Marriage Encounter atau yang sering
disingkat ME adalah sebuah gerakan dari Gereja Katolik Roma untuk pasangan
suami istri. Lebih jelasnya adalah sebuah program yang diberikan setiap akhir
minggu dimana para pasutri mendapat kesempatan untuk melatih teknik
berkomunikasi dengan kasih yang dapat mereka gunakan sampai akhir hayat. Hal
tersebut adalah sebuah kesempatan untuk dapat melihat jauh ke dasar hubungan
mereka dengan satu sama lain, dan juga hubungan mereka dengan Tuhan. Jadi
merupakan saat untuk berbagi perasaan, harapan dan mimpi-mimpi dari satu sama
lain.
Penekanan pada weekend Marriage Encounter
adalah pada komunikasi antara suami dan istri. Weekend tersebut memberikan
suasana yang kondusif bagi pasutri untuk menghabiskan waktu bersama, jauh dari
gangguan dan tekanan dari kehidupan sehari-hari, sekaligus mendukung mereka
untuk memusatkan perhatian pada satu sama lain dan hubungan mereka.
Intisari ajaran gereja yang menjadi dasar dari ME, sehingga
Gereja Katolik merasa perlu untuk memfasilitasi Marriage Encounter ini adalah:
Intinya ada dua:
1. Kemanunggalan.
Dalam Kitab Kejadian 2:24 tertulis: “Sebab itu
seorang laki-laki akan meniggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Terjamahan dari bahasa Ibrani
menjadi ‘satu daging’ nampaknya secara harafiah, yang dimaksud sebenarnya
‘menjadi satu secara total’, ‘menjadi satu jiwa raganya’ jadi yang dikehendaki
Tuhan bukanlah hanya pasangan suami-istri yang seragam, yang dua-duanya
memiliki sifat-sifat dan kecenderungan yang sama. Juga bukan hanya pasangan
yang harmonis, yang rukun-rukun, yang saling mengisi karena besar rasa
toleransinya yang satu dengan yang lain. Yang dikehendaki Tuhan adalah
kemanunggalan dari suami dan istri. Mereka bukan lagi dua melainkan satu! Satu
secara total, satu jiwa raganya! Namun, mereka adalah dua insan yang berbeda
jenis, yang satu wanita yang lain pria, yang mempunyai sifat-sifat dan
kecenderungan berbeda karena perbedaan jenis itu. Belum lagi perbedaan-perbedaan
yang disebabkan pohon keluarga yang berbeda, karena berlainan lingkungan,
berlainan pendidikan dan lain sebagainya. Perbedaan yang mungkin merupakan
kendala bagi tercapainya usaha kemanunggalan. Maka perbedaan-perbedaan yang
menghambat atau menghalangi kemanunggalan itu perlu dihilangkan,
setidak-tidaknya dikurangi. Artinya perlu adanya perubahan. Dan cara yang
paling tepat untuk mengadakan perubahan itu bukan dengan mengubah pasangan—suatu tindakan yang biasanya mengakibatkan timbulnya ketegangan—tetapi dengan masing-masing mengubah diri sendiri, atas dasar kesadaran. Untuk
mengetahui apa yang perlu diubah dari sifat-sifat dan kebiasaan-kebiasaan kita,
diperlukan sikap keterbukaan. Keterbukaan yang dua arah, terbuka untuk menerima
berarti kesediaan untuk mendengarkan dengan telinga, mendengarkan dengan mata,
mendengarkan dengan tangan, mendengarkan dengan hati. Terbuka untuk menerima
pasangan apa adanya. Terbuka untuk memberi, berarti bersedia untuk
mengungkapkan dengan verbal maupun non-verbal yang dipikirkan dan dirasakan,
mengungkapkan isi otaknya dan isi hatinya. Dan untuk bisa mendengarkan dan
mengungkapkan dengan baik itu oleh Marriage Encounter telah diciptakan sarana
yang kita kenal dengan nama dialog suami-istri. Jika dialog dalam arti umum adalah
pengungkapan pendapat yang akhirnya sampai kepada satu kompromi yang dapat
dilaksanakan, maka dialog suami-istri adalah pengungkapan perasaan-perasaan
yang memperdalam pengenalan kita pada diri sendiri dan satu sama lain sebagai
dasar untuk mengadakan perubahan-perubahan pada diri sendiri masing-masing
dalam suasana relasi yang akrab dan bertanggung jawab, melapangkan jalan menuju
kemanunggalan.
2. Pembaharuan Sakramen Perkawinan dan Sakramen
Imamat.
Kalau panggilan untuk ‘manunggal’ berlaku bagi semua
pasangan suami-istri, maka mereka yang pada waktu melangsungkan perkawinan
sudah dibaptis menurut agama Katolik dan dengan demikian saling menerimakan
Sakramen Perkawinan, mempunyai panggilan kedua sebagai Pasutri Sakramental,
yakni menjadi tanda, menjadi pantulan cinta kasih Kristus. Maka sikap, tingkah
laku, tindakan dan ucapan Pasutri Sakramental harus senantiasa menunjukkan
sakramentalitasnya, harus selalu dijiwai cinta kasih Kristus. Begitu pula
mereka yang mendapat panggilan untuk menerima Sakramen Imamat berkewajiban
menyelaraskan segala sikap, tingkah laku, tindakan dan ucapan mereka dengan
jiwa cinta kasih Kristus. Kedua Sakramen ini, Sakramen Perkawinan dan Sakramen
Imamat, memang mempunyai persamaan; para penyandangnya, dalam kehidupan sehari-hari
berkewajiban menunjukkan, bahwa mereka itu adalah pantulan cinta kasih Kristus.
WorldWide Marriage Encounter, dalam kegiatan-kegiatannya, selalu melibatkan
para penyandang kedua sakramen tersebut; acara-acaranya senantiasa dipimpin
oleh seorang imam dan satu pasutri atau lebih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar