis
seseorang dilahirkan kembali dalam air dan roh. Lilin bernyala yang diterima
oleh baptisan baru dalam upacara sakramen baptis merupakan lambang baptisan
baru yang sudah diterangi oleh Kristus dan harus senantiasa berusaha hidup dalam
terang Kristus.
Materi
dan Forma Sakramen Baptis:
Materi:
Air
Forma:
Aku membaptis kamu, dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus
Buah
atau Rahmat Sakramen Baptis:
1.
Mendapat pengampunan dari segala dosa,
baik dosa asal maupun dosa yang dibuatnya.
2. Menjadi ciptaan baru dan dilantik menjadi anak Allah.
3. Memperoleh rahmat pengudusan yang membuatnya sanggup
semakin percaya kepada Allah, berharap kepada-Nya, dan mencintai-Nya.
Membuatnya hidup di bawah bimbingan dan dorongan Roh Kudus. Membuatnya sanggup
bertumbuh dalam kebaikan.
4. Digabungkan menjadi Anggota Gereja, sebagai bagian
dari Tubuh Mistik Kristus.
5. Dimateraikan secara kekal dalam sebuah materai rohani
yang tak terhapuskan, sebagai bagian dari Kristus.
Macam-macam
Baptisan:
1.
Baptisan Bayi: Baptisan yang diterima
saat masih bayi.
2. Baptisan Dewasa: Baptisan yang diterima saat sudah
dewasa.
3. Baptisan Rindu: Saat seseorang ingin dibaptis dan
ingin menjadi anggota Gereja Katolik, menjalani masa katekumenat namun sebelum
dibaptis, ia sudah meninggal. Maka ia sudah menerima Baptisan Rindu.
4. Baptisan Darah: Saat seseorang ingin dibaptis dan
ingin menjadi anggota Gereja Katolik, menjalani masa katekumenat namun sebelum
dibaptis, ia sudah meninggal karena membela imannya.
Menurut
buku liturgi, “proses inisiasi Kristen dilanjutkan dalam sakramen krisma. Dalam
sakramen krisma itu orang beriman menerima Roh Kudus yang pada hari Pentekosta
diutus Tuhan kepada para rasul. Berkat anugerah Roh Kudus ini, orang beriman
menjadi lebih serupa dengan Kristus dan dikuatkan untuk memberi kesaksian
tentang Kristus, demi pembangunan tubuh-Nya dalam iman dan cinta kasih”. Di
sini terletak kesulitan sakramen krisma: Roh Kudus itu sudah diterima
dalam pembaptisan, yang merupakan kelahiran kembali dari air dan Roh (lih.
Yoh 3:6; Kis 2:38).
Peristiwa Paska dan
Pentekosta
Perlu
diperhatikan bahwa dalam sakramen Krisma orang beriman “diperkaya dengan daya
kekuatan Roh Kudus yang istimewa” (LG 11). Keistimewaan itu ditunjuk dengan
pengkhususan Roh Kudus, yang pada hari Pentekosta diutus Tuhan kepada para
rasul. Pembaptisan dan Krisma dibedakan (dan berhubungan!) seperti Paska dan
Pentekosta. Pada hari Paska, Allah “membangkitkan Kristus dari antara orang
mati dan mendudukkan Dia di sebelah kanan-Nya di surga” (Ef 1:20). Kemudian
pada hari Pentekosta, Kristus “sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah
dan menerima Roh Kudus, maka mencurahkan-Nya” kepada para rasul (Kis 2:33)
dengan tujuan agar “kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, kamu akan menjadi
saksi-Ku di Yerusalem, di seluruh Yudea dan Samaria, dan sampai ke ujung bumi”
(Kis 1:8). Paska berarti Yesus dengan ke-manusiaan-Nya masuk ke dalam kemuliaan
ilahi. Pentekosta berarti Roh Kudus, “yang keluar dari Bapa” (Yoh 15:27),
diutus ke dalam dunia.
“Perbedaan
arah” ini juga kentara dalam kedua kisah mengenai kenaikan Yesus ke surga. Pada
akhir Injilnya Lukas menceriterakan bagaimana Yesus “memberkati mereka. Dan
ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke
surga” (Luk 24:50-51). Sebaliknya pada awal Kisah Para Rasul dikatakan: “Kamu
akan menjadi saksi-Ku. Sesudah Ia mengatakan demikian, terangkatlah Ia dan awan
menutup-Nya dari pandangan mereka” (Kis 1:9). Masih ditambahkan teguran dua
malaikat: “Hai orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit?” (Kis
1:11). Mereka diutus ke dunia, maka harus melihat ke depan, tidak ke atas.
Begitu
juga dengan Pembaptisan dan Krisma. Pembaptisan, yang disebut “pintu” (LG 11)
untuk “masuk menjadi anggota umat Allah” (PO 5), mengarah ke dalam.
Sebaliknya Krisma, yang mewajibkan orang “menyebarluaskan dan membela iman
sebagai saksi Kristus yang sejati” (LG 11), mengarah ke luar. Tentu
saja “dengan baptis dan penguatan/krisma orang ditugaskan untuk kerasulan” (LG
33; lih. AG 36). Dengan demikian, kelihatan bahwa inisiasi merupakan
proses: masuk kemudian diutus. Tentu saja, seseorang tidak masuk Gereja untuk
“mapan” di situ, melainkan supaya diutus. Oleh karena itu kedua sakramen
bersama membuat orang menjadi anggota Gereja dalam arti penuh. Tetapi karena
arahnya yang berbeda, kedua sakramen ini pantas dibedakan,
Pembaptisan dan Krisma
Dalam
buku Inisiasi Kristen dikatakan bahwa ketiga sakramen inisiasi
(Pembaptisan, Krisma, dan Ekaristi) sebaiknya dirayakan bersama-sama dalam satu
upacara, sedapat-dapatnya pada malam Paska. Namun upacara Krisma boleh juga
dirayakan pada akhir masa mistagogi (pengantar ke dalam praktik
kehidupan Kristiani), misalnya pada hari raya Pentekosta. Ketetapan ini bukan
hanya perkara praktis atau soal pembagian waktu. Masalah satu atau dua upacara
mencerminkan sejarah upacara Krisma, yang masih dapat dilihat pada upacara
sekarang. Di atas sudah dikatakan bahwa baptisan baru, sesudah pembaptisan,
diurapi. Itu sudah menjadi kebiasaan kuno, barangkali mulai abad ketiga. Tetapi
ditetapkan bahwa pengurapan itu hanya dilakukan “jika tidak mungkin sakramen
Krisma dirayakan dalam upacara ini”. Rupa-rupanya ada hubungan antara
pengurapan sesudah pembaptisan dan sakramen Krisma. Sejarah ini tidak
seluruhnya jelas.
Semula
memang seluruh upacara inisiasi dilakukan oleh uskup (sebab pada waktu itu
hampir setiap “paroki” dikepalai oleh seorang uskup). Dalam abad-abad berikut
tetap ada pengurapan oleh uskup, yang disebut Krisma, tetapi juga ada
pengurapan oleh imam (atau petugas lain) langsung sesudah pembaptisan. Krisma
dipandang sebagai sakramen, sedangkan pengurapan oleh imam merupakan
sakramentali. Ketika semua itu masih dilakukan oleh uskup, terang ada satu
upacara, dan juga dipandang sebagai satu sakramen, yakni sakramen inisiasi.
Dengan adanya dua upacara juga timbul kesadaran bahwa ada dua sakramen, yakni
Baptis dan Krisma. Maka sekarang timbul pertanyaan: dua sakramen atau satu
sakramen? Tidak ada jawaban yang jelas atas pertanyaan itu, lebih-lebih karena
Perjanjian Baru tidak mengenal upacara pengurapan dalam hubungan dengan
pembaptisan, entah langsung sesudahnya entah lebih kemudian.
Sering
kali Kis 8:14-17 (Petrus dan Yohanes yang meletakkan tangan atas orang yang
baru dibaptis oleh Filipus) dan 19:1-7 (Paulus yang meletakkan tangan atas
orang yang hanya menerima pembaptisan Yohanes), dilihat sebagai “awal” sakramen
Krisma, karena yang melakukannya adalah rasul-rasul dan karena diberikan Roh
Kudus. Tetapi barangkali harus dikatakan bahwa dengan upacara itu para rasul
mau “melengkapi” pembaptisan yang telah diterima. Kalau orang yang dibaptis
belum menerima Roh Kudus, pembaptisan belum lengkap. Kiranya di sini
Pembaptisan dan Krisma justru tidak dibedakan.
Kesadaran
ini baru muncul pada zaman Tertulianus (160-220). Bersama dengan itu berkembang
terus arti Pentekosta sebagai saat Gereja mendapat perutusannya dari Tuhan yang
mulia. Perkembangan dalam pemahaman akan arti perutusan itu serta penguatan
khusus untuk itu oleh Roh Kudus, terungkap juga dalam liturgi inisiasi. Dua
upacara dalam inisiasi memang baru dikenal sejak abad ketiga, tetapi kesadaran
akan perbedaan antara Paska dan Pentekosta sudah ada dalam Kitab Suci (lih.
Yoh 7:39 “Roh belum datang, karena Yesus belum dimuliakan”). Menghubungkan dua
tahap dalam proses kelahiran Gereja dengan proses inisiasi, baru terjadi dalam
perkembangan tradisi Gereja. Tahap kedua inisiasi sekarang disebut “Krisma”,
guna membedakan pengurapan itu dari pembaptisan. Kedua sakramen ini dibedakan
menurut kekhususan upacaranya. Lama sekali Krisma disebut “sakramen penguatan”.
Nama itu tidak ada sangkut-pautnya dengan upacara liturgisnya, tetapi menunjuk
kepada isi dan artinya: dikuatkan untuk tampil sebagai saksi Kristus, baik
dengan perkataan maupun (terutama) dengan corak kehidupan.
Pembaptisan
Dari
uraian di atas kiranya sudah jelas bahwa Pembaptisan bukan seluruh inisiasi
Kristen. Pembaptisan merupakan kesatuan yang erat, khususnya dengan Krisma.
Namun kedua sakramen itu, lebih-lebih lagi Ekaristi, mempunyai kekhasan dan
maknanya sendiri, sehingga oleh Gereja dibedakan sebagai tiga sakramen.
Pembaptisan dalam
Kitab Suci
Sama
seperti Ekaristi dan pengurapan orang sakit, begitu juga pembaptisan bukanlah
“penemuan” Tuhan Yesus. Upacara pembaptisan berakar dalam adat-istiadat orang
Yahudi. Agama Yahudi mengenal macam-macam upacara permandian atau penyucian
untuk membersihkan orang dari dosa atau dari kenajisan, sehingga ia boleh ikut
upacara agama (lih. Im 15:5.8.10.13.18.22; 16:4.24 dst.). Dalam
agama-agama adat di sekitar lingkungan Yahudi, umumnya juga dikenal upacara
pembersihan semacam itu.
Pada
zaman Yesus di kalangan Yahudi di sana-sini juga ada semacam inisiasi dengan
upacara permandian, sebagai pengenangan akan bangsa Yahudi yang melintasi Laut
Merah. Dalam kerangka itu muncullah gerakan Yohanes Pembaptis, yang membaptis orang
“sebagai tanda pertobatan” (Mat 3:11). Dengan demikian Yohanes mau
mempersiapkan orang menghadapi “murka yang akan datang” (Mat 3:7). Yohanes
sadar bahwa Allah akan menghukum bangsa-Nya dalam waktu yang singkat.
Satu-satunya jalan keluar adalah pertobatan, yang dinyatakan dalam upacara
pembaptisan: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni
dosamu” (Mrk 1:4). Maka “sambil mengaku dosanya mereka dibaptis oleh Yohanes di
sungai Yordan” (Mat 3:6).
Kiranya
upacara pembaptisan diambil alih oleh Gereja dari Yohanes. Dalam Injil malah
dikatakan bahwa ”Yesus pergi ke tanah Yudea dan membaptis” (Yoh 3:22; lih.
ay. 26), maksudnya, bahwa ”Yesus sendiri tidak membaptis, melainkan
murid-murid-Nya” (Yoh 4:2). Memang tidak ada berita tentang kegiatan Yesus yang
membaptis. Tetapi pada hari Pentekosta, sesuai dengan perintah Yesus (Mat
28:19; Mrk 16:16) Petrus berseru kepada orang: “Bertobatlah dan hendaklah kamu
masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk
pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus” (Kis 2:38).
Mencolok sekali kemiripan antara pesan Petrus dan seruan Yohanes Pembaptis:
“Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu” (Mrk
1:4; bdk. Kis 2:38). Tetapi justru dari perbandingan ini jelaslah
pula perbedaannya. Petrus menambahkan dua hal: “dalam nama Yesus Kristus” dan
“kamu akan menerima karunia Roh Kudus”. Pembaptisan Kristen bukan hanya tanda
tobat (seperti pada Yohanes Pembaptis), melainkan tobat dalam kepercayaan akan
Yesus. Yang diterima pun bukan hanya pengampunan dosa, tetapi “karunia Roh
Kudus”, yang “bersaksi bersama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak
Allah” (Rm 8:16). Pembaptisan bukan hanya permohonan akan belas kasihan Allah.
Dengan pembaptisan diungkapan iman akan “Kristus Yesus, Juru Selamat kita” (Tit
1:4), yang memberikan Roh Kudus-Nya kepada kita “sesudah Ia ditinggikan oleh
tangan kanan Allah” (Kis 2:33).
Menurut
St. Paulus, mengambil bagian dalam wafat dan kebangkitan Kristus merupakan pokok
sakramen pembaptisan: “Kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh
baptisan dalam kematian, supaya – sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari
antara orang mati oleh kemuliaan Bapa – demikian juga kita akan hidup dalam
hidup yang baru” (Rm 6:4). Atau dengan perkataan lain: “Yang dibaptis dalam
Kristus, telah mengenakan Kristus” (Gal 3:27). Dengan pembaptisan orang sungguh
secara total dipersatukan dengan Kristus. Dalam surat Kolose hal itu
diterangkan lebih lanjut sebagai berikut: “Bersama Kristus kamu dikuburkan
dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh
kepercayaanmu kepada kerja-kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang
mati” (Kol 2:12). Pengarang melihat itu sebagai “inisiasi Kristen”, yang dapat
dibandingkan dengan sunat Yahudi (ay. 11).
Surat
kepada Titus mengembangkan gagasan ini lebih jauh lagi: Allah menyelamatkan
kita “karena rahmat-Nya oleh pembaptisan kelahiran kembali dan oleh pembaruan
yang dikerjakan oleh Roh Kudus” (Tit 3:5). Itulah yang oleh Yohanes disebut
“dilahirkan dari air dan Roh” (Yoh 3:6). Makin ditekankan hidup yang baru,
bukan pengampunan dosa. Unsur pembersihan dari noda dosa tentu tetap ada,
tetapi yang lebih penting ialah kesatuan dengan Kristus sebagai Anak Allah:
“Allah mengutus Anak-Nya, supaya kita diterima menjadi anak. Dan karena kita
adalah anak, maka Allah mengutus Roh . Anak-Nya ke dalam hati kita, yang
berseru: “Ya Abba, ya Bapa!” (Gal 4:4-6).
Dalam
1Kor 12: 13 masih ada satu unsur lain lagi: “Dalam satu Roh kita semua telah
dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh”. Dengan
pembaptisan orang tidak hanya menerima karunia Roh Kudus, tetapi juga menjadi
anggota tubuh Kristus, yaitu Gereja. Di sini dengan paling jelas terungkap
sifat inisiasi, dan langsung dapat ditarik kesimpulan: “Tidak ada orang Yahudi
atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau
perempuan, karena kamu semua adalah satu dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28). Dalam
Kristus dan oleh Pembaptisan, segala perbedaan dan pertentangan antara suku
atau kelas terhapus dan tidak berlaku lagi, termasuk perbedaan pria dan wanita
sama, sebagai anggota tubuh Kristus. Dengan pembaptisan tidak hanya diciptakan
seorang manusia baru, tetapi umat manusia yang baru.
Pembaptisan dalam
Tradisi Gereja
Yohanes
Pembaptis membaptis orang dalam sungai Yordan, dan murid-murid Yesus juga
begitu. “Tempat pembaptisan” itu sebuah sungai atau kolam. Tetapi ketika umat
Kristen mulai berkembang di kota-kota, jauh dari tempat-tempat air, mereka
membangun kolam-kolam dalam gereja dan membaptis orang di situ. Pembaptisan itu
tetap dilakukan dengan menenggelamkan orang ke dalam air. Lama kelamaan menjadi
kebiasaan untuk menanyakan kepada orang, sementara dia berada di dalam air,
pertanyaan yang sekarang juga masih bergema di gereja pada malam Paska:
Percayakah
saudara akan Allah Bapa yang Mahakuasa, pencipta langit dan bumi?
Percayakah
saudara akan Yesus Kristus, Putra-Nya yang tunggal, Tuhan kita, yang dilahirkan
oleh Perawan Maria; yang menderita sengsara, wafat dan dimakamkan; yang bangkit
dari antara orang mati, dan naik ke surga duduk di sisi kanan Bapa yang
mahakuasa?
Percayakah
saudara akan Roh Kudus, Gereja Katolik yang kudus, persekutuan para kudus,
pengampunan dosa, kebangkitan badan dan kehidupan kekal?
Sesudah
setiap pertanyaan, orang yang ada di dalam kolam menjawab: ”Ya, saya percaya”.
Sesudah itu, ia ditenggelamkan ke dalam air tiga kali. Dengan demikian sakramen
Pembaptisan dengan jelas menjadi “sakramen iman”, yang pusat-pokoknya adalah
pengakuan iman Gereja atau syahadat. Untuk zaman sekarang buku “Inisiasi
Kristen” menetapkan:
“Pemimpin
upacara mengajak calon untuk mengakui imannya (dengan tiga pertanyaan tersebut
di atas). Kalau pembaptisan dilakukan dengan menenggelamkan calon dalam air,
hendaknya kesopanan diperhatikan. Kalau pembaptisan dilakukan dengan menuangkan
air, pemimpin mengambil air dari bejana pembaptisan dan menuangkannya tiga kali
atas kepala calon, sambil mengucapkan rumus pembaptisan:
…
(disebut namanya) aku membaptis saudara demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.
Sementara
itu calon baptis dipegang oleh wali baptis.
Lalu
pemimpin upacara mengurapi ubun-ubun setiap baptisan baru dengan krisma tanpa
mengatakan apa-apa. Bila dianggap perlu, pemimpin upacara dapat menyerahkan
pakaian putih (atau yang berwarna lain). Kemudian pemimpin memegang lilin
Paska; wali baptis maju dan menyalakan lilin pada lilin Paska, lalu
menyerahkannya kepada baptisan baru.” .
Jadi,
sesudah pembaptisan ada tiga upacara kecil (sakramentali), yang secara
simbolis menunjuk pada arti pembaptisan: Pengurapan berarti bahwa baptisan baru
diserupakan dengan Kristus, yang diurapi oleh Roh Kudus (lih. Kis 10:38)
menjadi imam, nabi dan raja, pakaian putih juga menandakan Kristus, dan menunjuk
kepada Gal 3:27, “mengenakan Kristus”, Begitu juga lilin, yang dinyalakan dari
lilin Paska, merupakan lambang Kristus: Karena telah bersatu dengan Kristus,
cahaya dunia, maka baptisan baru harus hidup sebagai putra-putri cahaya dan
menghayati iman dengan setia. Adapun pembaptisan sendiri, yang tetap dapat
dilakukan dengan cara menenggelamkan, biasanya dilakukan dengan menuangkan air
atas kepala orang. Kedua cara itu sejak dahulu dipraktikkan dalam Gereja.
Ada
sebuah dokumen dari zaman para rasul sendiri, yang disebut Didahkeatau
“Pengajaran Kedua Belas Rasul”. Di dalamnya dikatakan mengenai pembaptisan:
“Ada pun baptisan, kamu harus membaptis sebagai berikut:
Setelah segala sesuatu itu tadi (yakni instruksi mengenai kehidupan Kristen) diberitahukan, maka kamu harus melakukan pembaptisan demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, di dalam air yang hidup. Seandainya air yang hidup tidak ada padamu, lakukanlah pembaptisan dalam air yang lain; jikalau tidak bisa dalam air dingin, boleh juga di dalam air panas. Kalau juga air panas tidak ada, tuangkanlah air ke atas kepalanya tiga kali, demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Sebaiknya sebelum upacara pembaptisan baik yang membaptis maupun yang akan dibaptis, berpuasa. Tetapi calon baptis harus berpuasa selama satu-dua hari sebelumnya”.
Setelah segala sesuatu itu tadi (yakni instruksi mengenai kehidupan Kristen) diberitahukan, maka kamu harus melakukan pembaptisan demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, di dalam air yang hidup. Seandainya air yang hidup tidak ada padamu, lakukanlah pembaptisan dalam air yang lain; jikalau tidak bisa dalam air dingin, boleh juga di dalam air panas. Kalau juga air panas tidak ada, tuangkanlah air ke atas kepalanya tiga kali, demi nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus. Sebaiknya sebelum upacara pembaptisan baik yang membaptis maupun yang akan dibaptis, berpuasa. Tetapi calon baptis harus berpuasa selama satu-dua hari sebelumnya”.
Pada
dasarnya upacara pembaptisan sekarang masih sama dengan zaman Tuhan Yesus
sendiri. Hanya sekarang pembaptisan ditempatkan dalam kerangka inisiasi, dan
untuk itu ditambahkan beberapa upacara kecil yang menjelaskan arti sakramen.
Mengenai
arti pembaptisan, Konsili Vatikan II berkata:
“Melalui
pembaptisan orang dimasukkan ke dalam misteri Kristus: Mereka mati, dikuburkan
dan dibangkitkan bersama Dia; mereka menerima Roh pengangkatan menjadi anak,
dan dalam Roh itu berseru: Abba, Bapa; demikianlah mereka menjadi penyembah
sejati, yang dicari oleh Bapa” (SC 6).
Mereka
menjadi “penyembah sejati” dalam Gereja, sebab “dengan pembaptisan kaum beriman
dimasukkan ke dalam tubuh Gereja dan ditugaskan untuk menyelenggarakan ibadat
agama Kristen” (LG 11).
Pembaptisan
Kanak-Kanak
Dalam
Kitab Suci tidak ada berita mengenai pembaptisan kanak-kanak. Memang dalam Kis
16:33 dikatakan bahwa kepala penjara Filipi “memberi diri dibaptis, ia dan
keluarganya” (bdk. Kis 16:15; 18:8). Mungkin di antaranya juga ada
anak-anak, mungkin tidak. Dari Kitab Suci hal ini tidak jelas, dan tetap tidak
jelas sampai akhir abad ke-2. Tetapi sekitar tahun 250 membaptis anak sudah
menjadi kebiasaan di Afrika Utara, dalam arti bahwa bersama dengan orang dewasa
juga anak-anak mereka ikut dibaptis. Namun kemudian ada juga orang yang menunda
pembaptisan anak-anak sampai mereka dewasa. Pada zaman St. Agustinus (354-430)
baptis bayi sudah menjadi kebiasaan umum di wilayah itu. Dan tidak lama
kemudian menjadi praktik di mana-mana, karena waktu itu jarang ada orang dewasa
yang dibaptis. Semua keluarga sudah menjadi Kristen. Yang penting di sini ialah
bahwa ada berbagai motivasi membaptis kanak-kanak (dan juga untuk menunda
baptis mereka). Pada zaman St. Agustinus ajaran mengenai dosa asal mempunyai
pengaruh yang sangat besar: Kalau anak-anak tidak dibaptis, mereka semua ke
neraka (biarpun hanya ke “pinggir” neraka saja).
Alasan
yang sekarang dikemukakan dalam buku liturgi Upacara Pembaptisan Kanak-Kanak
ialah “mereka dibaptis dalam iman Gereja yang diakui oleh para orangtua dan
wali baptis serta semua hadirin”. Mereka dibaptis sebagai anak, bukan sebagai
orang dewasa yang mandiri, melainkan sebagai anak yang dalam segala hal
bergantung pada orangtua mereka. Maka buku liturgi juga menambahkan: “Sakramen
ini baru mendapat arti sepenuhnya, kalau kanak-kanak yang dibaptis dalam iman
Gereja, kemudian dididik pula dalam iman itu”.
Pembaptisan
kanak-kanak sebetulnya berarti menerima seluruh keluarga, termasuk anak-anak,
ke dalam lingkungan Gereja. Hal itu kentara dalam Upacara Pembaptisan
Kanak-Kanak sendiri, “Dalam upacara pembaptisan kanak-kanak, orangtua lebih
dipentingkan daripada tugas wali baptis”.
“Wali
baptis” sebetulnya lebih berfungsi dalam kerangka pembaptisan orang dewasa.
Dalam buku Inisiasi Kristen (untuk pembaptisan orang dewasa) ditunjuk
dua “pembantu” calon baptis: penjamin dan wali baptis. “Penjamin harus
mengetahui watak dan kelakuan, iman dan niat simpatisan atau katekumen; ia ikut
memberi jaminan kepada Gereja bahwa calonnya itu pantas dilantik menjadi
katekumen dan dipilih sebagai calon baptis. Fungsi penjamin itu selesai sebelum
upacara ‘pemilihan'”, Penjamin sedikit banyak berfungsi sebagai “sponsor” atau
“penanggung jawab”. Terutama pada zaman penganiayaan, fungsi itu tidak hanya
amat penting, tetapi sering kali sulit juga dan berbahaya. Penjamin mengawasi
si calon seolah-olah “dari luar” (dan zaman dahulu ia tidak dikenal oleh si
calon), untuk kemudian memberi laporan kepada pimpinan Gereja. Sebaliknya wali baptis
“mendampingi katekumen pada hari ‘pemilihan’, dalam perayaan sakramen-sakramen
inisiasi dan masa ‘mistagogi‘, artinya ia menunjukkan jalan kepada
katekumen supaya menerapkan Injil dalam hidupnya sendiri dan dalam hubungannya
dengan masyarakat. Ia harus menolong dalam keragu-raguan dan kebimbangannya. Ia
harus memberi kesaksian dan menjaga perkembangan hidup Kristianinya.” Untuk
pembaptisan seorang anak, fungsi “penjamin” tidak perlu, dan fungsi “wali
baptis” lebih dipegang oleh orangtuanya.
Oleh
karena itu, pada saat “penolakan setan dan pengakuan iman” pemimpin upacara
menyapa para orangtua (dan wali baptis). Pada saat anak mau dibaptis, orangtua
(dan wali baptis) ditanyai lagi: “Maukah saudara supaya anak ini dipersatukan
dengan Yesus Kristus dan diterima sebagai anggota umat Allah?”. Yang ditanyai
bukan anak itu sendiri (yang belum tahu apa-apa). Wali juga tidak menjawab atas
nama anak itu (seperti dahulu dilakukan). Yang ditanyai dan yang menjawab
adalah orangtua sendiri, bersama dengan wali baptis, Pembaptisan kanak-kanak,
khususnya bayi, tidak dapat dilepaskan dari iman serta tanggung jawab
orangtuanya.
Tiga Tahap Inisiasi
Kristen
Menjadi orang Kristen
merupakan suatu proses, tahap demi tahap. Langkah pertama ialah katekumenat,
yakni masa persiapan dengan pelajaran-pelajaran dan upacara-upacara kecil yang
bersifat sakramentali. Pada zaman dahulu para katekumen tidak diperbolehkan
ikut perayaan Ekaristi. Baru sesudah dibaptis mereka boleh ikut perayaan
Ekaristi. Maka pembaptisan pun dipandang sebagai suatu langkah yang amat
penting dalam proses inisiasi itu. Sesudah pembaptisan mereka dihadapkan pada
bapa uskup, yang meletakkan tangan atas mereka dan mengurapi mereka. Karena
mereka diurapi dengan krisma, yakni “minyak zaitun
atau minyak lain yang diperas dari tetumbuhan” (KHK kan. 847), upacara ini
kemudian disebut “krisma”. Sesudah itu mereka baru diperbolehkan mengambil
bagian dalam perayaan Ekaristi, yang dipandang sebagai langkah terakhir dalam
proses inisiasi itu.
Dengan demikian ada tiga
sakramen dalam proses menjadi orang Kristen, yakni Pembaptisan, Krisma dan
Ekaristi, yang karenanya disebut “sakramen-sakramen inisiasi”. Dalam arti yang
sesungguhnya Ekaristi tidak termasuk inisiasi, selain bila diikuti untuk
pertama kalinya. Bila selanjutnya orang mengambil bagian dalam perayaan
Ekaristi lagi, itu sudah bukan “inisiasi” lagi, sebab Ekaristi adalah tujuan
dan sekaligus langkah terakhir dari seluruh proses inisiasi Kristen.
Dalam perkembangan lebih
lanjut ketiga sakramen inisiasi dipisahkan satu dari yang lain. Banyak orang
dibaptis beberapa hari sesudah lahir (baptis bayi). Sakramen Krisma baru
diterima bila sudah menjadi remaja. Pada waktu itu orang biasanya sudah
menerima “komuni pertama” dan telah lama ikut perayaan Ekaristi. Dengan demikian
bukan hanya urut-urutannya diubah, tetapi juga sudah tidak terasa adanya
hubungan antara ketiga sakramen itu. Dan karena orang sudah diterima ke dalam
Gereja sebagai seorang bayi, maka Ekaristi dan Krisma, tidak lagi dialami
sebagai “sakramen inisiasi”.
Tata cara perayaan inisiasi
Kristen sekarang ditetapkan dalam buku resmi liturgi “Inisiasi Kristen” untuk
Gereja Indonesia dari tahun 1977, sebagai berikut:
“Inisiasi Kristen mengikuti
suatu pola yang kurang lebih sama, di mana dapat dibedakan tahap-tahap berikut:
Tahap 1 : Dari “simpatisan”
menjadi “katekumen”;
Tahap 2 : Dari “katekumen”
menjadi “calon baptis”;
Tahap 3 : Dari “calon
baptis” menjadi “baptisan baru”.
Maka hampir dengan
sendirinya inisiasi Kristen mendapat susunan sebagai berikut:
(a) Masa pra-katekumenat
untuk para simpatisan.
(1) Tahap pertama: Upacara
pelantikan menjadi katekumen.
(b) Masa katekumenat untuk
para katekumen.
(2) Tahap kedua: Upacara
pemilihan sebagai calon baptis.
(c) Masa persiapan terakhir
untuk para calon baptis yang terpilih.
(3) Tahap ketiga: Upacara
sakramen-sakramen inisiasi.
(d) Masa pendalaman iman
(mistagogi) untuk para baptisan baru.”
Selanjutnya diberikan
keterangan sebagai berikut:
“Tahap pertama ialah, bila
seorang simpatisan sungguh mulai bertobat dan beriman, sehingga ia dapat
diterima oleh umat setempat dalam katekumenat. Dalam suatu upacara ia dilantik
menjadi katekumen.
Tahap kedua ialah, bila
iman seorang katekumen sudah berkembang sedemikian, sehingga ia diizinkan
menyiapkan diri akan sakramen-sakramen inisiasi.
Tahap ketiga ialah, bila
persiapan terakhir sudah selesai dan calon itu diperkenankan menerima sakramen-sakramen inisiasi (Pembaptisan,
Krisma, dan Ekaristi pertama), sehingga ia menjadi anggota penuh dalam Gereja.”
Khususnya mengenai
“sakramen-sakramen inisiasi” dikatakan:
“Perayaan sakramen-sakramen
inisiasi merupakan tahap ketiga dan terakhir dalam proses inisiasi Kristen.
Dalam sakramen-sakramen itu para “pilihan” diikutsertakan dalam misteri Paska
Kristus, mereka mati terhadap dosa, sehingga manusia lama dikuburkan, dan
mereka bangkit bersama Kristus sebagai manusia baru, dilahirkan kembali dan
diangkat sebagai anak Allah. Mereka dilengkapi dengan kekuatan Roh Kudus dan
digabungkan pada umat beriman yang bersama-sama menuju kerajaan Allah yang
abadi.”
Ulasan di bawah ini akan
terbatas pada “tahap ketiga”, ialah sakramen-sakramen inisiasi sendiri.
“Ekaristi pertama” hanya berarti bahwa “baptisan baru” untuk pertama kalinya
boleh ikut serta dengan perayaan Ekaristi, tidak merupakan suatu sakramen atau
upacara tersendiri. Maka yang akan dibicarakan hanyalah kedua sakramen inisiasi
yang lain, yakni Pembaptisan dan Krisma.
Sakramen Inisiasi
Kristen
Sakramen pengurapan orang
sakit boleh disebut kepenuhan partisipasi dalam Ekaristi, karena menghubungkan
orang secara nyata dengan penyerahan Kristus kepada Bapa. Yang secara
sakramental dirayakan dalam Ekaristi, menjadi kenyataan dalam sengsara dan
kematian yang dihayati sungguh-sungguh dalam kesatuan dengan Kristus. Kesatuan
dengan Kristus, khususnya dengan mengambil bagian dalam peralihan-Nya dari
dunia ini kepada Bapa (Yoh 13:1), menurut ajaran St. Paulus sudah mulai dengan
pembaptisan: “Tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam
Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?” (Rm 6:3).
Pembaptisan merupakan
langkah pertama ke arah kesatuan hidup dan mati dengan Kristus. Kesatuan dengan
Kristus itu dihayati dalam Gereja, maka sakramen pembaptisan juga berarti bahwa
seseorang menjadi anggota Gereja. Oleh karena itu pembaptisan juga disebut “inisiasi Kristen“. Dengan
pembaptisan orang diinisiasi atau diantar ke dalam Gereja sebagai anggotanya,
Tetapi sebenarnya pembaptisan hanya merupakan satu langkah saja dari inisiasi
Kristen.
Arti dan Makna
Sakramen
Dalam uraian tentang kata
“misteri”, dinyatakan bahwa rahasia keselamatan Allah ditampakkan Allah melalui
peristiwa-peristiwa konkret di dalam dunia ini. Secara fundamental rahasia itu
dinyatakan di dalam seluruh ciptaan melalui penciptaan dan secara paling
sempurna dan lengkap di dalam peristiwa Yesus Kristus, yang dipratandai oleh
sejarah Israel dan diteruskan melalui sejarah Gereja.
Gereja seluruhnya merupakan
satu bagian dalam penampakan rahasia Allah di dalam dunia dan sejarah. Dengan
kata lain, Gereja merupakan tanda. Di dalamnya rahasia keselamatan Allah
menjadi nyata. Seturut seluruh struktur wahyu Allah, bahwa rahasia yang
tersembunyi di dalam Allah ditampakkan di dalam dunia dan sejarah yang
seolah-olah menjadi transparan terhadap rahasia Allah itu, sakramen bisa
didefinisikan sebagai peristiwa konkret duniawi yang menandai, menampakkan, dan
melaksanakan atau menyampaikan keselamatan Allah atau dengan lebih tepat Allah
yang menyelamatkan. Dewasa ini tanda sakramental itu biasanya dijelaskan dengan
menggunakan gagasan lambang atau simbol. Manusia merupakan roh yang membadan,
sebab itu segala ekspresi roh manusiawi terjadi melalui badan. Nilai-nilai yang
luhur atau yang paling rohani pun harus kita ungkapkan melalui badan, supaya
nilai atau perasaan itu bisa disampaikan kepada orang lain. Pokoknya adalah
suatu hukum manusiawi bahwa kita berkomunikasi melalui badan. Melalui
tanda-tanda badaniah terungkaplah sesuatu yang lebih dalam daripada
perbuatan-perbuatan konkret yaitu jiwa dan sikap rohani kita.
Kebenaran ini berlaku juga
untuk komunikasi Allah dengan kita. Karena itu Allah menjadi manusia dalam diri
Yesus dari Nazaret untuk menyampaikan cinta-Nya kepada kita secara konkret. Dan
karena itu pula ada Gereja sebagai persekutuan persaudaraan yang konkret dan di
dalamnya terdapatlah ritus-ritus sakramen. Dalam sakramen, rahmat (cinta Allah)
disampaikan secara konkret melalui tanda-tanda badaniah kepada kita.
Dalam perbuatan manusiawi,
kita mengalami cinta ilahi. Dengan sengaja, di sini dibicarakan mengenai
“perbuatan manusia” dan tidak mengenai benda material yang di dalamnya kita
mengalami rahmat yang menguduskan, karena tanda sakramen sesungguhnya
aksi/perbuatan. Yang terpenting ialah apa yang kita buat di antara manusia di
dalam umat beriman, karena perbuatan manusiawi itu melambangkan perbuatan Allah
terhadap kita; perbuatan Allah itu sungguh terlaksana sementara manusia atau
umat beraksi.
Penjelasan yang bersifat
antropologis ini mempunyai konsekuensi praktis. Karena sakramen-sakramen itu
perbuatan manusiawi/gerejawi yang melambangkan atau lebih baik melaksanakan
secara simbolis suatu tindakan Allah terhadap kita, maka ritus-ritus sakramen
harus dilaksanakan secara sungguh-sunguh penuh, sehingga bisa dirasakan.
Maksudnya, dalam pembaptisan air harus dirasakan, dalam pengurapan orang sakit
minyak juga harus dirasakan, dan dalam Ekaristi hosti jangan begitu tipis
hingga tidak dirasakan apa-apa.
Dalam hal ini juga penting
disadari bahwa perbuatan manusia konkret itu baru mendapat identitasnya sebagai
sakramen Kristiani melalui perkataan yang diucapkan. Perbuatan penuangan air
atau pembasuhan masih terbuka artinya. Baru melalui formula “Aku membaptis
engkau atas nama Bapa,Putra, dan Roh Kudus”, hubungan perbuatan itu dengan
peristiwa keselamatan yang dilaksanakan Allah Tritunggal menjadi nyata. Sebab
itu perbuatan dan perkataan bersama-sama membentuk tanda, lambang melaluinya
Allah mendekati dan menyelamatkan kita secara konkret badaniah.
Asal Usul Sakramen
Sakramen-sakramen yang kita
kenal sekarang dimulai dalam sejarah Gereja sebagai praktik, tidak lahir
sebagai teori yang kemudian dilaksanakan. Karena itu, titik tolak menemukan
sumber teologi sakramen adalah praktik perayaan sakramen dalam hidup Gereja
perdana.
Sejak awal hidup Gereja
terdapat ritus-ritus. Ritus-ritus tersebut dianggap sebagai salah satu bentuk
pelaksanaan hidup Gereja, dan dipandang penting dan mutlak perlu untuk hidup
Gereja. Ritus-ritus awal itu antara lain ritus pembaptisan dan pemecahan roti
atau Ekaristi. Sebagian besar unsur ritus itu diambil dari kelompok agama lain,
khususnya agama Yahudi. Tetapi untuk kita tidak begitu penting, apa yang
diambil alih dan apa yang diciptakan baru oleh Gereja perdana. Yang penting
ialah arti dan isi ritus-ritus itu, yang isinya ternyata bersifat khas
Kristiani sejak permulaan.
Kekhasan itu terletak pada
keyakinan Gereja bahwa ritus-ritus itu membuat sesuatu yang sama sekali baru
dalam dunia. Dalam praktik pembaptisan misalnya, Gereja mengambil alih ritus
yang sudah lama dikenal di luar Gereja. Yang baru adalah, melalui ritus yang secara
lahiriah sudah populer itu Gereja mengambil bagian dalam karya keselamatan
Yesus Kristus melalui wafat dan kebangkitan-Nya dari alam maut.
Demikian halnya dengan
praktik Ekaristi. Benar bahwa perjamuan-perjamuan religius terdapat di dalam
banyak agama. Tetapi praktik tersebut sudah diambil alih oleh Gereja perdana
untuk suatu maksud dan isi tertentu. Dengan merayakan Ekaristi, Gereja perdana
ingin memberitakan kematian Tuhan sampai kedatangan-Nya kembali, “Setiap kali
kamu makan roti ini dan minum dari piala ini, kamu memberitakan kematian Tuhan
sampai Ia datang” (1Kor 11:26).
Kalau kita menyelidiki
sumber-sumber kita, yaitu Kitab Suci, jelas sekali bahwa Gereja perdana sadar
akan perbuatan Allah yang unik dan “satu kali untuk selama-lamanya” sebagai pemenuhan
janji dan perbuatan itu dikerjakan Allah secara historis dan kelihatan “pada
zaman akhir ini”, dalam diri Yesus dari Nazaret, seorang manusia historis.
Perbuatan Allah itu adalah
perbutan keselamatan yang harus diimani, diwartakan, dan dilaksanakan antara
lain melalui upacara-upacara tertentu. Allah dalam karya keselamatan itu antara
lain menciptakan Gereja. Gereja sebagai hasil karya keselamatan Allah harus
menghayati dan melanjutkannya sampai akhir zaman. Allah Abraham, Ishak, dan
Yakub, Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus telah melaksanakan keselamatan
umat manusia dan dunia seluruhnya dalam salib dan kebangkitan Putra-Nya yang
tunggal itu sedemikian rupa, sehingga sekarang Gereja sekaligus merupakan hasil
dan sakramen keselamatan.
Karya keselamatan dengan
seluruh dimensi historisnya, baik menyangkut janji, pelaksanaan dalam diri
Yesus dan pemenuhan eskatologisnya hadir di dalam Gereja sebagai hidup dan inti
Gereja. Gereja, sebagai hasil karya penyelamatan yang melaksanakan hakikatnya
itu dan menunaikan amanat dan tugasnya sebagai alat keselamatan dengan cara
penghayatan hidup yang diberikan oleh Allah, akan juga menyampaikan hidup baru
itu kepada dunia yang belum percaya kepada Kristus. Tugas tersebut terlaksana
antara lain dalam perbuatan-perbuatan yang kemudian disebut sakramen-sakramen.
Jadi, secara ringkas dapat
dikatakan bahwa isi dan arti Gereja, yaitu rahasia penyelamatan Allah yang
terlaksana dalam Yesus dari Nazaret, mesti dilaksanakan di dalam Gereja itu
sendiri antara lain melalui ritus-ritus. Ritus atau upacara itu merupakan
sarana yang dengannya rahasia penyelamatan Allah disampaikan kepada manusia
sepanjang sejarah dan selanjutnya dikenal sebagai sakramen.
Pembaruan
Kharismatik
Kiranya
Pembaruan Kharismatik mempunyai hubungan langsung dengan soal pengalaman rahmat
atau pengalaman Roh. Lebih khusus hal itu berhubungan dengan Baptis dalam
Roh, yang sekarang biasanya disebut Pencurahan Roh (bdk. Kis 1:5).
Dalam surat gembala KWI 30 November 1993 dikatakan bahwa “Gereja sekarang memahami
‘Baptis dalam Roh’ sebagai doa permohonan iman yang sungguh-sungguh agar berkat
rahmat baptis dan krisma, hidup umat digairahkan dan dipenuhi dengan kekuasaan
Roh Kudus”. Doa permohonan itu diucapkan dengan penumpangan tangan sebagai
tanda cinta persaudaraan. Dan “dalam peristiwa tersebut orang dapat betul-betul
mengalami kasih Allah secara mendalam sekali”. Itulah sebabnya sejak semula
“Baptis dalam Roh” – bersama dengan pengalaman rahmat yang menyertainya –
mendapat banyak perhatian dalam gerakan kharismatik.
Dalam gerakan kharismatik dapat dibedakan tiga
“gelombang”:
1. Gerakan Pentekosta, yang dimulai, oleh Charles F.
Parham bersama beberapa mahasiswa di Kansas, pada tahun 1901 sebagai “gerakan
kesucian” (Holiness Movement) di kalangan Gereja Metodis, yang didirikan oleh
John Wesley (1703-1791);
2. Gerakan Kharismatik, yang sejak 1918 amat mementingkan
“Baptis dalam Roh” dan menjadi suatu gerakan tersendiri, yang berpusat pada
pengalaman Roh;
3. Gerakan pembaruan yang bersifat kharismatik di
kalangan Gereja Protestan dan Katolik; Pembaruan Kharismatik Katolik mulai pada
tahun 1967 dan pada tgl. 30 November 1990 Takhta Suci mengakui “Persaudaraan
Katolik Jemaat dan Kumpulan Persekutuan Kharismatik” (The Catholic Fraternity
of Charismatic Covenant Communities and Fellowships) sebagai kumpulan orang
beriman Kristen Katolik yang resmi. Pada tgl. 14 September 1993 Kongregasi
Kepausan untuk kaum awam juga mengakui ICCRS (International Catholic
Charismatic Renewal Services), yang berkedudukan di Roma, sebagai badan untuk
memajukan Pembaruan Kharismatik Katolik.>
Jelaslah
bahwa gerakan kharismatik dalam sejarahnya dari Gerakan Pentekosta sampai
Pembaruan Kharismatik Katolik mengalami perubahan yang amat berarti. Namun
inspirasi semula tetap menjadi pendorong utama, yakni mencari pengalaman akan
daya kekuatan Roh. Ajaran John Wesley masih jelas bercorak Protestan, yakni
bahwa dalam hidup seorang Kristen harus dibedakan dua tahap: Tahap pembenaran
dan tahap pengudusan. Dalam fase pertama orang sudah diterima oleh Allah,
walaupun ia belum “baik”. Maka fase kedua berarti bahwa oleh rahmat Allah ia
betul-betul diubah menjadi orang suci. Pandangan itu kemudian berkembang
menjadi “gerakan kesucian”, di mana orang mencari pengalaman pertobatan
mendalam ini, yang kemudian disebut “Baptis dalam Roh” (yang oleh banyak orang
waktu itu dibedakan dari “Baptis dengan air”, yakni sakramen inisiasi Kristen).
Kekhasan
gelombang kedua, yakni “gerakan kharismatik”, ialah bahwa pengalaman “Baptis
dalam Roh” dihubungkan erat-erat dengan kharisma-kharisma, khususnya dengan
“bahasa Roh”, yakni bahasa irasional (tidak masuk akal), namun
yang merupakan ucapan seperti bahasa, guna mengungkapkan kasih dan devosi
kepada Allah.
Pembaruan
Kharismatik Katolik mulai, pada tahun 1967, dengan dua mahasiswa yang menerima
“Baptis dalam Roh” dalam suatu pertemuan doa Pentekosta. Mereka membagikan
pengalaman itu dengan teman-teman Katolik, dan dengan demikian mulailah gerakan
kharismatik Katolik.
Konsili
Vatikan II sudah mengemukakan ajaran tentang kharisma-kharisma itu, yang tidak
seluruhnya sama dengan anugerah Roh, yang disebut “rahmat”,
“Kharisma-kharisma
itu, entah yang amat mencolok, entah yang lebih sederhana dan tersebar lebih
luas, sangat sesuai dan berguna untuk menanggapi kebutuhan-kebutuhan Gereja;
maka hendaklah diterima dengan rasa syukur dan gembira. Namun kurnia-kurnia
yang luar biasa janganlah dikejar-kejar begitu saja; jangan pula terlalu banyak
hasil yang pasti diharapkan dari padanya untuk karya kerasulan. Adapun
keputusan tentang tulennya kharisma-kharisma itu, begitu pula tentang
pengamalannya secara teratur, termasuk wewenang mereka yang bertugas memimpin
dalam Gereja” (LG 12).
Oleh
karena itu, perlu diperhatikan pula apa yang dikatakan dalam Surat Gembala KWI
mengenai Pembaruan Kharismatik Katolik pada 30 November 1993:
“Kharisma
itu anugerah cuma-cuma, tanda bahwa Roh mencintai umat. Maka karunia itu tidak
dapat dikejar atau kita rebut, seakan-akan sebagai hasil jerih payah kita dan
untuk selama-lamanya boleh kita miliki. Misalnya, “bahasa lidah” adalah karunia
Roh yang sering tidak tergantung pada emosi dan berupa doa pujian atau
permohonan pribadi serta disadari oleh pendoanya . … Lebih lanjut “karunia
nubuat” dianugerahkan demi pengutusan Allah, yang biasanya berupa hiburan untuk
meneguhkan atau untuk mendorong orang lebih berbakti dalam jemaat. … “Karunia
penyembuhan” sering dikaitkan dengan pengutusan Tuhan seyogyanya kita tidak
menciptakan kebiasaan mencari penyembuhan demi penyembuhan; sebaliknya baiklah
kita lebih menegaskan penyerahan kepada kehendak Tuhan serta tidak mudah
menandai orang yang tidak disembuhkan sebagai “tidak beriman” (no. 16-21).
Yang
pokok dari kharisma-kharisma bukanlah pengalaman yang luar biasa, melainkan
pertemuan dengan Tuhan yang lebih mendalam, pengenalan akan Kristus, yang
sungguh berarti suatu hubungan pribadi yang membahagiakan. Pengalaman itu akan
mendorong ke arah hidup yang lebih Kristiani, baik dalam kesungguhan hati
maupun terutama dalam kerelaan membantu sesama dalam pembangunan Gereja dan
masyarakat. Roh Kudus diberikan kepada manusia, juga dengan cara yang tidak
biasa, “supaya semakin mendalamlah pengertian akan wahyu” (DV 5), entah secara
pribadi entah bersama-sama dalam Gereja.
Kendati
disebut “kharismatik” namun perhatian untuk kharisma-kharisma bukanlah
satu-satunya ciri khusus gerakan ini. Dua aspek lain perlu disebut: Doa-pujian
dan kesaksian, Kedua-duanya memang berhubungan erat dengan “Baptis dalam Roh”
serta anugerah “bahasa Roh” (atau bahasa lidah). Dalam kelompok doa kharismatik
tekanan ada pada doa pujian, yang sering kali diucapkan dengan banyak ekspresi
badan, seperti gerakan tangan dan sebagainya. Doa ekspresif ini dapat membantu
orang membuka diri bagi kharisma Roh. Namun janganlah doa itu sendiri dilihat
sebagai hasil karya Roh langsung. Di sini pun perlu dibedakan antara rahmat dan
tanda atau sarana rahmat. Bahkan bisa terjadi bahwa doa ekspresif ini juga
terungkap dalam bentuk doa yang serupa dengan “bahasa Roh”, tetapi sebenarnya
merupakan cetusan emosi saja. Sama halnya dengan kesaksian. Kesaksian hendaknya
berupa anjuran dan dorongan membantu sesama dalam pembentukan jemaat dan bukan
ungkapan kesombongan sampai memandang rendah saudara yang lain, yang oleh Tuhan
diberi anugerah Roh yang lain. Segala kesaksian akhirnya harus menunjuk kepada
Yesus, bukan kepada diri penyaksi sendiri. Anugerah Roh diberikan supaya orang
“dapat mengaku: Yesus adalah Tuhan” (1Kor 12:3).
Sebelum Yesus
Tampil;
Persiapan dan Yesus
dibaptis
Dikatakan
bahwa ketika Yesus mulai tampil di depan umum, Ia berumur kira-kira tiga puluh
tahun (Luk 3:23). Sebelumnya Ia hidup tersembunyi di Nazaret dan mencari
nafkahnya sebagai tukang (Mrk 6:3), sama seperti ayah-Nya (Mat 13: 55).
1. Persiapan
Mengenai
masa pendidikan-Nya Injil tidak mengatakan apa-apa selain peristiwa di kenisah,
waktu Ia berusia dua belas tahun. Maka boleh diandaikan bahwa Yesus mendapat
pendidikan yang lazim untuk anak-anak pada zaman itu. Pendidikan itu
pertama-tama tugas orangtua (lih. Ams 1:8). Demikian pula kiranya yang
pertama-tama mendidik Yesus adalah Maria, lebih-lebih pada masa kanak-kanak
Yesus, dan Yusuf, ketika Ia sudah menjadi lebih besar. Ayah harus mendidik
anaknya, mengajarinya cara membawakan diri dalam masyarakat; dan kalau dia anak
laki-laki juga cara mencari nafkah. Anak perempuan dididik dalam pekerjaan
rumah tangga oleh ibunya. Pendidikan keagamaan diberikan oleh orangtua. Ayah
harus menceritakan sejarah Israel kepada anak-anaknya (Kel 10:2; 13:8; Ul 4:9;
32:7).
DalamTalmud
dikatakan:
“Pada
umur lima tahun, anak siap mempelajari Kitab Suci;
pada
umur sepuluh tahun, siap untuk Mishnah (peraturan);
pada
umur tiga belas, untuk perintah-perintah;
pada
umur lima belas, untuk Talmud (tradisi);
pada
umur delapan belas, siap untuk kamar pengantin;
pada
umur dua puluh, siap untuk profesi;
pada
umur tiga puluh, ia siap tampil ke depan.”
Anak
tidak hanya belajar di rumah. Waktu perayaan atau ziarah ia mendapat banyak
instruksi (dari imam-imam atau petugas yang lain), dan pada hari Sabat biasanya
ada semacam “kuliah subuh” di sinagoga (rumah ibadat). Setiap anak harus
menghafalkan mazmur-mazmur dan bagian-bagian lain Kitab Suci (lih. Mzm
78:1-3). Pada zaman Yesus juga sudah ada sekolah, namun berbeda dengan sekolah
zaman sekarang. Biasanya hanya ada satu guru saja (sering kali seorang Farisi,
mungkin ahli Taurat), yang mengumpulkan anak-anak untuk mengajarkan kepada
mereka segala macam pengetahuan, khususnya mengenai agama. Mereka berkumpul di
tempat yang umum dan terbuka, atau (sebagian dari) sinagoga. Tujuan pokok
adalah kemampuan membaca (dan menghafalkan) Kitab Suci. Murid yang pintar dan
mampu dapat meneruskan studi mereka dengan belajar hukum. Untuk itu anak
biasanya harus pergi ke kota (Yerusalem). Sejak zaman para nabi juga ada
“kelompok studi”, yang tidak dimaksudkan untuk pendidikan anak kecil, tetapi
untuk mempelajari Kitab Suci dan hukum adat bersama-sama. Yohanes Pembaptis dan
Yesus sendiri membentuk kelompok-kelompok seperti itu.
Dalam
Injil Yesus sering disebut rabi (bahasa Aram dan Ibrani), khususnya oleh para
murid (mis. Mrk 9:5; 10:51; 11:21; 14:45), yang berarti guru (lih,
Yoh 1:38; 20:16). Dan memang sebutan “guru” (dalam bahasa Yunani) juga dipakai,
malah lebih sering (mis. Mrk 4:38; 9:17.38; 10:17.20.35; 12:14.19.32; 13:1).
Dengan sebutan itu pertama-tama diungkapkan kehormatan terhadap Yesus, dan
ternyata Yesus “mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti
ahli-ahli Taurat” (Mrk 1:22). Akan tetapi para pengikut-Nya tetap disebut
“murid”, walaupun tidak dikatakan bahwa mereka “belajar”, melainkan “mengikuti
Dia”.
“Murid”
berarti pengikut Yesus. Mereka itu orang yang dipanggil oleh Yesus sendiri (lih.
Mrk 1:17; 2:14; bdk. 10:17-27; Luk 9:57-60) dan berasal dari daerah
Yesus. Petrus dan Andreas kakak-beradik, begitu juga Yakobus dan Yohanes. Simon
termasuk kelompok “zelot”, yakni kaum nasionalis; dan Lewi pemungut bea,
yang bersekongkol dengan penjajah. Kebanyakan adalah nelayan dari Tiberias.
Dalam Luk 8:1-3 juga disebut beberapa wanita (lih. Mrk 15:40-41).
Yang
mencolok adalah tuntutan Yesus bahwa mereka harus meninggalkan segala-galanya,
termasuk sanak-saudara (lih. Mrk 8:34 dsj.; Luk 14:26 dsj.).
Menjadi murid Yesus berarti “menyertai Dia” (Mrk 3:14), dengan segala
konsekuensinya (lih. Mrk 8:34; 10:39). Tekanan ada pada hubungan
pribadi, bukan pada ajaran atau pengetahuan. Mereka mengambil bagian dalam
tugas dan perutusan Yesus (lih. Mrk 1:17) dan “diutus-Nya memberitakan
Injil” (Mrk 3:14; Mat 10:7 dsj.). Maka di antara para murid dalam
arti yang luas ada dua belas orang yang secara istimewa dipilih oleh Yesus
menjadi murid-Nya. Merekalah yang diutus oleh-Nya dan di kemudian hari juga
menjadi “saksi kebangkitan” (Kis 1:22). Biasanya mereka disebut “dua belas
rasul”.
Kelompok
murid Yesus, khususnya kelompok dua belas, serupa dengan kelompok-kelompok
Yahudi lainnya yang berkumpul di bawah seorang guru, Namun kelompok murid Yesus
itu juga khas. Kekhasan kelompok ini berakar dalam keistimewaan Yesus sendiri.
Dasar kesatuan kelompok Yesus adalah iman akan Yesus dan perutusan-Nya yang
berkembang dalam pergaulan dengan Yesus.
2. Yesus Dibaptis
Kehidupan
Yesus di depan umum dimulai dengan berita, “Ia meninggalkan Nazaret dan berdiam
di Kapernaum, di tepi danau; sejak saat itulah Yesus memberitakan: Bertobatlah,
sebab Kerajaan Surga sudah dekat” (Mat 4:13.17). Yesus meninggalkan ketenangan
hidup keluarga di Nazaret dan mulai hidup mengembara. Ia “berjalan berkeliling
dari kota ke kota dan dari desa ke desa, memberitakan Injil Kerajaan Allah”
(Luk 8:1). Awal perubahan hidup ini adalah pembaptisan oleh Yohanes. Matius
menceritakan, “Maka datanglah Yesus dari Galilea ke Yordan kepada Yohanes
supaya dibaptis olehnya” (Mat 3:13). Mrk 1:9 memberitakan peristiwa itu dengan
kata-kata yang hampir sama.
Tetapi
Lukas menguraikannya lebih luas dan memperlihatkan maknanya: “Ketika seluruh
umat dibaptis, dan ketika Yesus pun dibaptis dan sedang berdoa, maka terbukalah
langit dan turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya; dan
terdengarlah suara dari langit: Engkaulah Anak yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku
berkenan (Luk 3:21-22)”
Pertama-tama,
dikatakan bahwa bukan hanya Yesus yang dibaptis, melainkan seluruh umat.
“Datanglah kepada Yohanes orang-orang dari seluruh daerah Yudea dan semua
penduduk Yerusalem, dan sambil mengaku dosanya mereka dibaptis di sungai
Yordan” (Mrk 1:5). Baptis Yohanes merupakan pembaptisan pertobatan (lih.
Mrk 1:4; Luk 3:3; Kis 13:24; 19:4). Maksudnya, orang minta dibaptis oleh
Yohanes sebagai tanda tobat.
Timbullah
pertanyaan, bagaimana Yesus “yang tidak mengenal dosa” (2Kor 5:21) dapat minta
dibaptis oleh Yohanes. Rupa-rupanya pertanyaan ini sudah timbul di kalangan
Gereja perdana sendiri. Markus masih menceritakan pembaptisan Yesus tanpa
keterangan lebih lanjut (Mrk 1:9). Tetapi dalam Injil Matius, Yohanes
seolah-olah protes: “Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang
kepadaku?” (Mat 3:14). Lukas menyebut pembaptisan sepintas saja; tekanan ada
pada apa yang terjadi sesudahnya. Injil Yohanes malah sama sekali tidak
berbicara mengenai pembaptisan Yesus oleh Yohanes (lih. Yoh 1:19-34).
Padahal jelaslah bahwa pembaptisan itu dipandang sebagai awal karya Yesus (lih.
Kis 1:22; 10:37 -38). Kiranya sedari semula Gereja sudah bertanya-tanya,
mengapa Yesus mau dibaptis? Padahal “Ia tidak berbuat dosa, dan tipu-daya tidak
ada dalam mulut-Nya” (1Ptr 2:22; lih. 1Yoh 3:9).
Kiranya
tidak ada jawaban lain kecuali yang satu ini, “Ia akan terhitung di antara
orang-orang durhaka” (Luk 22:37; lih. Mrk 15:28). “Kristus Yesus
datang ke dunia untuk menyelamatkan orang berdosa” (1Tim 1:15). Oleh karena itu
Ia selalu mencari orang berdosa. Ia dilecehkan sebagai “sahabat pemungut cukai
dan orang berdosa” (Luk 7:34), sebab Ia biasa “makan dengan pemungut cukai dan
orang berdosa itu” (Mrk 2:16; lih. Mat 9:11; Luk 5:30; 15:1.2). Ia
mempersatukan orang berdosa dengan diri-Nya, menghadap Bapa. Memang Ia tidak
membutuhkan ampun dari Bapa. Tetapi “Ia memimpin kita dalam iman” (Ibr 12:2).
Dan iman adalah intisari tobat, sebab “tanpa iman tidak mungkin orang berkenan
kepada Allah” (Ibr 11:6).
Yesus
menghadap Bapa, bersama orang berdosa. Sabda Bapa, yang dikatakan kepada Yesus,
ditujukan kepada semua orang yang bersatu dengan Yesus: “Engkaulah Anak yang
Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan”. Dalam pembaptisan Yohanes, Yesus diakui
oleh Bapa sebagai pemimpin dan penebus semua orang berdosa. Pembaptisan adalah
bagaikan “pelantikan” Yesus ke dalam tugas perutusan-Nya. Segera sesudah
pembaptisan, Yesus akan “memberitakan Injil Allah: Bertobatlah dan percayalah
kepada Injil” (Mrk 1:15). Dengan pembaptisan-Nya, Yesus sekaligus menyatakan
kesatuan dengan orang berdosa dan penyerahan total dan radikal kepada kehendak
Bapa. Dengan pembaptisan, Ia tampil sebagai “pengantara antara Allah dan
manusia” (1Tim 2:4). Semua Injil mengatakan bahwa Roh Kudus turun atas-Nya.
Selanjutnya ‘‘Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan,
lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun”. Sesudah itu “dalam kuasa Roh
kembalilah Yesus ke Galilea. Dan tersiarlah kabar tentang Dia di seluruh daerah
itu” (Luk 4:1-2.14). Sesudah pembaptisan, Yesus tampil sebagai orang yang
“diurapi oleh Allah dengan Roh Kudus dan kuat kuasa” (Kis 10:38). Ia tampil
sebagai ‘‘Yang terurapi”, Ia dilantik sebagai Kristus. “Kuasa Tuhan menyertai
Dia, sehingga Ia dapat menyembuhkan orang sakit” (Luk 5:17). Yesus sekarang
tampil, bukan lagi sebagai tukang kayu, tetapi benar-benar sebagai seorang
nabi. Maka semua orang heran dan bertanya: “Bukankah Ia ini tukang kayu, anak
Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya
perempuan ada bersama kita? Mukjizat-mukjizat yang demikian bagaimanakah dapat
diadakan oleh tangan-Nya?” (Mrk 6:2-3). Sesudah pembaptisan-Nya Yesus kelihatan
lain, sampai orang sekampung tidak lagi mengenal-Nya. “Lalu mereka kecewa dan
menolak Dia”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar